Friday, August 29, 2008

"Drama Obama"


Oleh Budiarto Shambazy

Pekan depan berbagai survei akan membuktikan duet ”Obiden” (Barack Obama dan Joseph Biden) bisa memenangi pilpres Amerika Serikat. Itu pun masih bergantung pada siapa cawapres John McCain yang ditentukan akhir Agustus.

Sekitar sebulan terakhir popularitas Obama turun, McCain malah naik. Akhir pekan lalu, sebuah survei membuktikan, mereka sama-sama kuat dipilih 47 persen responden.

Obama tanpa Biden mulai menimbulkan keraguan karena baru hebat sebatas pidato. Walau tampil sebagai tokoh harapan, ia beberapa kali terjebak arus politik Washington yang mapan.

Misalnya, ia mendukung kebijakan Presiden George Walker Bush menyadap pembicaraan telepon warga. Obama mulai mencla-mencle dalam soal penarikan pasukan dari Irak: mau langsung atau bertahap?

Obama menawarkan perubahan, tetapi kurang merinci perubahan yang ia maksud pada tingkat kebijakan yang konkret. Pesta ”Obamamania” telah berakhir, pemilih mulai sinis terhadap ”Oba-me” alias Obama- sentris yang ”I story”. Lebih penting lagi, muncul pertanyaan pokok, ”Can you lead us?” Sebab, AS bukan negara biasa karena satu-satunya adidaya yang menentukan hajat hidup dunia.

Namun, Obama bukanlah Presiden George W Bush, Bill Clinton, George HW Bush, Ronald Reagan, Jimmy Carter, Gerald Ford, Richard Nixon, atau Lyndon Johnson. Ia setara dengan Presiden John F Kennedy: pemimpin berbakat.

Pemimpin berbakat ”terlahir sebagai pemimpin”. Mereka tak lahir tiap hari dan sering kali pergi meninggalkan arena lebih cepat daripada orang biasa.

Misalnya, di lapangan hijau ada Diego Armando Maradona, dalam politik kita ada Soekarno, di dunia musik Barat ada John Winston Lennon, dan di tingkat global ada pula Nelson Mandela.

Tiap orang boleh mengaku belajar kepemimpinan, merasa mampu jadi gembala, atau busung dada punya pengikut setia. Mereka bukanlah ”pemimpin”, tetapi hanya ”pemimpi”.

Tak satu pun bintang yang akan mampu mengulang gocekan Maradona menipu pemain-pemain Inggris di Piala Dunia 1986 di Meksiko. Kualitas Pele, Franz Beckenbauer, Michel Platini, atau Ronaldo tak seujung kelingking Maradona.

Di negeri ini sudah terlalu banyak ”Soekarno jadi-jadian”. Mereka sudah mati-matian mau kayak Bung Karno, tetapi apa daya enggak pernah jadi.

Mana ada pula musisi yang mampu meledakkan ”Beatlemania” yang diotaki Lennon? Hanya dalam hitungan jam lahirlah magnum opus bernama Imagine, yang membuat bulu kuduk bergidik begitu mendengarnya.

Dan, saya yakin tak satu pun manusia yang sanggup mempertahankan prinsip seperti Mandela. Ia dibui puluhan tahun oleh rezim apartheid di Afrika Selatan tanpa pernah kehilangan hati nurani, tekad perjuangan, akal sehat, dan... senyum dikulum.

Tentu saja Obama, Bung Karno, Maradona, dan Mandela berbeda. Namun, mereka memiliki keuntungan komparatif dibandingkan orang biasa: mereka lebih mudah membangun karisma.

Ia bukan barang setengah jadi, dijahit jadi politikus sejak usia 20 tahunan. Ia bukan lulusan perguruan tinggi sembarangan, melainkan dari Harvard dan orang hitam pertama yang memimpin redaksi majalah hukum universitas bergengsi itu.

Ia bukan senator tingkat state atau pusat, tetapi juga penulis ulung yang sekitar 15 tahun lalu melahirkan karya dramatis, Dreams from My Father. Ia bukan pewacana sejati, tetapi menuangkan renungan tentang bangsanya lewat The Audacity of Hope.

