Monday, July 14, 2008

Rusia Peringati Tsar Nicholas II


Selama 90 Tahun Pembunuhan
Keluarga Ningrat Itu Masih Kontroversial
Senin, 14 Juli 2008 | 00:38 WIB

Moskwa, Minggu - Umat Ortodoks dan kaum bangsawan pekan ini diperkirakan beramai-ramai mengenang tsar terakhir, Nicholas II, dan keluarganya, yang terbunuh 90 tahun lalu oleh agen-agen Bolshevik.

Sejak hari Minggu (13/7), kota Yekaterinburg di Pegunungan Ural menggemakan paduan suara, dentangan lonceng, dan doa. Umat akan mengenang pembunuhan dinasti yang telah berumur ratusan tahun itu.

Upacara akan berpuncak hari Kamis di tempat ketika pada 17 Juli 1918 agen-agen Bolshevik menembak mati Nicholas, istrinya, kelima anak mereka, tiga pelayan, dan seorang dokter.

”Kalau di masa lalu, dan terutama di masa Uni Soviet, orang menyatakan kebanggaan bahwa di sini, di Yekaterinburg, kita membunuh tsar itu, kini justru kebalikannya,” kata Uskup Agung Vikenty dari Yekaterinburg, bulan lalu, mencerminkan perubahan sikap dan peran gereja yang dihidupkan kembali. ”Orang menyadari itu adalah sebuah tragedi,” katanya pada surat kabar Yekaterinburgskaya Initsiativa.

Sebuah gereja di tempat ”rumah tujuan khusus”, demikian disebut oleh kaum Bolshevik, menjadi latar belakang untuk peringatan pekan ini. Bangunan aslinya telah dirobohkan tahun 1977 oleh ketua partai setempat, Boris Yeltsin, kemudian menjadi pemimpin pasca-Soviet pertama.

Setelah sebuah tuguran sepanjang malam, para peziarah akan berprosesi sepanjang 18 kilometer ke sebuah tambang yang tak digunakan, tempat jenazah mereka dibuang, sebelum kemudian diambil kembali, disirami dengan air asam, dan dikubur kembali di sebuah tempat lain untuk penyembunyian yang lebih efektif.

Peringatan akan lebih banyak berlangsung di kota Alapayevsk, 150 kilometer sebelah utara, pada hari ulang tahun pembunuhan. Akan hadir dalam peringatan itu seorang keturunan Dinasti Romanov, Grand Duchess Maria Vladimirovna, kini tinggal di Madrid dan mengklaim sebagai keturunan sah Nicholas.

Pekan lalu Grand Duchess itu mengajukan dua permohonan banding pengadilan. Ini adalah perjuangan yang telah berlangsung lama untuk mendapatkan pengakuan negara bahwa nenek moyangnya adalah korban-korban represi politik dan bukannya sebuah serangan acak.

Penolakan untuk ”merehabilitasi” keluarga Romanov menunjukkan ”adanya kekuatan politik yang ingin mempertahankan unsur-unsur rezim Komunis”, kata seorang pembantu Maria Vladimirovna, Alekander Zakatov. Penyesalan oleh pemimpin-pemimpin pasca-Soviet, seperti Yeltsin, tidaklah cukup.

Persatuan keluarga Romanov mengatakan akan memperingati ulang tahun itu di Saint Petersburg (dulu Leningrad).

Pilihan itu mencerminkan pendapat yang berbeda mengenai pemakaman kembali 10 tahun di Saint Petersburg atas sisa tulang belulang yang digali tahun 1991 dan diperkirakan merupakan sisa tulang belulang Nicholas, anggota keluarganya, pelayan, dan dokter keluarga itu.

Uji DNA mengonfirmasikan keaslian tulang belulang itu. Namun, Gereja Ortodoks maupun Maria Vladimirovna menolak untuk menerima bukti itu. Ada keraguan mengenai yang mana dari kelima anak itu yang digali dan apakah salah satunya, Anastasia, masih hidup?

Kelima anak Nicholas II yang dibunuh bersama orangtua mereka di ruang bawah tanah di Yekaterinburg setelah Revolusi Rusia itu adalah Alexei, Anastasia, Maria, Olga, dan Tatiana.

Pada April lalu diberitakan, uji ilmiah telah mengonfirmasikan bahwa tulang-tulang yang ditemukan tahun lalu di Rusia adalah milik dua anak Tsar Nicholas II. Para pejabat Rusia kini mengatakan semua keraguan telah dihapus setelah ditemukannya tulang belulang dan hasil uji DNA.

”Dengan banyaknya pendeta Ortodoks yang ingin mengembalikan monarki, isu keluarga Romanov tetap merupakan hal yang sangat peka, seperti juga halnya peran Gereja,” kata ahli agama Sergei Filatov dari Russian Academy of Sciences.

