Saturday, June 30, 2007

Pertarungan Xanana Versus Alkatiri

Florencio M Vieira

Dua mantan aliansi saat berjuang untuk kemerdekaan Timor Leste—Xanana Gusmao dan Alkatiri—hari Sabtu (30/6/2007) ini bersaing untuk memenangi pemilu parlemen, sekaligus menjadi Perdana Menteri Timor Leste.

Alkatiri, Sekjen Partai Fretilin yang memerintah sejak kemerdekaan 2002, menantang Xanana Gusmao dengan partai barunya, Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste (CNRT). Mantan Presiden dan mantan Perdana Menteri (PM) Timor Leste itu telah berupaya keras agar memenangi pertarungan paling bergengsi dalam karier politik mereka.

Pertaruhan citra personal dan ideologi

Pada pemilu pilpres pertama tahun 2001, Xanana memenangi secara mutlak 70 persen dan menjadi presiden pertama negara termiskin itu. Sedangkan Fretilin memenangi pemilu parlemen pertama secara mutlak (57,4 persen), membawa Alkatiri menjadi PM.

Apakah personal figure Xanana yang identik dengan pejuang dan bapak bangsa Timor Leste masih melekat dengan dirinya untuk memenangi secara mutlak pemilu parlemen? Sedangkan rival utama Xanana, Alkatiri, apakah masih dipercaya rakyat untuk memerintah pada periode berikutnya?

Pertaruhan citra personal lebih menentukan dalam konteks pemilu parlemen kali ini daripada platform partai. Tidak ada satu partai pun yang menawarkan solusi yang konkret terhadap banyaknya permasalahan dalam negeri Timor Leste.

Dampak kekerasan pada tahun 2006 masih belum diselesaikan. Meski secara umum pemilihan presiden dan parlemen kali ini berjalan aman, tetapi penembakan terhadap pengawal Xanana pada 3 Juni 2007 di Viqueque, mengindikasikan masih adanya peluang terjadi kekerasan di masa mendatang.

Saling menuduh

Untuk memengaruhi pemilih, kedua kandidat saling menuduh. Menjelang akhir kampanye, Alkatiri menuduh Gusmao sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kekerasan.

Xanana dituduh sebagai dalang kerusuhan Mei tahun 2006 yang mengakibatkan 37 orang tewas tertembak, 130.000 orang mengungsi (internal displaced persons), 30.000 orang masih menghuni kamp-kamp pengungsian, dan ratusan tentara serta polisi kini bergerilya di hutan dan pegunungan Timor Leste bagian barat.

Xanana dituduh selalu berusaha agar setiap orang tetap di bawah kontrolnya dan memecah belah rakyat agar tidak memberi peluang kepada pemimpin lain. "Persatuan bagi Xanana adalah setiap orang berada di bawah komandonya. Bila tidak berhasil, dia akan memecah belah setiap orang dan berusaha untuk berkuasa," kata Alkatiri yang disiarkan Voice of America (VOA), 26 Juni 2007.

Sementara itu, Xanana menuduh Partai Fretilin di bawah PM Alkatiri gagal memberantas kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Platform Partai Fretilin yang antiglobalisasi dan cenderung berhaluan kiri—komunis—menghalangi investasi asing sehingga berdampak pada pengangguran yang tinggi.

Di balik tuduhan kedua pihak, sebenarnya yang terjadi adalah pertarungan ideologi antara proglobalisasi atau kapitalisme, yaitu Xanana dan Horta yang lebih pro- Barat versus antiglobalisasi yang identik dengan antiimperialisme/ kapitalisme yang diwakili Alkatiri dan kelompok Maputo. Alkatiri berafiliasi ke Kuba.

Kecenderungan koalisi

Para analis meramalkan bahwa keempat partai tidak akan memenangi pemilu secara mutlak. Dari 65 kursi yang dialokasikan di parlemen, hanya bisa dimenangi oleh koalisi yang diperkirakan akan terbentuk dan pemimpin koalisi sekaligus akan menjadi perdana menteri.

Fretilin dan CNRT adalah partai yang paling kuat bersaing dan diikuti Partai Demokrat. Fretilin diperkirakan tidak akan mengulangi kemenangan mutlak yang diraihnya pada pemilu tahun 2002 dengan mayoritas 55 kursi (57,4 persen) dari 88 kursi parlemen yang tersedia waktu itu.

Kali ini kursi parlemen yang diperebutkan adalah 66 kursi dan dibutuhkan 33 kursi untuk menjadi mayoritas di parlemen, sekaligus menjadi PM baru.

Fretilin diperkirakan meraih 30-31 persen, sedangkan CNRT sekitar 20-25 persen, disusul Partai Demokrat 14-18 persen. Sisanya akan diperebutkan 11 partai kecil, termasuk golongan putih.

Perkiraan ini berdasarkan hasil putaran pertama pemilu presiden bulan lalu, di mana Fretilin mendapat 27 persen dan Ramos Horta yang didukung Xanana meraih 24 persen, disusul Fernando Lasama dari Partai Demokrat sekitar 14 persen dari sekitar 520.000 pemilih yang terdaftar untuk mengikuti pemilu.

Putaran kedua pilpres di mana Horta memenangi 69 persen dan Fransciso Luolo 31 persen belum bisa dijadikan patokan karena para pemilih yang calonnya tidak masuk dalam putaran kedua pilpres kembali ke basis partai masing-masing.

Bentuk koalisi

Begitu riuhnya partai yang ada kini, diperkirakan koalisi akan menjadi cara strategis untuk memenangi pemilu kali ini. CNRT diperkirakan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat pimpinan Fernando Lasama bersama partai kecil lain untuk menghalangi Alkatiri menjadi PM.

Namun, pengalaman membuktikan bahwa meski koalisi terbentuk di parlemen, tidak menjamin adanya stabilitas politik walau di bawah pimpinan Xanana yang karismatik menurut beberapa kalangan.

Palestina dan Lebanon menjadi salah satu contoh bagaimana labilnya sebuah koalisi. Siapa pun yang menjadi PM, perbedaan ideologi dan masalah etik antara Timor Lorosae dan Timor Loro Monu yang sudah identik dengan basis partai menjadi tantangan terbesar.

Fretilin berbasis di Timor Lorosae dan non-Fretilin berbasis di Loro Monu. Pemberontakan Alfredo Reinaldo yang masuk dalam perangkap Xanana dan Horta sehingga mengakhiri Alkatiri di penghujung kekuasaannya masih menjadi kerikil baru bagi Timor Leste setelah lepas dari Indonesia tahun 1999.

Tantangan lain adalah good governance, di mana dibutuhkan sistem dan personalia penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari salah kelola, masih memerlukan waktu panjang.

Nilai-nilai demokrasi hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan yang juga panjang sehingga pilihan rasional adalah mutlak dan bukan hanya pilihan emosional berdasar personal figure.

Florencio M Vieira Pemerhati Timor Timur

Terkuaknya Fenomena Isu "Ianfu"

Steven Mere

Komite Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, Selasa (26/6), menyetujui resolusi yang mengimbau Jepang untuk resmi meminta maaf karena memaksa ribuan perempuan menjadi budak seks selama Perang Dunia II.

Oleh stigma sejarah, korban diberi label "budak seks" (ianfu, asli Jepang). Resolusi itu membuka harapan baru bagi korban di China, Korea, Indonesia, dan tempat lain. Jerit kemanusiaan yang mohon pengakuan dan pemulihan keluhuran martabat sebagai manusia dan perempuan, yang sekian lama diredam, ada harapan mulai didengar.

Gema lestari

Setiap jeritan kemanusiaan punya gema lestari karena keluhuran kemanusiaan itu sendiri punya esensi lestari. Bahkan, meski seseorang telah mati, jeritan kemanusiaannya akan terus mencari ruang untuk menggemakan esensi diri.

Jeritan kemanusiaan wanita ianfu, yang menurut perkiraan historis berjumlah sekitar 200.000 orang, membuktikan kebenaran ini. Dominasi kuasa indoktrinasi Jepang untuk menyembunyikan jejak historis, sekaligus rasa malu kaum ianfu, tak mampu membendung jeritan hati para penuntut pemulihan martabat kemanusiaan.

Didukung para aktivis kemanusiaan, sekitar akhir tahun 1980-an, jerit kemanusiaan ianfu pertama kali memecah ruang sejarah, saat Kim Hak-sun asal Korea Selatan bersedia memublikasikan kesaksian pahit sebagai korban budak seks Jepang. Keberanian Kim Hak-sun membangkitkan solidaritas korban ianfu lainnya untuk menggelarkan aksi nyata pada 6 Desember 1991 di Pengadilan Distrik Tokyo, menuntut kompensasi, pengakuan, dan minta maaf dari Pemerintah Jepang (George Hicks, The Comfort Women, 1995).

Ini semua tidak lepas dari usaha Senda Kako (jurnalis Jepang) yang membangun jaringan informasi menghubungkan para korban di Tokyo, Kyoto, Osaka, dan Korea Selatan. Juga didukung Asahi Shimbun, sebuah koran besar di Jepang yang selama tahun 1991 rajin menurunkan serial kesaksian dan informasi tentang pengalaman pahit kaum ianfu.

Alur buram sejarah berisi jerit kemanusiaan ianfu kian memancarkan sinar terang saat tahun 1992, sejarawan Jepang, Yoshimi Yoshiaki, menemukan dokumen yang membenarkan keterlibatan petinggi militer dalam praktik perbudakan seks ini.

Temuan historis tahun 1993 itu melahirkan gerakan kelompok intelektual yang mengimbau Pemerintah Jepang mengakhiri tabu tentang perbudakan seks dan merevisi buku sejarah, yang sama sekali tak menyentuh fakta perbudakan seks atas kaum ianfu.