Di atas semua itu, ia berhasil membangun karisma selama bertahun-tahun. Ia berkeringat meniti buih perlahan-lahan, menaiki anak tangga satu per satu, dan mendaki bukit langkah demi langkah sampai ke puncak.

Di lain pihak, pemimpin berbakat juga punya kelemahan. Bung Karno hidup poligami, Lennon berlidah tajam, Maradona terjebak narkoba, dan Mandela bukan orator hebat.

Bagaimanapun, kelemahan pemimpin berbakat juga menjadi magnet punya daya tarik luar biasa besar. Obama sempat dijuluki ”Obambi” karena seperti Bambi, anak rusa tak berdosa dalam buku A Life in the Woods karya Felix Salten.

Keluguan politik Obambi salah satu faktor yang memukau pemilih. Keluguan itu yang menyadarkan bangsa AS bahwa momentum kebangkitan politik harapan dan perubahan amat terlalu sayang untuk tak segera dimanfaatkan.

McCain tak lebih dari kepanjangan tangan rezim Presiden Bush. Ciri kepemimpinan Presiden Bush tak lebih dari politik smear and fear yang menakut-nakuti semua orang di Bumi ini, termasuk rakyatnya sendiri.

Entah sudah berapa pemimpin dan negeri asing yang anti-AS, yang dituding evil (jahat) yang mesti dijauhi. Lama-kelamaan rakyat AS pun, yang akhirnya saling curiga, bertanya sendiri, ”Sebenarnya yang evil itu siapa sih?”

Sebelum ”Drama Obama” berlangsung, rakyat AS tak menaruh perhatian lagi pada politik. Mereka dikelabui habis-habisan oleh Presiden Bush lewat dongeng senjata pemusnah massal Irak.

Kini keadaan berbalik 180 derajat. Perhatian dunia terfokus pada saat Konvensi Partai Demokrat di Denver sampai hari-H, 4 November 2008.

Tak ada yang khawatir McCain bisa mengalahkan Obama yang diperkuat Biden, sang politikus kawakan. Saya hanya khawatir kita di sini tak belajar dari ”Drama Obama”.

Dalam politik kadang berlaku kiasan, ”We are too dumb to be govern”. Ya, Anda tahulah apa maksudnya.

Michelle Obama: Saya Lebih Suka sebagai "The Mom in Chief"



Tidak hanya ribuan peserta Konvensi Partai Demokrat di Denver, Colorado, yang terharu mendengar pidato Michelle Obama hari Senin lalu. Senator Hillary Clinton, Selasa (26/8), pun spontan mengakui Michelle sebagai bakal first lady yang hebat.

”Bukankah Michelle semalam luar biasa?” tanya Hillary saat berpidato di depan 2.500 perempuan di sebuah hotel di Denver. ”Saya sedikit paham soal tugas di Gedung Putih. Saat Presiden tidak ada di sana, maka telepon ditujukan kepada First Lady. Dengan Michelle Obama, maka kita berbicara dengan seseorang yang bisa menjawab,” ujar Hillary memuji Michelle.

Michelle, perempuan dengan tinggi 180 sentimeter, memang memesona. Dengan mengenakan baju pas di tubuh, jepitan rambut serasi, Michelle mengingatkan orang pada Jackie Kennedy, istri Presiden John F Kennedy.

Lahir sebagai Michelle LaVaughn Robinson, 17 Januari 1964 di Chicago, Michelle tumbuh dalam keluarga menengah bawah. Ayahnya, Frasier Robinson, adalah pegawai PAM di Chicago. Ibunya, Marian, bekerja sebagai sekretaris di toko katalog setelah anak-anaknya besar.

Michelle dan kakaknya, Craig, hidup dalam keluarga yang hangat. Sentuhan dan kecupan sayang orangtuanya begitu berkesan. Ayahnya sakit-sakitan dan meninggal dunia tahun 1991. Namun, ayahnya tak pernah bolos kerja.

Michelle kuliah di Princeton serta Harvard Law School (1988) dan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Untuk memperbaiki ekonomi keluarga, Michelle langsung bergabung di Kantor Hukum Sidley Austin di Chicago.