Dengan berkembangnya sebuah ”sekte” virtual mengenai Nicholas di Yekaterinburg, Filatov mengatakan, Gereja ”bersikap sangat hati-hati” sehingga gagasan monarki tidak dinyatakan secara terbuka. (AFP/DI)

Wednesday, July 2, 2008

Obama Bukan yang "Pertama"


Selasa, 1 Juli 2008 | 00:54 WIB

Senator Illinois, Barack Obama, dipastikan menjadi presiden AS berkulit hitam pertama jika menang dalam pemilu 4 November 2008 nanti. Tetapi sebenarnya, Obama ”bukan” presiden AS kulit hitam yang pertama.

Kalimat yang kedua ini berkaitan dengan banyak film layar lebar dan televisi keluaran Hollywood yang memperlihatkan seorang warga AS keturunan Afrika pernah menjadi presiden. Analis bahkan mengatakan, film-film ini akan membantu para pemilih AS memberikan suara bagi kehadiran seorang presiden AS kulit hitam di Gedung Putih.

Obama sejauh ini sudah mencatat rekor. Dia menjadi seorang warga kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden dari sebuah partai besar, Partai Demokrat. Dan sejarah baru akan terukir begitu Obama bisa mengalahkan saingannya, John McCain, dari Partai Republik.

Dan Obama punya peluang menang. Dia selalu unggul dalam jajak pendapat terakhir. Dan film-film Hollywood itu bakal menjadi pendulum suksesnya Obama. John W Matviko, penulis The American President in Popular Culture, seperti dikutip AFP, merasa yakin popularitas mutlak Obama di kalangan pemilih muda merupakan bagian dari faktor film-film keluaran Hollywood itu.

Film layar lebar ataupun televisi soal presiden AS berkulit hitam sudah muncul sejak tahun 1933. Aktor Sammy Davis Jr, yang baru berusia tujuh tahun, kala itu sudah muncul dalam komedi Rufus Jones for President. Atau Aktor kawakan Morgan Freeman dalam film Deep Impact tahun 1998 sudah memperlihatkan seorang presiden AS kulit hitam berkantor di Ruangan Oval, Gedung Putih.

Kehadiran sosok presiden AS berkulit hitam di film dan televisi yang membuat para pemilih muda terbiasa bukan lagi suatu yang asing. Nuansa ini juga yang membuat mengapa Obama sangat mudah diterima oleh para pemilih muda. Intinya, Obama sebenarnya nantinya bukan seorang presiden AS berkulit hitam yang pertama.

”Salah satu fungsi dari budaya populer adalah memperkenalkan ide-ide sekalipun porsinya hanya sedikit melalui sarana yang secara tradisional sangat bisa diterima. Jadi, meskipun hanya sebentar, pada akhirnya bisa juga diterima,” ujar Matviko.

Dan Obama sangat beruntung karena selama ini film atau drama televisi selalu menampilkan seorang presiden AS kulit hitam yang positif. Akibatnya, para pemilih muda di AS punya kesan positif menyangkut kehadiran seorang presiden kulit hitam. Ini yang menjadi bagian dari popularitas Obama di kalangan penduduk atau pemilih usia muda.

”Jadi, pemikiran soal adanya presiden dari kalangan kulit hitam menjadi suatu yang biasa, bukan hanya sebuah isu,” ujar Matviko soal manfaat dari penyajian positif seorang presiden kulit hitam di film dan televisi. Kemenangan dan munculnya Obama jelas suatu yang pasti baik dan positif.

Mengubah arus utama

Penampilan presiden AS berkulit yang positif banyak membantu mengubah sikap utama (mainstream) di AS soal seorang tokoh kulit hitam. Film The Man tahun 1972 yang dibintangi James Earl Jones merupakan film layar lebar pertama yang menyajikan cerita seorang presiden AS berkulit hitam yang baik. Dan sejak itu, sejumlah film dan drama televisi juga menyajikan peran presiden kulit hitam yang sama.

Aktor Dennis Haysbert, yang tampil sebagai seorang presiden kulit hitam yang hebat dalam serial televisi 24 yang populer, yakin perannya ini sangat berpengaruh. Haysbert kepada surat kabar Los Angeles Times dalam sebuah wawancara baru-baru ini mengatakan, dia tidak ragu karakternya dalam film itu membantu mengubah sikap utama yang ada (mainstream).

”Terus terang dan jujur, peran yang saya lakukan dan cara bermain dan cara penulis mengisahkan ini telah membuka mata publik Amerika bahwa seorang presiden kulit hitam sangat hebat dan mungkin saja terjadi,” ujar Haysbert.

Karakter presiden AS yang diperankan Haysbert dalam 24 akhirnya terbunuh. Film ini memperlihatkan seorang presiden AS kulit hitam yang berani bersikap dan membuat keputusan tegas yang kadang bertentangan dengan sikap umum. Namun, keputusan ini tepat.