Tanggal 4 Agustus 1993, Yohei Kono, Sekretaris Jenderal LDP, pengganti Kato, mengakui praktik kekerasan seksual yang terorganisasi atas kaum ianfu sebagai fakta sejarah tak terbantahkan dan melibatkan petinggi militer Jepang (Ministry of Foreign Affairs of Japan Web Site).

Pengakuan Kono melahirkan terciptanya Asian Women’s Fund tahun 1995, yang mulai memberi kompensasi bagi sekitar 285 bekas korban ianfu dari Korea Selatan, Filipina, dan Taiwan. Setiap orang disantuni dua miliar yen (The Asahi Shimbun, 25/1/1995).

Pro-kontra

Meski sudah terlihat adanya reaksi positif dari sebagian elite pemerintah, intelektual, dan masyarakat Jepang, sebagian lain masih kukuh mengingkari kebenaran fakta sejarah buram itu.

Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe sendiri, sejak sebelum menjabat Perdana Menteri, sudah meminta agar pengakuan Yohei Kono tahun 1993 yang membeberkan keterlibatan militer Jepang dalam praktik seksual ini direvisi lagi.

Tanggal 1 Maret 2007, Perdana Menteri Abe membuat pernyataan terbuka, mengingkari lokus kebenaran perbudakan seks secara terorganisasi oleh militer Jepang atas kaum ianfu.

Pengingkaran Abe ini kembali menyulut bara kontroversi dan protes dari dalam dan luar negeri, khususnya negara-negara tempat bekas ianfu berasal. Sebagian pengamat melihat pengingkaran Abe sebagai bentuk kekerasan historis baru atas para bekas ianfu khususnya dan wanita bermartabat umumnya. Alexis Dudden (Japan Focus, 5/3/27), misalnya, menyebut penyangkalan Abe sebagai Abe’s violent Denial.

Ratifikasi Resolusi 121 oleh Senat AS yang mengimbau Jepang resmi minta maaf kepada korban menjadi teguran nyata atas kekerasan historis yang kembali menyata dalam sikap dan pernyataan Abe atas kaum ianfu.

Suara para ianfu telah dikuatkan Senat AS, jerit mereka pun lebih keras dan diharapkan mengusik nurani penguasa Jepang dan manusia umumnya.

Menangkap pesan

Atas kejadian ini, muncul beberapa hal. Pertama, universalitas imperatif moral masalah HAM. Meski melekat pada setiap pribadi, HAM bukan kekayaan pribadi (private property), tetapi kekayaan bersama (common property) keluarga manusia.

Karena itu, saat martabat HAM bekas ianfu ditindas dan dirusak, tugas mengemban imperatif moral atas korban perbudakan seks seharusnya tidak hanya dilakukan Senat AS dan pemerintah, tetapi oleh semua manusia di mana pun berada.

Kedua, keniscayaan ikatan kolektif-solidaritatif. Dibutuhkan setengah abad, sampai jeritan menangisi kepingan reruntuhan martabat diri oleh bekas wanita ianfu dijadikan isu HAM. Jeritan lestari tangisan kemanusiaan mereka baru terdengar dan kebenaran fakta historisnya bisa terbedah karena termediasi oleh usaha kolektif-solidaritatif berbagai pihak, mulai dari relawan kemanusiaan, jurnalis, media, intelektual, pelaku kekerasan seksual sendiri, politisi, elite pemerintah, dan masyarakat. Ikatan kolektif solidaritatif ini pula yang perlu dihidupkan di tengah ketaktuntasan urusan berbagai masalah HAM di negeri ini.

Ketiga, istilah Inggris menyebut bekas wanita ianfu sebagai comfort women. Wanita diidentikkan dengan obyek kenikmatan (comfort) bagi pria prajurit perang saat itu. Tetapi, ketika wanita dijadikan obyek kesenangan, yang ada bukan lagi kenikmatan (comfort), tetapi brutalitas. Karena itu, muatan sejarah yang perlu dipersoalkan di sini bukan comfort women (wanita penghibur), tetapi derita perempuan (suffering women), yang harus ditautkan dengan brutalitas pria prajurit perang.

Derita perempuan korban harus ditempatkan sebagai fokus keprihatinan, dan brutalitas pria prajurit perang dijadikan sasaran yang harus dicela. Lain kata, titik pandang sejarah harus ditempatkan dalam lokus realitas para korban, dalam hal ini derita para wanita ianfu. Hanya dengan itu, sejarah akan menjadi alur nyata, sungguh-sungguh ada dalam ruang waktu.

Mengutip Caroline Berndt, "To see what happened to one woman is a way of making history concrete" (Memahami apa yang terjadi dalam diri seorang wanita adalah cara menjadikan sejarah itu konkret).

Dari titik pandang dan ikatan kolektif solidaritatif yang sama ini, jeritan kemanusiaan para korban HAM, yang sebagian besar menimpa kaum wanita hingga hari ini, perlu ditanggapi.

Steven Mere Misionaris Indonesia yang berkarya di Nagoya, Diperbantukan di Department of Asian Studies Nanzan University, Nagoya, Jepang

TAJUK RENCANA
Peringatan Komisi Uni Eropa

Komisi Uni Eropa akan mengeluarkan larangan terbang di wilayah 27 negara anggota Uni Eropa. Salah satunya yang terkena larangan adalah Indonesia.

Kepada para warga di 27 negara Uni Eropa juga akan diingatkan perihal risiko jika mereka menggunakan penerbangan maskapai Indonesia. Pemerintah Indonesia di antaranya lewat Dirjen Perhubungan Udara berusaha keras menjelaskan langkah-langkah perbaikan keamanan penerbangan oleh maskapai Indonesia. Penjelasan dilakukan sebagai usaha mencegah rencana larangan Uni Eropa dilaksanakan serta menjelaskan proporsi persoalan.

Kita hargai upaya Departemen Perhubungan mencegah rencana larangan Komisi Uni Eropa itu. Lagi pula memang benar perbaikan sedang dilakukan oleh departemen tersebut. Tidak kalah penting terutama bagi pemerintah dan maskapai penerbangan Indonesia adalah makna pernyataan Komisi Uni Eropa. Jika kita dikritik, reaksi yang cerdas dan bijak adalah menerima kritik, menilai proporsi kritik, dan menanggapinya secara positif. Kita wajar menangkis kritik dan menjelaskan duduknya perkara.

Tidak kalah penting adalah menerima kritik dengan sikap positif. Artinya, kita tidak larut oleh pembenaran diri, tetapi kita mengambil pelajarannya dan meletakkan tanggung jawab juga lebih pada kita sendiri. Sikap itu pula yang misalnya harus kita ambil terhadap beragam kasus penganiayaan dan perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi terhadap para TKI. Minta pertanggungjawaban pemerintah negara-negara tempat TKI bekerja. Namun, tidak kurang penting adalah juga pertanggungjawaban lembaga-lembaga pengirim TKI dan pemerintah kita.

Menyangkut larangan penerbangan oleh Komisi Uni Eropa, tentu saja kita pertama dan terutama ingat akan "kebetulan" terjadinya musibah angkutan berturut-turut di darat, di laut, dan di udara beberapa bulan lalu. Kecelakaan dan musibah itu dramatis lagi tragis. Masuk akal, dampak dan reaksinya tersebar secara "global, serentak, dan interaktif". Reaksi Komisi Uni Eropa kiranya juga dibangkitkan oleh kecelakaan dan musibah berturut-turut yang dramatis dan tragis itu.

Dalam kaitan itu kita pun melakukan refleksi dan kritik diri secara jujur. Kesimpulan kita, di antaranya, benar kita lemah dalam sikap memelihara dan merawat, cek dan recek biar sudah berlaku peraturan wajib, tidak kita lakukan secara konsisten, serius, dan bertanggung jawab. Membeli kita bisa dan rajin kalau ada dana, tetapi memelihara dan merawat kita lemah. Di antara berbagai sikap dan nilai serta praktik budaya yang lemah, lemahnya sikap memelihara dan merawat termasuk kuat. Reformasi karena itu harus juga mencakup sikap dan orientasi nilai berikut praktiknya.

Kita hargai prakarsa lingkungan Departemen Perhubungan untuk mengoreksi diri dan melakukan perbaikan-perbaikan. Mudah-mudahan tidak demenyar (lekas lupa), tetapi konsisten. Peringatan yang disampaikan Uni Eropa harus memecut kita lebih cepat melakukan perbaikan sekaligus mengangkat kembali citra kita.

***

Citra Nasional dalam Pergaulan Dunia

Rabu (27/6), lembaga Pew Research Center mengumumkan hasil jajak pendapat di 47 negara di berbagai belahan dunia yang melibatkan 45.000 orang.

Salah satu hasilnya menyebutkan bahwa ketidakpercayaan terhadap AS meningkat walaupun secara keseluruhan pandangan terhadap satu-satunya adidaya dunia ini masih baik di sebagian besar—25 dari 47— negara yang disurvei.

Direktur Pew Global Attitudes Project Andrew Kohut menyatakan, anti-Amerikanisme makin mendalam sejak tahun 2002, tetapi tidak meluas. Hal itu menjadi makin buruk di antara sekutu Eropa dan sangat sangat buruk di dunia Muslim. Pandangan baik mengenai Amerika ada di banyak negara Afrika, juga di wilayah "Eropa Baru", seperti Ceko atau Romania dan Timur Jauh.

Meskipun demikian, ada satu hal menonjol yang tidak disukai dari AS di sebagian besar negara yang disurvei, yakni kebijakan luar negeri dan gaya demokrasinya. Responden di seluruh dunia tidak saja menghendaki agar AS segera menarik tentaranya dari Irak "secepat mungkin", tetapi juga segera mengakhiri intervensi militer AS dan NATO di Afganistan.