Mentor Obama

Di kantor hukum itu Michelle, yang adalah karyawan lebih senior, harus menjadi mentor karyawan baru bernama Barack Obama. Michelle, yang tegas dan prinsipiil, menolak ketika anak mentornya itu mengajak kencan. Michelle menolak karena tak etis berkencan dengan sesama karyawan.

”Saya harus bisa meluluhkan hatinya,” tulis Obama dalam bukunya, The Audacity of Hope. Michelle akhirnya mau menemani Obama saat piknik perusahaan. Mereka mengecap es krim dan saling curhat soal kehidupan keluarga.

Obama bahkan sampai belajar bermain basket bersama Graig, abang Michelle, untuk mengenal adiknya. Dia juga menolak pindah ke Washington DC agar bisa tetap dekat dengan Michelle.

Michelle akhirnya luluh. Obama membuatnya terkesan. Keduanya lantas nonton film Do the Right Thing. Obama dan Michelle menikah Oktober 1992. Lahirlah Malia Ann (1998) dan Natasha (Sasha, 2001).

Beberapa tahun kemudian Obama mulai berpolitik. Sebagai keluarga muda, dengan ekonomi yang belum mapan, Michelle harus bekerja keras. ”Hidup yang keras. Itu yang menjadikan Obama seorang pria yang tahu bersyukur,” ujar Michelle.

Awalnya, Michelle menolak Obama ikut dalam pemilihan presiden. Dia kemudian mau mendukungnya, antara lain, setelah Obama memenuhi permintaannya berhenti merokok. Namun, hal yang terpenting, setelah Obama berjanji tetap memerhatikan keluarga, terutama kedua putri mereka.

Jangan heran jika Obama rajin menelepon ke rumah, menyapa anak-anaknya. Michelle hanya sehari meninggalkan rumah. Ia ikut kampanye dua hari sepekan, hari lainnya harus menemani putri-putrinya di rumah.

”Apakah Anda penasihat politik Obama?” tanya wartawan. ”Saya lebih suka menjadi ’Mom in Chief’ ujar Michelle. Ibu yang sesungguhnya. (AFP/ppg)

Hillary: Pilihlah Obama


Denver, Selasa - Senator Hillary Rodham Clinton, lawan Barack Obama pada pemilu pendahuluan yang lalu, meminta semua pihak mendukung dan memilih Obama dalam pemilihan presiden 4 November. Dia juga menyampaikan pesan kepada pendukungnya bahwa pemilihan itu bukan tentang dirinya, tetapi Obama.

Pada awal pidatonya di Konvensi Partai Demokrat di Denver, Selasa (26/8), Hillary mengatakan dia adalah pendukung Obama. ”Ini saatnya bersatu untuk mencapai satu tujuan. Kita berada dalam tim yang sama,” ujar Hillary.

”Barack Obama adalah kandidat saya. Dan dia harus menjadi presiden selanjutnya,” kata Hillary yang tampil dengan baju berwarna oranye.

Hillary juga mengajak peserta konvensi untuk mengingat Angkatan Laut AS yang sedang berjuang untuk negara, para janda, keluarga yang pusing karena penghasilan pas-pasan, serta warga AS lainnya yang sedang mengalami kesulitan hidup.

Hillary mendapat pujian dari Obama yang menonton pidatonya dari Billings, Montana. Obama masih terus berkampanye dari negara bagian yang satu ke negara bagian lainnya untuk mendapat dukungan.

Aula konvensi diwarnai dengan pernak-pernik dukungan terhadap Hillary. Pernyataan Hillary menjadi penting karena ada isu perpecahan di Demokrat. Pada konvensi itu, beberapa delegasi membawa spanduk yang isinya masih mempromosikan Hillary sebagai presiden.

Hillary pun mengenang masa- masa kampanye pada pemilu pendahuluan. ”Anda membuat saya tertawa dan... Anda bahkan membuat saya menangis. Anda mengizinkan saya menjadi bagian dari hidup Anda dan Anda menjadi bagian dari hidup saya,” kata Hillary, yang pada pemilu pendahuluan beberapa kali menyerang Obama sebagai orang yang tidak berpengalaman dan menuduh Obama melakukan kampanye negatif. Akan tetapi, media dan warga AS justru menilai Hillary terlalu banyak menyerang Obama pada pemilu pendahuluan.