Todd Boyd, pakar film dan budaya Afrika-Amerika di Sekolah Seni Sinematika dari Universitas Southern California, skeptis dengan pengaruh film-film Hollywood pada hasil pemilu presiden 2008.

Sedangkan Robert Thompson, profesor budaya populer pada Syracuse University, mengatakan, boleh saja pengaruh film dan serial televisi pada popularitas Obama. Namun, Thompson yakin penampilan yang menawan dan popularitas Obama yang mengakar yang membuatnya menang.

”Morgan Freeman atau Dennis Haysbert memberikan kredit penting bagi Obama, tetapi jangan meremehkan karismanya,” ujar Thompson. (AFP/ppg)

Obama Hadapi Isu Patriotisme

McCain Akan ke Kolombia dan Meksiko

AP Photo/Jae C Hong / Kompas Images
Barack Obama, calon presiden AS dari Partai Demokrat, berdiri dengan latar belakang bendera AS saat berpidato di Truman Memorial Building di Independence, Missouri, AS, Senin (30/6).
Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

independence, selasa - Setelah isu rasisme, kini kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, menghadapi isu patriotisme. Kubu rival Obama, Partai Republik, mempertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan Hari Kemerdekaan AS pada 4 Juli.

Menjawab pertanyaan itu, Obama mengatakan tidak seharusnya seorang kandidat menggunakan patriotisme sebagai ”pedang politis” dalam pemilu presiden. ”Pertanyaan tentang siapa yang patriotis dan siapa yang tidak patriotis sering meracuni debat politis dan memecah belah,” katanya, Selasa (1/7) WIB dalam kampanye di Independence, Missouri.

”Sepanjang hidup, saya selalu mencintai dan patuh kepada negara ini. Selama 16 bulan terakhir, baru kali ini patriotisme saya dipertanyakan,” ujar Obama.

”Tentu kita bisa sepakat bahwa tidak ada partai atau filsafat politik yang memiliki monopoli atas patriotisme. Perbedaan pendapat tidak akan membuat seseorang menjadi tidak patriotis,” katanya.

Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada Tuhan dan senjata.

Obama menghadapi kontroversi baru saat pensiunan jenderal Wesley Clark, yang mendukung Obama, menyerang patriotisme kandidat Republik, John McCain. Dalam sebuah siaran di CBS, Minggu, Clark mengatakan, dia mengagumi jasa McCain selama Perang Vietnam, tetapi tidak serta-merta menjadikan McCain layak menjadi presiden.

”Saya kira, naik pesawat tempur dan tertembak jatuh bukanlah kualifikasi untuk menjadi presiden,” kata Clark. Clark membela pernyataannya itu dan mengatakan tidak mewakili kubu Obama.

Menanggapi hal itu, Obama mengatakan, patriotisme harus melibatkan kerelaan untuk berkorban. ”Bagi orang-orang seperti John McCain yang telah mengalami siksaan fisik saat berjuang bagi negara kita, pengorbanan itu tidak perlu dibuktikan lagi,” ujarnya.

Dalam kampanyenya, McCain mengusung statusnya sebagai veteran Perang Vietnam yang paling siap untuk menjaga keamanan AS. McCain menyebut pernyataan Clark tidak perlu.

”Saya bangga dengan catatan pelayanan saya. Saya punya banyak teman dan pemimpin yang bisa mengujinya,” ujar McCain.

Perdagangan bebas

Untuk menunjukkan pengalaman politik luar negeri yang lebih baik, McCain mengatakan akan mengunjungi Kolombia dan Meksiko pada pekan ini. Perdagangan bebas, obat-obatan terlarang, dan imigrasi akan menjadi agenda utamanya.

McCain dijadwalkan bertemu dengan Presiden Kolombia Alvaro Uribe, Selasa, dan sejumlah pejabat di Cartagena, Rabu. Hari Kamis, McCain dijadwalkan bertemu dengan Presiden Meksiko Felipe Calderon di Mexico City sebelum kembali ke Arizona untuk perayaan 4 Juli.

Berbicara di Pennsylvania, Senin, McCain mengatakan, dia memiliki tugas besar untuk menjelaskan dukungannya terhadap Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang dianggap merugikan lapangan pekerjaan di AS. ”Saya harus meyakinkan mereka bahwa konsekuensi proteksionisme dan isolasionisme bisa menghancurkan masa depan mereka,” katanya.

Obama menyatakan NAFTA harus dirundingkan ulang. Pakta itu dituding menjadi penyebab hilangnya lapangan pekerjaan rakyat AS karena ”diambil” Kanada dan Meksiko yang termasuk dalam NAFTA. (ap/afp/reuters/fro)