Namun, survei ini juga menemukan hal lain di luar AS. Misalnya saja kerisauan terhadap membesarnya perekonomian dan militer China, sementara kepercayaan terhadap kepemimpinan Presiden Vladimir Putin dari Rusia pun merosot tajam.

Sebelum ini, kita juga sering mendengar orang berbicara mengenai stereotip satu bangsa, apakah ia bangsa yang rajin, hangat terhadap orang asing, unggul dalam iptek, efisien, dan sebagainya.

Sayang, untuk Indonesia, citra yang ada sekarang ini lebih banyak negatifnya. Jika dulu kita sering dicitrakan sebagai bangsa yang murah senyum, toleran, kini citra yang ada lebih banyak sebagai bangsa korup, senang gontok-gontokan, dan tidak toleran. Kita sedih dan prihatin dengan penilaian yang lalu menghasilkan citra seperti itu. Citra tersebut muncul bukan karena sikap politik kita, tetapi sangat merugikan.

Kemarin kita membaca berita bahwa Uni Eropa bermaksud melarang maskapai penerbangan Indonesia beroperasi di wilayah Uni Eropa karena tidak aman. Kita berpandangan di dalamnya ada elemen penilaian yang kurang fair. Namun, langkah Uni Eropa ini juga tak bisa dipisahkan dari rentetan musibah yang belum lama ini menimpa industri angkutan udara kita.

Kita tidak ingin citra buruk terus menempel di diri kita. Akan tetapi, jelas, untuk mengakhirinya dibutuhkan kerja keras, membuktikan kepada bangsa lain bahwa kita mampu dan becus mengelola urusan kita, apakah itu industri penerbangan ataupun pengelolaan hutan.

Friday, June 29, 2007

Laporan Kependudukan PBB

Tajuk Rencana KOMPAS

Badan Kependudukan PBB atau United Nations Population Fund (UNPF, dulu UNFPA), Rabu (27/6), menerbitkan laporan tentang kependudukan dunia.

Laporan bertajuk "State of World Population Report 2007, Unleashing the Potential of Urban Growth" ini menyebutkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, lebih dari setengah penduduk dunia— atau 3,3 miliar—akan tinggal di kawasan perkotaan pada tahun 2008. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi 5 miliar pada tahun 2030.

Di antara penghuni baru perkotaan ini adalah keluarga berpenghasilan rendah. Kalau saja tidak dilakukan langkah responsif, banyak kota yang tidak akan mampu menampung pertumbuhan cepat tersebut. Penyebabnya bukan migrasi, tetapi pertumbuhan alami, dengan jumlah kelahiran lebih banyak daripada jumlah kematian.

Pertanyaannya, apakah urbanisasi yang meningkat itu seluruhnya buruk? Hal ini dijawab oleh Direktur Informasi UNPF Safiye Cagar bahwa urbanisasi memang hal tak terelakkan, tetapi itu bisa menjadi sesuatu yang positif. Pada satu sisi akan ada pemusatan kemiskinan di perkotaan, tetapi pada sisi lain kota juga akan terus memberikan pengharapan bagi kaum miskin, memberi mereka kesempatan untuk meningkatkan standar hidup yang tidak mereka dapatkan di pedesaan.

Tepatnya di sini kita melihat hal-hal yang kritikal dalam memandang persoalan. Pada satu sisi pembangunan perkotaan akan menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi pada sisi lain ada yang meyakini bahwa kota akan menjadi tempat yang baik untuk memulai masa depan berkelanjutan bagi seluruh manusia.

Hanya saja, soal terakhir itu masih merupakan asumsi, karena pengalaman selama ini justru memperlihatkan kerusakan lingkungan yang terjadi jarang diperbaiki, baik karena sifatnya sudah tak terbalikkan maupun tidak ada komitmen atau biaya untuk itu.

Laporan PBB ini kemudian menyebutkan, kinilah saat bagi pemerintah kota dan pemerintah nasional, juga bersama PBB, untuk mengambil langkah dan membuat perbaikan dalam kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi warga perkotaan.

Akhirnya laporan mengusulkan sekurang-kurangnya tiga langkah. Pertama, menghormati hak warga miskin perkotaan. Kedua, menetapkan pengelolaan spasial perkotaan dalam upaya untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan keberlanjutan. Ketiga, adanya lembaga-lembaga dan pakar demografi yang memainkan peranan penting dalam mendukung upaya perbaikan wilayah kota yang bertambah luas dan mengakomodasi dinamika kota di masa depan

Hiburan dan Wisata
Delapan Tahun Makau di Tangan China

AHMAD ARIF

Delapan tahun silam, ketika Makau baru saja dikembalikan Portugal ke tangan China dengan status daerah administrasi khusus, banyak yang meragukan: Makau bisa apa? Apalagi, saat itu, Makau dikenal sebagai pusat gangster Triad yang melegenda. Namun, Makau benar-benar telah berubah menjadi kekuatan baru di kawasan Asia selain Hongkong.

Tak hanya bangkit dari keterpurukan akibat pertumbuhan ekonomi yang minus selama periode 1996-1999, dalam delapan tahun terakhir Makau melompat sangat cepat. Pertumbuhan ekonomi Makau mencapai 15-20 persen per tahun, terbesar dalam sejarah kota, yang pernah dikuasai Portugal selama 442 tahun dan dikembalikan ke China pada tahun 1999 ini.

"Sejak kembali ke China, ekonomi Makau berkembang secara mantap. Pemerintah daerah khusus Makau menetapkan garis pengembangan ekonomi dengan memprioritaskan industri perjudian, jasa, dan pariwisata," kata Tse Heng Sai, Kepala Departemen Promosi dan Pemasaran, Kantor Pariwisata Pemerintah Makau, kepada sejumlah wartawan Indonesia yang diundang oleh VIVA Macau, pertengahan Mei lalu.

Jika Hongkong didesain sebagai pusat bisnis, Makau diarahkan menjadi pusat hiburan dan wisata. Pemerintah pusat Tiongkok yang menerapkan prinsip satu negara dua sistem terus menggulirkan kebijakan yang menguntungkan perkembangan ekonomi Makau. Pemanjaan terhadap Makau dan Hongkong sengaja dilakukan untuk menggaet Taiwan agar kembali ke China.

Sejak akhir Juli 2003, sejumlah provinsi di daratan China berturut-turut membuka pariwisata perseorangan ke Hongkong dan Makau sehingga jumlah wisatawan ke Makau bertambah dengan nyata. Bulan Oktober 2004, pemerintah pusat menandatangani pengaturan kemitraan ekonomi lebih erat antara daratan Tiongkok dan Makau. Hal ini telah membuka lebar pintu masuk produk dan jasa Makau ke pasar daratan Tiongkok, demikian pun sebaliknya.

Makau pun dijadikan satu paket perjalanan dengan Hongkong dalam promosi wisata. Dengan kapal cepat, waktu tempuh dari Hongkong ke Makau yang hanya satu jam membuat Makau ikut menikmati imbas popularitas daerah otonom tetangganya yang lebih dulu berkembang.

Sistem ekonomi Makau yang memiliki ciri terbuka dan luwes menyebabkan barang, modal, dan orang bebas masuk dan keluar. Pemerintah pusat China telah menyiapkan Makau untuk menjaring pasar dan investasi dari negara-negara berbahasa Portugal yang berpenduduk lebih dari 200 juta orang serta kawasan Uni Eropa, dan Amerika. Espektasi itu sepertinya mulai berhasil.

Jaminan keamanan

Selain mempermudah aturan investasi, salah satunya dengan tiadanya pungutan pajak (0 persen) untuk penjualan properti, kunci dari pesatnya pertumbuhan Makau, menurut Tse Heng Sai, adalah pemberantasan kriminalitas yang menjadi momok Makau selama dipegang Portugal. "Makau sekarang kota yang aman, dan terbuka lebar untuk segala jenis investasi," sebut Tse.

Menyusuri jalanan Makau siang dan malam, memang tak lagi diliputi rasa cemas. "Dulu jarang orang berani keluar setelah malam. Gangster berkuasa. Setelah tahun 1999, banyak anggota geng dan penjahat ditembak di tempat. Sejak itu suasana kota menjadi aman," kata Ester Lao (58), taipan yang lahir di Rantau Prapat, Sumatera Utara, dan telah tinggal di Makau sejak tahun 1960-an.

Tak hanya perubahan keamanan, kemajuan ekonomi juga dirasakan tumbuh pesat. Menurut Lei Wa Kok (43), pemandu wisata di Makau, dulu hanya orang-orang Portugal dan orang-orang yang mau menyuap saja yang berjaya.

Saat ini sebagian besar warga Makau bekerja di sektor perjudian. "Kerja di meja kasino sebagai pelayan, paling rendah digaji 13.000 MOP atau setara dengan 1.625 dollar AS. Dulu, mencari kerja dengan gaji 500 MOP per bulan saja susah," tutur Lei.

Bertumpu pada judi

Jika kejahatan gangster yang menjadi ciri khas Makau lenyap, tidak demikian dengan dunia judi dan hiburannya. Kasino semakin berjaya sebagai tulang punggung pertumbuhan Makau.

Industri judi pun kemudian mendatangkan keuntungan di sektor industri perhotelan, restoran, dan pariwisata yang menyerap banyak tenaga kerja. Hampir semua hotel bintang empat dan lima di Makau dilengkapi kasino.

Kasino dan perhotelan bermunculan bagai cendawan di musim hujan setelah liberalisasi judi diberlakukan tahun 2001. Semasa masih dipegang Portugal, hanya Stanley Ho dengan Sociedade de Jogos de Makao (SJM)-nya yang memonopoli judi di Makau.