Obama memuji Hillary dengan mengatakan bahwa tindakan Hillary itu mempersatukan Demokrat.

McCain dicemooh

Hillary juga menjadikan kesempatan itu untuk mencemooh John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Menurut Hillary, McCain adalah kembaran dari Presiden AS George Bush, dengan warisan kekacauan ekonomi, perang yang tak habis-habisnya, diplomasi internasional yang buruk, serta pelayanan kesehatan yang tak menjangkau banyak orang. ”No way, no how, no McCain,” kata Hillary.

Hillary mengatakan negara tidak bisa lagi menanggung warisan buruk itu di bawah McCain.

Hillary juga memberikan pernyataan simpati soal Michelle Obama, istri Barack Obama, sebagai wanita yang menyenangkan dan akan menjadi ibu negara yang besar.

Pada Rabu malam waktu Denver, suami Hillary, Bill Clinton, juga memberikan pidato yang menyerang McCain dan era pemerintahan Bush yang buruk.(AP/AFP/joe)

Pidato-pidato Pembangkit Harapan


Oleh Budiarto Shambazy

Tiap wartawan akan bingung memilih topik yang layak jadi berita utama Konvensi Demokrat di Denver, Rabu (27/8) malam. Sebab, pidato mantan Presiden Bill Clinton, John Kerry, calon wakil presiden Joe Biden, dan calon presiden Barack Obama berkelas breaking news yang eksklusif. Bahwa pidato itu disiarkan langsung CNN tanpa dipotong, itu menunjukkan konvensi ini lebih penting ketimbang final ”American Idol” atau anugerah Oscar.

Sedikitnya dua peserta konvensi berurai air mata saat diwawancarai seusai konvensi karena memiliki secercah harapan tentang masa depan bangsa Amerika Serikat yang dihancurkan Presiden George W Bush. Itu belum termasuk minimal lima wajah yang sesenggukan karena bangga punya para pemimpin yang menempatkan rakyat di atas segala-galanya.

Bill Clinton bolak-balik memohon audiens stop tepuk tangan dan duduk. Hampir 5 menit mereka memberikan standing ovation untuk Clinton yang mencetak rekor ekspansi ekonomi terbesar yang memakmurkan rakyat dalam sejarah kepresidenan.

Clinton bukan hanya menegaskan dukungan untuk Obama, tetapi juga memberikan jaminan, istrinya, Hillary, punya 18 juta suara yang siap dialihkan untuk duet ”Obiden”. Dengan nada setengah mengancam, Clinton meminta warga Demokrat kompak menghadapi John McCain.

Kerry, pahlawan perang yang dikalahkan Bush di Pilpres 2004, menguak sikap McCain—sahabatnya selama 22 tahun—yang mendua. Itu sebabnya, Kerry batal memilih McCain sebagai cawapresnya tahun 2004, dan menjatuhkan pilihan pada John Edwards.

Biden jadi bintang karena menyampaikan acceptance speech sebagai cawapres. Ia berpolitik sejak usia 29 tahun dan berpengalaman politik internasional. Lebih dari itu, Biden yang doyan bicara berfungsi jadi attack dog jika Obama, politisi yang terlalu bertata krama, diserang kubu Republik.

Pidato politik, apalagi yang disampaikan saat konvensi, bukan wacana. Clinton, Kerry, Biden, dan Obama memang memanfaatkan TelePrompTer untuk membaca teks. Tetapi, mereka bukan ”pidatowan” yang cuma bermodal tampang, dandanan, atau kursus John Robert Power.

Tiap anak di AS sejak TK dibiasakan berdebat. Politisi terlatih mengabdi sejak dini. Biden menyebut bagaimana Obama mengorbankan masa muda jadi community organizer demi politik, bukan cari uang di Wall Street agar cepat kaya.

Tim kampanye Obama mengungkapkan ia tak pernah berlatih pidato secara khusus. Ketika memulai karier sebagai senator di Illinois, ia tak bicara banyak. Ia dinilai agak kaku kalau berbicara saat jumpa pers atau ikut debat publik. Ia merasa lebih nyaman berkomunikasi secara personal dengan setiap orang satu per satu.

Itu sebabnya, ia mencintai pekerjaan community organizer di Chicago Selatan. Ia rajin menyambangi anak miskin, mengurusi selokan mampat, mendemo wali kota, mengurus buruh yang pabriknya ditutup, atau mendidik remaja agar suka politik.

Obama tahu momen yang menentukan akan tiba: jadi keynote speaker pada konvensi partai tahun 2004. Bayangkan, empat tahun sebelumnya pada acara yang sama ia bahkan dilarang masuk gara-gara kartu identitas!

Di konvensi 27 Juli 2004 itulah Obama membacakan pidato ”The Audacity of Hope”. Tanpa latihan, Obama memukau audiens cuma karena satu hal: pengalaman politik.

Pidato Clinton, Kerry, dan Obama membuat kubu Republik panik. Mereka mencuri perhatian dengan ”membocorkan” berita McCain telah menentukan cawapres meski belum tahu siapa. Semoga kepanikan Republik jadi pertanda bagi kemenangan mutlak Obiden, yang akan kembali memanusiawikan wajah AS.

Kamis malam atau Jumat WIB, Obama menyampaikan acceptance speech di stadion berkapasitas 75.000 penonton. Terakhir kali konvensi pindah karena minat penonton kelewat besar terjadi saat John F Kennedy menyampaikan pidato konvensi pada awal 1960-an.

Kebetulan 28 Agustus 1963 Martin Luther King menyampaikan pidato ”I Have a Dream” yang jadi tonggak perjuangan persamaan hak. Pasti breaking news lagi dan makin banyak yang menangis terharu karena Obama telah membangkitkan harapan. (CNN/AP)

Thursday, August 21, 2008

Hua Guofeng, Sang "Pemimpin Bijak" yang Menenangkan Mao Zedong


Kamis, 21 Agustus 2008 | 00:47 WIB 

Pemimpin China Mao Zedong saat menjelang ajal masih sempat berkomentar, ”Dengan kamu yang menjabat, hati saya tenang.” Ucapan Mao pada September 1976 itu saat dia mengalihkan kepemimpinan Partai Komunis China kepada Hua Guofeng. Mao meninggal sebulan kemudian.

Hua yang pernah dijuluki oleh media resmi China sebagai ”Pemimpin Bijak” meninggal dunia di Beijing hari Rabu (20/8) pukul 12.50 waktu setempat. Kantor berita China, Xinhua, dalam keterangannya menyebutkan, Hua meninggal karena sakit yang sudah tak bisa diobati pada usia 87 tahun.

Pemimpin Mao tenang karena Hua dikenal loyal kepada partai. Ia lahir di Jiaocheng, Provinsi Shanxi, dengan nama Su Zhu. Seperti banyak pemimpin China saat itu yang mengganti nama yang lebih revolusioner, maka jadilah nama Hua Guofeng.

Tahun 1938, Hua bergabung dengan Partai Komunis China dalam aksi melawan Jepang. Ini setelah dia ikut dalam long march yang dipimpin Mao pada tahun 1936. Tahun 1949, Hua bersama Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pindah ke Hunan, di mana dia menjadi pejabat lokal sampai tahun 1971.

Mao mulai kepincut kepada Hua saat menjadi pemimpin partai Distrik Xiang-tan, termasuk kota asal Mao, Shaoshan. Di sana dia membangun sebuah aula peringatan yang dipersembahkan bagi Mao. Saat Mao ke sana Juni 1959, dia terkesan berat dengan apa yang dibuat Hua.

Bintang Hua pun benderang. Dia mulai ikut dalam konferensi partai. Setelah menjabat pemimpin partai Provinsi Hunan, dia terpilih sebagai anggota penuh Komite Sentral IX pada tahun 1969. Hua dipastikan sebagai pengganti Mao setelah Lin Biao yang menjadi putra mahkota tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1971.

”Dia seorang figur transisi penting pada akhir Revolusi Kebudayaan. Dia adalah orang yang melakukan kudeta atas apa yang dikenal dengan Kelompok Empat,” ujar Steve Tsang, mahasiswa Studi China Modern di Kolese St Antony, Oxford.