Untuk mendorong persaingan di sektor perjudian, pemerintah daerah khusus Makau pada tahun 2001 memutuskan untuk mematahkan sistem monopoli industri perjudian dengan menerbitkan lagi dua izin usaha perjudian.

Hal ini telah membawa hasil positif. Industri perjudian Makau pada tahun 2004 memperoleh penghasilan 2,5 miliar dollar AS, dan jumlah tamu yang berkunjung ke Makau di atas 10 juta orang selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun 2006, penghasilan Makau dari judi mencapai 6,95 miliar dollar AS (atau sekitar 70 persen dari pendapatan Makau), dan disebut-sebut telah melampaui Las Vegas, AS.

Wisatawan dari China yang berkunjung ke Makau berada di peringkat tertinggi, dengan jumlah 11,9 juta orang pada tahun 2006, disusul Hongkong 6,9 juta orang, Taiwan 1,4 juta orang, Jepang 220.000 orang, dan Malaysia 202.000 orang. Adapun pelancong dari Indonesia, walaupun tidak masuk dalam 10 besar, terus menunjukkan peningkatan. Jika tahun 2005 mencapai 46.000 orang, pada tahun 2006 pelancong Indonesia mencapai 68.000 orang.

Liberalisasi industri judi ini juga mendatangkan para pengelola rumah judi kelas kakap yang selama ini hanya berkutat di Las Vegas. Mereka melebarkan usaha ke Makau dengan nilai investasi yang fantastis. Pemilik Las Vegas Sands Corp, Sheldon Adelson, misalnya, sudah mengucurkan investasi lebih dari 2,3 miliar dollar AS dan Wynn Resorts milik miliarder Steve Wynn senilai 1 miliar dollar AS.

Menurut data Kantor Pariwisata Pemerintah Makau, selama 10 tahun ke depan terdapat 60 hotel baru yang akan dibangun dan 66 hotel yang menambah luas bangunan di Makau. Dengan demikian, dalam 10 tahun ke depan, akan terjadi penambahan jumlah kamar hotel di Makau sebesar 42.319 unit. Jadilah Makau tumbuh sangat cepat, melampaui kemampuan ruang kota yang tersedia

Kesenjangan Bertahan
Kemakmuran Tetap Didominasi Segelintir Elite Hitam dan Putih

Midrand, Kamis - Afrika Selatan sudah 13 tahun dipimpin elite politik kulit hitam dengan payung Kongres Nasional Afrika atau ANC. Ada kemajuan, tetapi pada umumnya kesenjangan sosial dan ekonomi tetap terjadi bahkan makin memburuk dengan perbedaan atau ketimpangan yang makin dahsyat.

Hal itu mencuat pada kongres ANC yang berlangsung empat hari di Midrand, dekat Johannesburg, mulai Rabu (27/6), dan berlangsung selama empat hari. Presiden Afrika Selatan Tabo Mbeki, juga elite dari ANC, mengakui kesenjangan tersebut.

Kritikan pedas pun ditujukan kepada ANC. Kesenjangan dinilai menjadi bom waktu yang akan merusak reputasi ANC, yang menggantikan kekuasaan elite putih (Apartheid) yang terjungkal pada 1994. Sejak tahun 1994 Afrika Selatan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sekitar 85 persen dari total kepala keluarga memiliki akses terhadap air bersih, naik dari 61 persen pada tahun 1994. Lebih dari empat juta rumah telah dibangun.

Akan tetapi, tingkat pengangguran masih tinggi, yaitu sekitar 40 persen dari total angkatan kerja. Publik makin tidak puas dengan pemerintah yang dinilai tidak bisa mengoreksi ketimpangan. Afrika Selatan berpenduduk 47,4 juta jiwa. Total produk domestik bruto (PDB) 570,2 miliar dollar AS berdasarkan keseimbangan daya beli, atau nomor 18 tertinggi di dunia.

Pendapatan per kapita Afrika Selatan 12.161 dollar AS per tahun atau nomor 57 di dunia. Namun, koefisien gini mencapai angka 0,58 alias di atas 0,32 (yang dianggap sebagai standar internasional). Koefisien gini adalah pengukur kesenjangan pendapatan. Koefisien sekitar 0,32 dianggap sebagai gambaran dari kesenjangan pendapat yang tidak buruk. Angka koefisien gini di atas itu menunjukkan kesenjangan yang memburuk.

Rasisme

Masalah di Afrika Selatan juga menyangkut kesenjangan ras, jender, dan kesenjangan untuk memperoleh kesempatan. Kejatuhan Apartheid tetap hanya menguntungkan segelintir elite kulit hitam dan kulit putih. ANC pun mulai terpecah antara kelompok kiri, yang dianut oleh Wakil Ketua ANC Jacob Zuma, dan kubu Presiden Mbeki.

Joel Netshitenzhe, Kepala Kebijakan di Kantor Presiden Afrika Selatan, mengingatkan pejabat pemerintah yang korup, berpihak kepada pebisnis (didominasi kulit putih), dan sikap anggota ANC yang tak acuh pada kelas buruh.

Sekretaris Jenderal Kongres Serikat Pekerja Afrika Selatan (COSATU) Zwelinzima Vavi mengatakan, "ANC telah gagal. Kekuatan ekonomi tetap dikuasai kulit putih dan mayoritas warga tetap terjebak pada kemiskinan dan pengangguran."

Presiden Mbeki mengatakan, warisan sejarah selama 350 tahun tidak bisa diatasi dalam 13 tahun. Hal tersebut didukung oleh Charles Meth, peneliti dari University of Cape Town, bahwa kemiskinan baru diatasi selama beberapa dekade.

Akan tetapi, di akhir pertemuan, ANC diharapkan bisa menelurkan kesepakatan soal cara mengatasi kesenjangan, termasuk mendiskusikan soal monopoli permodalan di tangan kulit putih. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Lebanon
Pemerintah "Kuasai" Kamp Palestina

Cairo, Kompas - Militer Lebanon berhasil melumpuhkan kekuatan utama Fatah al-Islam. Sekarang hanya ada sisa-sisa kekuatan kelompok tersebut di kamp pengungsi Nahr al-Bared. Menteri Pertahanan Lebanon Elias al-Murr berani mengumumkan perang melawan Fatah al-Islam telah selesai.

Ketua Partai Kongres Rakyat Lebanon Kamel Shatila mengungkapkan hal itu, Rabu (27/6) di Cairo, Mesir. "Nasib Shaker al-Abssi, Ketua Fatah al-Islam, masih belum jelas. Ada yang mengatakan dia sudah lari. Ada yang bilang dia sudah tewas, tetapi ada juga yang mengatakan dia masih bertahan di Nahr al-Bared," ujarnya.

Namun, Shatila mengatakan, tidak tertutup kemungkinan ada kelompok atau unsur radikal lain yang masuk ke Lebanon. Ia mengatakan terkejut atas terjadinya kontak senjata terbatas antara militer dan kelompok bersenjata beberapa hari lalu, karena sebagian besar penduduk Tripolis adalah Muslim moderat.

Tentang identitas Fatah al-Islam, Shatila mengatakan, berbagai pihak punya pandangan yang berbeda. "AS dan Barat mengatakan, Fatah al-Islam adalah bagian dari jaringan Tanzim Al Qaeda. Pemerintah Lebanon menyebut Fatah al-Islam adalah antek- antek Suriah," ujarnya.

Ia berdalih, berbagai gelombang kekerasan cenderung meningkat di Lebanon karena wilayah Lebanon adalah sangat terbuka bagi aktivitas intelijen asing sejak pengaruh Barat kian kuat lewat turunnya Resolusi PBB Nomor 1559 tahun 2004, soal pengadilan internasional atas kematian almarhum mantan PM Rafik Hariri. Tertuduhnya adalah Pemerintah Suriah.

Mata-mata merebak

Hampir semua jaringan intelijen dunia melakukan aktivitas di Lebanon. Sangat sulit mendeteksi dari mana datangnya kelompok dan dana pendukung aksi kekerasan tersebut. Ia mencontohkan, serangan terhadap pasukan UNIFIL (Pasukan Sementara PBB di Lebanon) menewaskan sejumlah pasukan Spanyol. Ini adalah tindakan untuk mengacau keadaan.

Menurut Shatila, Spanyol cukup dekat dengan bangsa Arab. Spanyol telah menarik pasukan dari Irak dan mendirikan forum dialog Islam-Kristen. "Rakyat Lebanon menaruh simpati kepada pasukan Spanyol yang tergabung dalam UNIFIL. Siapa yang berbuat, tentu sulit menunjuk hidung karena wilayah Lebanon terbuka," kata Shatila.

Ia memberi contoh lagi, Fatah al-Islam tiba-tiba bentrok senjata dengan kelompok Palestina lain yang menamakan diri Fatah Abu Ammar. Menurut dia, faksi Fatah, DFLP (Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina), dan PFLP (Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina) mengambil keputusan melindungi pengungsi di kamp lama, serta melarang Fatah al-Islam masuk ke kamp lama itu sehingga warga sipil tidak menjadi korban.

Namun, masih ada unsur Fatah al-Islam yang mencoba masuk ke kamp lama sehingga terjadi kontak senjata dengan pihak Palestina lain. Tentang kemungkinan meletus perang saudara, Shatila menegaskan, tidak ada faktor di Lebanon yang akan menyeret pada perang saudara seperti yang terjadi di Irak sekarang.

AS turut mengacau

Menurut Shatila, memang ada upaya untuk menggiring Lebanon ke arah perang saudara lagi yang berwarna sektarian, seperti perang Syiah-Sunni atau perang agama seperti Islam-Kristen. Namun, upaya itu gagal.