Hua menyetujui adanya komplotan militer untuk menahan janda Mao, Jiang Qing, dan anggota Kelompok Empat yang bertanggung jawab atas ekses selama Revolusi Kebudayaan. ”Jika Hua tidak melakukan ini, maka situasi bisa kacau,” ujar Tsang.

Namun, posisi Hua sebagai pemimpin China tergeser oleh Deng Xiaoping tahun 1981, dengan program reformasi ekonominya. Hua yang sempat menjabat PM China menggantikan Zhou Enlai juga digantikan Zhao Ziyang tahun 1980. Hua mulai tergeser, apalagi dia dituding terlalu mengultuskan Mao.

Kebijakan reformasi kapitalis Deng membuat mereka yang memihak Mao mulai surut. Slogan Deng ”Bukan masalah apakah kucing itu hitam atau putih sepanjang bisa menangkap tikus” membuat banyak warga China bersedia menerima reformasi. Hua pun tergusur hingga meninggal dunia. (Reuters/AFP/PPG)

Rusia Akan Akui Ossetia Selatan

Kamis, 21 Agustus 2008 | 03:00 WIB 

Moskwa, Rabu - Anggota parlemen Rusia akan segera mengakui kemerdekaan dua provinsi separatis Georgia, Ossetia Selatan dan Abkhazia. Langkah itu semakin mempertajam ketegangan antara Rusia dan Barat menyusul belum adanya pergerakan besar penarikan pasukan Rusia dari wilayah Georgia.

Wakil Ketua Majelis Tinggi Parlemen Rusia Sergei Mironov, Rabu (20/8), mengatakan akan menggelar pertemuan darurat pekan depan untuk membahas permintaan Abkhazia dan Ossetia Selatan untuk mengakui keduanya sebagai negara merdeka.

”Dewan Federasi siap mengakui status kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia jika itu yang diinginkan rakyat republik ini,” kata Mironov, seperti dikutip kantor berita Interfax.

Presiden Rusia Dmitry Medvedev telah menyatakan Rusia mendukung status apa pun yang dipilih rakyat kedua provinsi separatis Georgia itu. ”Sebagai penjamin keamanan di Kaukasus dan sekitarnya, Rusia akan membuat keputusan yang tegas untuk mendukung kehendak penduduk kedua wilayah Kaukasus itu,” ujar Medvedev.

Dalam percakapan melalui telepon dengan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, Selasa, Medvedev menegaskan bahwa 500 tentara Rusia akan ditarik dari Georgia pada Jumat besok. Namun, otoritas Georgia menyatakan tidak ada tanda-tanda penarikan besar-besaran pasukan Rusia.

Barisan militer Rusia melintasi Georgia untuk kembali ke Rusia, Rabu, setelah Barat dan NATO meningkatkan tekanan agar Rusia mempercepat penarikan pasukan dari Georgia. Belasan truk militer menyeberang perbatasan di dekat terowongan Roki yang menghubungkan Rusia dan Georgia. Kendaraan lapis baja tidak terlihat dalam barisan itu.

Di Warsawa, Polandia, AS meresmikan kesepakatan sistem pertahanan rudal dengan Polandia, Rabu. Menlu AS Condoleezza Rice dan Menlu Polandia Radek Sikorski menandatangani kesepakatan untuk menempatkan basis pertahanan rudal di Polandia.

Langkah itu memicu kemarahan Rusia yang menilai sistem rudal itu diarahkan ke Rusia. Kesepakatan itu juga memicu ancaman dari Rusia bahwa Polandia menjadikan dirinya sendiri rentan terhadap serangan, termasuk serangan nuklir.

AS telah menyingkirkan pilihan menggunakan kekuatan militer untuk berhadapan dengan Rusia. Namun, analis mengatakan, Pentagon akan mencari cara lain untuk menyudutkan Rusia. ”Saya kira satu area di mana belanja militer AS mendapat keuntungan dari invasi Rusia ke Georgia adalah pertahanan strategis, yaitu pertahanan terhadap senjata nuklir,” kata Loren Thompson dari lembaga pemikiran Lexington Institute. Penangkalan rudal, bukan pertahanan rudal, masih menjadi strategi inti AS saat berhadapan dengan persenjataan nuklir Rusia. (ap/afp/reuters/fro)