"Perpecahan di Lebanon sekarang adalah politik, di mana masing-masing kubu terdapat Sunni, Syiah, dan Kristen. Maka, perang saudara total belum ada tanda- tanda. Namun kalau sekadar kasus kecil atas spontanitas mungkin terjadi," lanjutnya.

Faktor lain yang menyebabkan sulit meledak perang saudara, tambah Shatila, adalah militer Lebanon sekarang cukup kuat. Ia mengatakan, seandainya Lebanon punya militer kuat pada tahun 1975, maka tidak akan meletus perang saudara pada saat itu. Selain kuat, lanjutnya, militer mendapat dukungan kuat dari semua etnis dan mazhab agama.

Ketua Partai Kongres Rakyat Lebanon itu menyebut ada empat ancaman negara. Pertama, campur tangan Barat, khususnya AS, merupakan problem sejak 2004 hingga sekarang. Kedua, upaya Israel memecah belah Lebanon setelah gagal mendudukinya. Ketiga, ada pihak di pemerintahan Lebanon yang ingin menjauhkan Lebanon dari Arab dan dekat dengan Barat. Keempat, bahaya radikalisme seperti yang terjadi pada Fatah al-Islam.

"Saya sudah memberi peringatan bahwa campur tangan asing akan mendapatkan reaksi dalam bentuk radikalisme. Karena itu, jauhkan Lebanon dari pengaruh asing untuk mencegah radikalisme," kata Shatila.

Ia menuduh AS menggagalkan misi Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Mousa untuk menyelesaikan problem Lebanon pekan lalu. "AS mengatakan inisiatif Arab tak ada kaitan dengan Lebanon. AS memberi lampu hijau pada kubu 14 Maret, yang berkuasa, untuk menjegal misi Amr Mousa," kata Shatila. (MTH)

Thursday, June 28, 2007

Inggris dan Perdana Menteri Barunya


Mulai Rabu (27/6) ini Inggris berganti pemimpin. Era Tony Blair sebagai perdana menteri selama satu dasawarsa telah usai, digantikan oleh Gordon Brown.

Selama ini Brown dikenal sebagai menteri keuangan. Sebagaimana lazim terjadi di negara lain, pergantian pemimpin diliputi harapan baru dan disertai pula dengan catatan atas kepemimpinan yang baru berakhir.

Tentang Tony Blair, banyak yang dapat dikenang tidak saja oleh rakyat Inggris, tetapi juga masyarakat internasional. Seperti disinggung oleh penggantinya, Blair yang memenangi Pemilu Mei 1997 berjasa menciptakan perdamaian di Irlandia Utara. Blair juga melancarkan reformasi pelayanan publik. Tentu saja Blair juga telah ikut ambil bagian dalam membangun wajah Eropa.

Namun, berbagai warisan positif itu seperti tertutup oleh sikap politik yang dipilihnya, dalam hal ini yang mendukung pemimpin Amerika Serikat George Walker Bush, khususnya untuk invasi ke Irak tahun 2003. Sikap ini—ketika Irak berubah menjadi negeri malang yang terus terbakar konflik hingga hari ini—lalu menimbulkan kecaman keras, terhadap Inggris dan khususnya terhadap Blair. Perlawanan bahkan muncul dari dalam partainya sendiri sehingga ia terpaksa mundur.

Sebetulnya sikap Blair tidak jauh berbeda dengan pemimpin Inggris lain karena pada dasarnya hubungan Inggris-AS bersifat spesial, tidak tergantung siapa perdana menterinya. Di era 1980-an, Margaret Thatcher dari Partai Konservatif juga amat dekat dengan Presiden Ronald Reagan. Hanya saja, mungkin Blair tidak menyangka perkembangan di Irak sedemikian parah, dan semua itu akibat kalkulasi ngawur pemimpin AS. Ia pun lalu ikut menjadi korban meski hingga saat terakhir Blair tidak mengakui kebodohan yang ada pada kebijakan AS tentang Irak, dan tetap mendukung kebijakan itu.

Kini, selepas dari Downing Street Nomor 10, Blair mendengar ada peluang ia bisa menjadi utusan perdamaian Timur Tengah yang dikenal. Namun, tentu saja untuk menjadi utusan yang kredibel, pertama-tama ia perlu mengubah citra diri yang telanjur kuat dikaitkan dengan Bush yang tidak populer lagi.

Sementara terhadap pemimpin baru, rakyat Inggris, yang semakin kritis terhadap jabatan perdana menteri, menuntut banyak. Merevitalisasi Partai Buruh mungkin saja hal penting, tetapi yang lebih mendesak lagi adalah bagaimana PM Brown mengubah citra Inggris dalam kebijakan luar negeri, khususnya menyangkut Irak.

PM Brown merasa perlu untuk menegakkan legitimasi secara nasional, tidak sekadar di lingkungan partainya sendiri. Ia akan menyelenggarakan pemilu lebih dini dan menyatakan Partai Buruh siap memenanginya. Pergantian pemimpin Inggris perlu disimak mengingat perannya yang besar dalam percaturan politik dunia.

Nasionalisme Arab Versus Agamisme

M Hasibullah Satrawi

Dalam sebuah wawancara dengan Usamah Abdulhak, bapak spiritual Gerakan Perlawanan Islam (al-harkah al-muqawamah al-islamiyyah), biasa disebut Hamas, Syeikh Ahmad Yasin menyatakan, ke depan ada agenda politik Islam spektakuler.

Masa depan berada di tangan gerakan-gerakan politik keagamaan (Islam), yaitu dengan perlawanan dan jihad secara terus-menerus (Ummatun Tuqawim/Bangsa yang Melawan, 2001 : 27).

Pernyataan Syeikh Ahmad Yasin yang disampaikan empat tahun sebelum malaikat maut menjemputnya (2004) kini hampir sepenuhnya menjadi kenyataan. Saat ini gerakan-gerakan politik keagamaan banyak berkibar di dunia Arab. Mulai dari Palestina yang tidak pernah berhenti bergejolak hingga Mesir yang dalam beberapa tahun terakhir dikenal cukup "adem ayem".

Pada pemilihan umum September 2005, Hamas berhasil mengalahkan Fatah yang dikenal sebagai sayap nasionalis Palestina. Tentu saja, hal ini sangat menyakitkan bagi Fatah, tetapi tidak demikian bagi Hamas. Kemenangan di atas merupakan kenyataan politik paling indah semenjak gerakan ini dibentuk pada tahun 1987 dengan sejarah panjangnya yang penuh luka dan derita.

Hampir semua pihak tidak percaya dan tak menerima kemenangan Hamas di atas. Israel, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, contohnya, langsung memboikot Palestina di bawah kepemimpinan Hamas. Kondisi Palestina pun semakin "sekarat". Berbagai macam kompromi politik gagal dijalankan. Hingga akhirnya pemerintahan Palestina bersatu dibubarkan oleh Presiden Mahmud Abbas melalui dekritnya beberapa waktu lalu.

Di "gelanggang" yang lain, kita menyaksikan pertarungan nasionalisme Arab versus agamisme yang tak kalah seru dari yang terjadi di Palestina, yaitu di Mesir. Sebagaimana dimaklumi, dalam pemilihan umum terakhir (Juli 2005) di sana, gerakan politik keagamaan seperti Ikhwan Muslimin dan Kifayah tampil sebagai kekuatan politik pilih tanding bagi pemerintah yang dalam beberapa segi mewakili kalangan nasionalis. Menurut banyak pengamat, kalau tidak karena "tangan besi" pihak penguasa, calon presiden dari kalangan agamis nyaris tak terganjal lagi. Kini kalangan agamis tampil sebagai "oposisi bertaring" di Parlemen Mesir.

Pertarungan ini tampak semakin seru di babak berikutnya, yaitu dalam referendum untuk mengamandemen konstitusi Mesir pada Maret lalu. Kalangan agamis beranggapan bahwa amandemen konstitusi ini tak lain adalah "peti mati" yang dipersiapkan pihak-pihak berkuasa bagi gerakan-gerakan politik keagamaan di negeri Piramid itu. Hal ini bisa dicontohkan dengan butir 5 dalam konstitusi Mesir yang diamandemen. Butir ini membahas tentang sistem perpolitikan. Sebelum diamandemen, butir 5 berbunyi demikian; sistem politik Mesir menganut sistem multipartai, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setelah diamandemen, butir tersebut berbunyi, sistem politik Mesir menganut sistem multipartai, di mana setiap warga berhak mendirikan partai sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, setiap warga dilarang melakukan aktivitas politik atau mendirikan partai politik yang berdasarkan agama.

Begitu juga dengan butir-butir lain, seperti butir 76 (tentang pemilihan umum dan pencalonan presiden), butir 88 (tentang pemilihan anggota parlemen), butir 179 (tentang pemberantasan terorisme), dan butir 77 (tentang masa jabatan presiden).

Dalam waktu tidak lama lagi, Irak diperkirakan akan menjadi "lapangan" berikutnya bagi partai puncak nasionalisme Arab versus agamisme. Semenjak rezim Saddam Husein tumbang pada tahun 2003, Irak menderita perang saudara yang bertambah hari semakin mengganas, terutama antara orang- orang Syiah dan Sunni.

Percikan-percikan konflik di antara dua kelompok ini hakikatnya telah terjadi di masa Saddam. Namun, tangan besi Saddam Husein yang dikenal sebagai salah satu tokoh nasionalis terkemuka Arab bisa menggenggam percikan konflik tersebut.

Ketika genggaman tangan besi itu dilepas dengan paksa oleh Amerika Serikat beserta sekutunya, terjadilah seperti sekarang; perang terjadi di mana- mana. Konflik Sunni-Syiah di Irak saat ini tak lain adalah "proses menjadi" bagi kekuatan agamisme untuk melawan nasionalisme Arab yang sudah sekian lama ditekan oleh Saddam Husein.

Nasionalisme Arab

Bagi dunia Arab, nasionalisme seperti yang dipahami dalam dunia modern saat ini adalah hal baru. Ini adalah pengalaman terkini dan terpendek (secara masa) negara Arab dalam ketatanegaraan dan pemerintahan. Sebagaimana dimaklumi, pintu- pintu nasionalisme mulai dibuka pada abad ke-18 M hingga sekarang. Sebelumnya, negara-negara Arab menghabiskan waktu cukup panjang dengan sistem pemerintahan kesukuan, kekabilahan, dan dinasti, yakni dimulai dari masa pra-Islam hingga dinasti Utsmaniyah dibubarkan pada tahun 1923.

Kesadaran nasionalisme Arab perlahan muncul setelah mereka "bergesekan" dengan bangsa lain (Eropa), terutama kalangan intelektualnya. Pada abad ke-18 M, Rifa’ah At-Thah Thawi (Mesir) dan Khairuddin At-Tunisi (Tunisa) bisa dikatakan sebagai pembuka gerbang nasionalisme ini, yaitu ketika dua tokoh terkemuka di atas belajar di Perancis.

Pada masa berikutnya, Jamaluddin al-Afghani (Iran) dan Muhamamd Abduh (Mesir) memberikan "pupuk pemikiran" bagi tumbuh suburnya nasionalisme Arab. Kedua tokoh inilah yang dengan gigih mengampanyekan pemikiran progresif dan inklusif terhadap pihak lain (Barat) selama semua itu bermanfaat bagi masyarakat.

Pupuk pemikiran di atas membuat generasi berikutnya (seperti Thaha Husaein, Husaein Haikal, dan Qasim Amin) dengan lantang dan penuh berani mengampanyekan nasionalisme Arab. Hingga akhirnya nasionalisme mengalir dalam diri para tokoh politik, kemudian melekat, atau bahkan berhenti (tersimbolisasi) dalam sosok Jamal Abd Nashir.

Di bawah kepemimpinan Abd Nashir bangsa Arab mempunyai daya tawar politik yang diperhitungkan. Tak hanya oleh musuh bebuyutannya (Israel), melainkan juga oleh negara-negara adidaya kala itu (AS, Eropa, dan Uni Soviet). Kebijakan untuk menasionalisasi Perusahaan Terusan Suez dan mengambil alih pengaturannya (1956) yang membuat lawan (Israel, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat) serta kawan (Uni Soviet) kelabakan cukup menggambarkan ketajaman strategi politik Abd Nashir. Namun, semua itu meredub setelah negara-negara Arab kalah dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Hingga akhirnya Abd Nashir meninggal pada tahun 1973.

Dalam buku Sejarah Bangsa-bangsa Muslim (diterjemahkan dari A History of The Arab Peoples), pakar di bidang Timur Tengah, Albert Hourani, menyebutkan, kematian Abd Nashir merupakan akhir dari sebuah era penuh harapan bagi dunia Arab untuk bersatu dan menyongsong zaman baru (Mizan, 2004 : 767).

Pernyataan di atas bukanlah isapan jempol belaka. Setidaknya bila ditinjau dari kondisi negara-negara Arab saat ini. Nasionalisme yang diperjuangkan oleh Abd Nashir kini tampak kehilangan orientasinya. Belakangan, nasionalisme Arab acapkali bergandengan tangan dengan pragmatisme kekuasaan; melanggengkan kekuasaan dan memborgol lawan-lawan politik. Kondisi demikian membuat negara-negara Arab saat ini di ambang kegagalan total, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial.

Kegagalan inilah yang menjadi salah satu penyebab kebangkitan agamisme di negara-negara Arab saat ini. Seperti pada saat awal kemunculan nasionalisme Arab (salah satunya karena gesekan pemikiran dengan Barat, runtuhnya Dinasti Utsmani, problem identitas dan imperialisme) agamisme kini kembali bentrok dengan kekuatan- kekuatan nasionalisme. Dan seperti sebelumnya, agamisme kembali mendapatkan perlakuan serupa dari kekuatan-kekuatan nasionalisme Arab, yaitu diboikot, dipenjara, dan dikebiri secara politik.

Agamisme bukanlah solusi bagi pelbagai problem bangsa Arab saat ini. Sebagaimana nasionalisme Arab—pragmatis tidak akan berbuat apa-apa bagi persoalan mereka. Egoisme keduanya harus dilepaskan. Hingga bisa melihat dengan mata telanjang problem-problem yang ada, yaitu ketertinggalan secara politik, sosial, ekonomi, bahkan juga pengetahuan.

Bila tidak, nasionalisme Arab dengan agamisme akan terus terlibat dalam gesekan dan ketegangan. Hingga menjadi sebuah pertarungan antiklimaks yang hanya membuat bangsa Arab semakin terpuruk.

M Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat Ini sebagai Peneliti di P3M Jakarta

Mencari Jalan Keluar Lewat Rekonsiliasi Agama

Trias Kuncahyono

Invasi militer pimpinan AS ke Irak telah menghasilkan tragedi kemanusiaan yang tak terperi. Irak tidak hanya di ambang perpecahan sebagai akibat perang. Masa depan negara itu pun semakim buram. Keamanan menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Itulah sebabnya, 40.000-50.000 orang Irak terpaksa meninggalkan negeri mereka setiap bulan.

Kristele Younes dalam tulisannya di Foreign Policy in Focus (14 Maret 2007), yang mengutip laporan PBB, menyebutkan, sebanyak 2,6 juta orang Irak telah meninggalkan negeri mereka sejak tahun 2003. Dua juta di antaranya mengungsi ke negara-negara tetangga, sementara 1,8 juta orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat yang dianggap aman di Irak.

Pada Februari, AS menerima 7.000 pengungsi asal Irak. Sebelumnya, sudah 2.000 pengungsi Irak tiba di AS. Sebagai perbandingan, AS hanya menerima sekitar 600 pengungsi Vietnam antara tahun 1954 dan 1974 selama Perang Vietnam berkobar. Banjir pengungsi terjadi setelah Saigon jatuh. Sejak saat itu berduyun-duyun orang Vietnam mencari selamat, termasuk ke AS. Menurut sensus 1980, ada 3,5 juta orang Vietnam yang hidup di AS dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 614.000 orang (The Christian Science Monitor, 26/6).

Saat ini pilihan orang Irak untuk mencari tempat pengungsian terbatas. Salah satu negara tujuan mereka untuk mengungsi adalah Swedia, yang tahun lalu menerima 9.000 orang. Tahun ini, Kementerian Imigrasi Swedia memperkirakan akan menerima 20.000 pengungsi Irak. Negara-negara di sekitar Irak juga menjadi tujuan untuk mencari selamat. Jordania sekarang menampung sekitar 33.000 orang, Suriah menerima 1,4 juta orang.

"Orang-orang Irak yang tidak dapat meninggalkan negeri mereka kini antre menunggu kematian menjemput," tulis Kristele Younes menggambarkan situasi di Irak saat ini. Ribuan orang Irak, kini, menghadapi kemungkinan menjadi korban pengeboman. Semua orang Irak, baik itu Sunni, Syiah, Kristen, dan kelompok-kelompok lainnya, seperti Palestina, kehidupannya terancam.

Yang ironi adalah jiwa mereka terancam karena afiliasi agama, status ekonomi, dan profesi, seperti dokter, guru, bahkan penata rambut, karena dianggap anti-agama.

Kondisi seperti itulah yang semakin memperumit situasi di Irak dan mempersulit usaha mencari perdamaian. Tiada hari tanpa peledakan bom dan penduduk sipil menjadi korbannya. Persaingan dan perseteruan berbau sektarian dari hari ke hari semakin terasa kentar.

Lingkaran bom bunuh diri seakan sulit diputus. Majalah The Economist (23-29 Juni) melaporkan, lingkaran bom bunuh diri Sunni yang dengan sasaran warga Syiah tidak memberikan pertanda akan berakhir. Belum lama ini sebuah bom mobil meledak di sebuah masjid milik kelompok Syiah di Baghdad. Ledakan bom itu menewaskan 78 orang. Pertengahan April, bom mobil meledak di sebuah pasar di Baghdad dan menewaskan 140 orang.

Situasi di lapangan seperti itulah yang mendorong atau menyuburkan arus pengungsian ke luar Irak.

Rekonsiliasi agama

Apakah rantai permusuhan itu benar-benar tidak bisa diputus? Kalau hal itu yang terjadi, gambaran akan terpecah belahnya Irak menjadi semakin nyata. Pecahnya Irak pun rasanya tidak menjamin akan lahirnya perdamaian dan kedamaian di kawasan itu.

Keprihatinan itulah yang antara lain telah mendorong sejumlah pemimpin agama bertemu di Baghdad belum lama ini. Ini pertemuan bersejarah. Baru kali ini, dalam 37 tahun terakhir, para pemimpin agama di Irak bertemu. Sebanyak 55 delegasi yang berasal dari kelompok Sunni, Syiah, Kurdi, Kristen, termasuk Yazidi (sebuah sekte agama di wilayah Kurdi, Irak bagian utara) bertemu.

Pada akhir pertemuan yang berlangsung dua hari, dimulai 12 Juni, mereka menandatangani kesepakatan bersama yang antara lain mencela sepak terjang Al Qaeda di Irak dan bertekad untuk melindungi tempat-tempat suci.

Pertemuan para pemimpin agama itu—apa pun hasilnya— telah menegaskan bahwa kehadiran agama jangan sampai menjadi landasan ideologis kekerasan. Sejarah telah mencatat bahwa tidak jarang kehadiran agama telah menimbulkan kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif, serta kekerasan fisik. Hal itu terjadi lantaran ada perbedaan antara pemahaman dan penghayatan.

Hannah Arendt, filsuf politik, mengingatkan, "Kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi dan menodai usaha yang telah kita perjuangan melawan totalitarianisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme adalah musuh besar kebebasan." Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan.

Selama ini, agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan. Dari satu sisi, agama merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Di dalam agama, banyak orang dan kelompok menimba kekuatan dan mendapatkan topangan berhadapan dengan penderitaan, penindasan, atau rezim totaliter.

Di sisi lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Pembelaan cenderung mengatakan bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan (Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas, 2003).

Para pemimpin agama Irak yang bertemu di Baghdad berusaha untuk membendung dan menghentikan kekerasan, permusuhan, dan pertikaian yang terjadi. Dalam kenyataannya, pertemuan itu memang tidak mendadak sontak menghentikan permusuhan berwarna sektarian.

Meski demikian, pertemuan itu sendiri sudah merupakan sebuah mukjizat. Oleh karena mereka yang selama ini berdiri berseberangan dan cenderung saling menyalahkan bersedia untuk duduk bersama berhadap- hadapan di satu ruangan, berbicara, berdialog, dan mencari jalan keluar dari krisis Irak yang hingga kini belum memberikan pertanda akan berakhir.

Mereka yang berpandangan pesismistik akan cenderung berpendapat bahwa pertemuan itu sekadar retorika belaka yang tidak akan menghasilkan apa-apa dan tidak mampu menghentikan permusuhan. Setiap kompromi akan dianggap sebagai kelemahan atau pengkhianatan. Dari sinilah kemudian muncul istilah martir atau pengkhianat (The Economist). Mereka yang berusaha mengupayakan perdamaian karena berjabat tangan dengan musuh, dianggap sebagai pengkhianat. Sebaliknya, mereka yang teguh membela perjuangan—walau dalam pengertian sempit sekadar untuk kepentingan kelompok dan golongan— dianggap sebagai pahlawan.

Sebaliknya, mereka yang berpandangan optimistik akan berpendapat bahwa pertemuan para pemimpin agama itu merupakan langkah fundamental yang akan membuka peluang bagi terciptanya rekonsiliasi yang lebih luas, paling tidak di antara para pemimpin agama itu sendiri.

Pilihan seperti itu—rekonsiliasi atau menerima pluralitas— akan memberi peluang yang besar bagi terciptanya perdamaian. Agama baru menjadi konkret sejauh dihayati secara benar oleh pemeluknya. Bila yang terjadi sebaliknya, maka konflik akan berubah menjadi perjuangan yang mempertaruhkan keberadaan manusia dan seluruh kemanusiannya. Tentu hal itu tidak diinginkan.

Tidak bisa dimungkiri, rakyat Irak sangat mendambakan segera tercipta perdamaian dan kedamaian di negerinya dan para pemimpin agama pun diharapkan lebih berperan dalam mencari perdamaian tersebut. Bila demikian, eksodus rakyat Irak pun tidak akan dan tidak perlu terjadi lagi.

Timteng dan Kuartet Perdamaian

Awal pekan ini terjadi perkembangan menarik di Timur Tengah. Ada pertemuan di Sharm el-Sheik, di tepi Laut Merah, Mesir, pada hari Senin (25/6).

Hadir Perdana Menteri Ehud Olmert (Israel), Raja Abdullah (Jordania), Presiden Hosni Mubarak (Mesir), dan Presiden Mahmoud Abbas (Palestina). Hanya saja, pertemuan puncak di atas tidak menghasilkan terobosan berarti dalam upaya perdamaian. Para pemimpin bertemu untuk mendengarkan apa rencana Israel guna membuat kehidupan bangsa Palestina yang tinggal dalam kendali Fatah di Tepi Barat lebih baik.

Sehari kemudian, utusan khusus empat pihak yang dikenal sebagai Kuartet Timur Tengah—terdiri dari AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB—bertemu di Konsulat AS di Jerusalem. Pertemuan lebih dari dua jam berlangsung tertutup dan setelah itu tidak ada pernyataan apa pun.

Pada satu sisi kita selalu penuh harap manakala muncul perkembangan yang cukup penting dalam upaya mencari perdamaian di Timur Tengah. Namun, kita juga sudah hafal karena terjadi berulang kali, tidak setiap perkembangan penting bisa membesarkan hati. Malah perkembangan dua pekan terakhir memperlihatkan situasi yang lebih rumit, di mana Palestina justru terbagi dalam dua wilayah kekuasaan, dengan Hamas menguasai Jalur Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat.

KTT di Sharm el-Sheik dimaksudkan untuk memberikan dukungan kepada Presiden Mahmoud Abbas, yang juga bertemu dengan PM Olmert untuk pertama kalinya dalam kurun lebih dari dua bulan ini. Dukungan kepada Abbas yang moderat juga diberikan oleh banyak komunitas internasional. PM Olmert juga menyatakan bahwa ia akan meminta pemerintahnya membebaskan 250 anggota Fatah yang ditahan.

Melihat perkembangan ini, Hamas menyatakan, pihaknya juga siap untuk berunding dengan Fatah.

Di luar upaya yang dilakukan pemimpin Timur Tengah, para utusan Kuartet melihat, mereka perlu diwakili oleh sosok yang berbobot, dan ini mereka lihat ada pada diri Tony Blair yang Rabu lalu mengakhiri jabatan sebagai PM Inggris. Dalam pertemuan di Jerusalem, utusan Kuartet diyakini juga mencari kesepakatan mengenai peran yang bisa dimainkan oleh Blair. Indikasi itu memang juga sudah diperlihatkan Blair.

Menjadi harapan kita bahwa Tony Blair—kalau memang disetujui untuk menjadi utusan Kuartet—bisa memanfaatkan sosok dan pengalamannya untuk memajukan perdamaian Timur Tengah seperti yang selalu ia kemukakan. Kalau itu bisa ia perlihatkan, mungkin saja orang akan melihatnya tidak semata sebagai pembebek George Walker Bush.

Perubahan Iklim
Bisa Picu Teror dan Konflik
Puluhan Juta Orang Terancam Mengungsi akibat Lahan Rusak


London, Selasa - Perubahan iklim yang terjadi di dunia akan menciptakan persaingan yang ketat dalam memperebutkan sumber kekayaan alam yang terbatas. Jika ini terjadi, akan banyak negara yang jatuh miskin karena terkuras kekayaan alamnya. Bukan hanya itu, perubahan iklim juga dapat memicu konflik dan teror.

Saat berdiskusi di lembaga kajian Chatham House, London, Selasa (26/6), pimpinan militer Inggris Marsekal Udara Sir Jock Stirrup mengingatkan meningkatnya suhu, meluasnya bencana banjir, dan kerusakan lahan yang makin luas diperkirakan akan tetap menerjang wilayah-wilayah yang paling tidak stabil di dunia. Kondisi yang tidak stabil itu diyakini akan memperparah perebutan sumber alam. Seperti yang terjadi di wilayah Darfur, Sudan, yang saat ini bergulat dengan konflik.

"Persoalan seperti di Darfur itu bisa juga terjadi di daerah-daerah yang tidak stabil, rapuh, dan memiliki pemerintahan yang lemah. Analoginya itu seperti menyiram bensin ke api yang sedang membara," kata Stirrup.

Kepadatan penduduk yang terlalu berlebihan, kekacauan tatanan sosial, dan meningkatnya kekerasan, kata Stirrup, adalah contoh yang jelas dan sangat mungkin terjadi sebagai konsekuensi terjadinya perubahan iklim. Tak hanya itu, Al Qaeda juga pernah menggunakan isu lingkungan untuk membenarkan segala aksi terorisme yang mereka lakukan. Ini pernah dengan jelas diungkapkan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden pada tahun 2002. Osama bin Laden menyerang AS karena AS dianggap telah "merusak alam dengan limbah industri dan gas". Al Qaeda juga mengecam posisi AS yang tetap tidak bersedia menandatangani Protokol Kyoto.

Peringatan mengenai konsekuensi militer terhadap perubahan iklim seperti yang dikatakan Stirrup itu bukan pertama kali muncul. Dalam editorial di harian The Washington Post pada awal bulan ini, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyebutkan, akar persoalan konflik Darfur sebenarnya ada pada krisis lingkungan yang terjadi akibat adanya perubahan iklim di dunia.

Lahan rusak

Kerusakan lahan akibat pemanasan global dapat menyebabkan puluhan juta orang, sebagian besar di wilayah sub-Sahara Afrika dan Asia bagian tengah, kehilangan tempat tinggal.

Studi Jaringan Internasional mengenai Air, Kesehatan, dan Lingkungan di Universitas PBB memaparkan, rakyat yang terpaksa mengungsi karena adanya kerusakan lahan bisa menimbulkan masalah baru pada sumber-sumber alam dan komunitas masyarakat lain yang ada di dekat mereka. Para pengungsi itu juga dapat mengancam ketidakstabilan internasional.

Dalam laporan studi setebal 46 halaman itu disebutkan, persoalan itulah yang akan bisa menimbulkan gejolak sosial yang baru dan lebih parah. Karena itu, studi tersebut mendorong pemerintah mencari solusi untuk menghambat atau memperlambat proses kerusakan lahan atau lahan yang kemudian berubah menjadi gurun, seperti yang terjadi di Sahara hingga Gobi, akibat perubahan iklim dan penggunaan lahan yang berlebihan. Salah satu cara memperbaiki lahan adalah dengan melakukan penanaman kembali hutan-hutan dengan berbagai macam tanaman di lahan-lahan yang kering.

"Kerusakan lahan yang kemudian berubah menjadi gurun itu saat ini menjadi krisis lingkungan global yang memengaruhi hidup lebih dari 100-200 juta orang di berbagai wilayah. Menurunnya produktivitas tanah dan semakin berkurangnya pendukung hidup sehari-hari dari alam akan mengancam stabilitas internasional," sebut studi PBB itu.

Hasil studi PBB itu melibatkan 200 pakar dari 25 negara. Sekitar 50 juta orang dikhawatirkan terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena lahan yang rusak. Wilayah yang terbesar bisa jadi sub-Sahara Afrika, di mana orang berpindah ke Afrika utara atau ke Eropa. Sementara wilayah kedua yang terbesar adalah mantan negara anggota Uni Soviet yang ada di Asia tengah. Disebutkan, sulit mencegah orang berpindah ke daerah lain jika ada masalah kemiskinan dan konflik bersenjata. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Konflik Palestina
Mubarak: Ada Arah Menuju Rekonsiliasi


Cairo, Kompas - Presiden Mesir Hosni Mubarak dalam wawancara khusus dengan televisi Mesir, Selasa (26/6) malam, meramalkan Hamas dan Fatah pada akhirnya akan melakukan rekonsiliasi untuk mengatasi perbedaan. Namun, rekonsiliasi butuh waktu menunggu hingga semua pihak lebih tenang.

Namun, lanjut Mubarak, rekonsiliasi itu tentu butuh syarat sehingga tidak terulang lagi peristiwa Jalur Gaza. Mubarak tidak menyebut syarat-syarat itu.

Menurut Presiden Mesir itu, Jalur Gaza dan Tepi Barat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ia pun memperingatkan Israel dan faksi-faksi tertentu Palestina agar tidak memperlakukan Tepi Barat sebagai wilayah khusus yang terpisah dari Jalur Gaza. "Jika ada upaya khususnya dari Israel untuk memisahkan Jalur Gaza dan Tepi Barat, itu merupakan kesalahan besar," katanya.

Mubarak juga menegaskan, delegasi keamanan Mesir akan kembali lagi ke Jalur Gaza jika situasi sudah tenang kembali. Seperti diketahui, Mesir telah menarik delegasi keamanan dari Jalur Gaza dan memindahkan Kedubes Mesir ke Ramallah.

Abbas masih terkejut

Tentang sikap Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang menolak dialog dengan Hamas, Mubarak mengatakan, Mahmoud Abbas sebagai manusia tentu sangat terkejut setelah mengetahui ada rencana pembunuhan atas dirinya yang mirip seperti operasi pembunuhan terhadap mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri. "Tentu saja, kalau ditawari dialog dengan Hamas sekarang, Abbas akan menolak," katanya.

"Masalahnya sekarang butuh ketenangan serta butuh penggunaan logika dan rasio. Setelah semuanya tenang, baru bisa berdialog," kata Mubarak.

Ia mengatakan, penguasaan Hamas secara penuh atas Jalur Gaza tidak akan mengancam keamanan nasional Mesir. Mubarak mengatakan, Mesir mampu mencegah ancaman itu jika ada gejala kekacauan masuk ke wilayah Mesir.

Mubarak membantah adanya campur tangan asing dalam urusan Palestina. "Desas-desus memang banyak. Selama kita tidak punya bukti kuat, tidak bisa menuduh pihak tertentu," ujar Mubarak.

Presiden Mesir itu menepis kemungkinan Israel melakukan operasi militer besar-besaran ke Jalur Gaza untuk membebaskan serdadu Israel, Gilad Shalit.

Ia mengatakan, ide melakukan operasi militer ke Jalur Gaza bukan merupakan ide yang tepat. Israel, lanjut Mubarak, tidak akan bisa membebaskan Gilad Shalit dengan melancarkan operasi militer. Operasi militer itu akan memperkeruh masalah.

Ia mengatakan, butuh cara tertentu untuk membebaskan Gilad Shalit. Mubarak menyebut, delegasi keamanan Mesir telah berusaha keras untuk membantu pembebasan Gilad Shalit. "Sudah ada kesepakatan untuk membebaskan tahanan Palestina dengan imbalan pembebasan Gilad Shalit. Namun, Israel menolak sebagian nama tahanan Palestina yang diminta dibebaskan. Sebenarnya masalahnya masih bisa dijembatani, tetapi setelah Hamas menguasai Jalur Gaza, semuanya menjadi buyar," kata Mubarak.

Mubarak lalu menyinggung pertemuan puncak di Sharm El Sheikh hari Senin lalu yang melibatkan Presiden Mahmoud Abbas, PM Ehud Olmert, dan Raja Abdullah II dari Jordania. Mubarak menegaskan, pertemuan puncak itu bukan reaksi terhadap penguasaan Hamas atas Jalur Gaza, tetapi lebih ditujukan untuk menggerakkan proses perdamaian.

Ia mengungkapkan, pertemuan puncak itu sudah dijadwalkan sebelum peristiwa di Jalur Gaza, untuk menggerakkan proses perdamaian. Ia mengatakan, di antara kesepahaman yang dicapai di Sharm El Sheikh adalah pihak mana pun tidak boleh ikut campur dalam problem Hamas-Fatah, karena hal itu merupakan problem internal Palestina.

Mubarak mengungkapkan, Hamas sebenarnya mulai hilang inisiatif di Jalur Gaza, tetapi aksi militernya mengubah keadaan di Jalur Gaza yang lebih menguntungkan pihak Hamas. Karena itu, lanjutnya, Otoritas Palestina telah melakukan kesalahan besar ketika ia kehilangan kontrol di Jalur Gaza.

Mubarak menyatakan, Palestina dan Israel bisa memulai lagi perundingan damai. (MTH)

Era Tony Blair Berakhir


London, Rabu - Perdana Menteri Inggris Tony Blair resmi meletakkan jabatan, Rabu (27/6). Setelah hadir dalam pertemuan parlemen atau House of Common untuk terakhir kalinya, Blair menghadap Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham dan menyerahkan jabatannya kepada Menteri Keuangan Gordon Brown.

Sebelum menghadap Ratu Elizabeth, Blair lebih dulu mengucapkan perpisahan dengan para staf di kediaman resminya di Downing Street nomor 10. Sebuah van yang memuat barang-barang milik Blair parkir di luar Downing Street 10.

"Ini saja. Selesai," kata Blair saat mengakhiri sesi tanya jawab terakhir dengan anggota parlemen. Sebelumnya, Blair juga menyatakan penyesalan mendalam atas bahaya yang harus dihadapi tentara Inggris di Irak.

Blair menjabat Perdana Menteri (PM) Inggris selama 10 tahun sejak 1997, menyusul kemenangan Partai Buruh atas Partai Konservatif yang memegang kekuasaan selama 18 tahun. Blair, yang dikenal sebagai seorang politisi karismatik, dipuji atas reformasi sosial yang dilakukannya serta perannya dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan bantuan untuk Afrika.

Popularitas Blair merosot setelah keputusannya mendukung invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Kuatnya tekanan dari dalam Partai Buruh dan kecaman publik yang semakin gencar akhirnya memaksa Blair berjanji untuk mundur sebelum periode ketiga pemerintahannya.

Setelah Blair meletakkan jabatan sebagai PM, beredar spekulasi bahwa dia ditunjuk sebagai utusan Kuartet untuk Timur Tengah, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB, guna mendorong perdamaian di kawasan itu.

Harian The Times memberinya acungan jempol untuk jabatan baru tersebut, walaupun belum ada konfirmasi.

Pemerintahan baru

Brown, beserta istrinya, Sarah, tiba di Istana Buckingham dalam sebuah audiensi tertutup dengan Ratu Elizabeth II guna menerima jabatan PM secara resmi. Setelah meninggalkan Istana Buckingham, Brown segera menuju Downing Street 10 untuk memulai tugas barunya sebagai PM.

Dalam pidato di depan kantor barunya, Brown menjanjikan pemerintahan baru dengan prioritas baru. "Sekarang saatnya perubahan dimulai," katanya.

"Ini akan menjadi pemerintahan yang baru dengan prioritas baru, dan saya merasa terhormat atas kesempatan besar untuk mengabdi kepada negara," katanya di hadapan para wartawan.

"Di setiap waktu, saya akan menjadi kuat dalam tujuan, tabah dalam kemauan, berketetapan dalam tindakan, di dalam pengabdian kepada rakyat Inggris, untuk memenuhi keinginan dan aspirasi seluruh bangsa," ujarnya.

Tugas pertama Brown adalah menunjuk kabinet dengan perubahan besar dari kabinet lama Blair. "Prioritas pertama Brown adalah mengakui bencana akibat strategi di Irak dan membuat rencana untuk menarik semua pasukan Inggris," ujar seorang anggota Partai Buruh, Jeremy Corbyn.

Di luar Downing Street, sekitar 100 demonstran anti-Perang Irak menggelar protes. Mereka membawa boneka-boneka berbentuk kerangka manusia, meniup peluit, dan meneriakkan slogan "Tentara keluar!" dan "Tony Blair teroris!".

Sejumlah perempuan dari keluarga-keluarga yang kehilangan suami atau anak-anak mereka dalam Perang Irak juga menggelar protes. Saat mobil Blair melintas di dekat mereka, para perempuan itu berteriak, "Blair! Kamu kriminal!"

Donna Mahoney, salah satu demonstran, mengatakan, "Saya berharap Gordon Brown akan lebih kuat dan tidak membiarkan Bush mendikte." (ap/afp/reuters/fro)