Senin, 7 April 2008 | 15:01 WIB
SEBUAH mobil meledak di sebuah kios es krim yang sangat populer di Baghdad. Api membakar bangunan di sekitarnya sedangkan pecahan bom menembus tubuh-tubuh manusia tak berdosa yang kebetulan berada di situ. Tujuh belas orang tewas dan puluhan lainnya luka.
Serangan bom pada hari pertama bulan Agustus 2007 itu hanya sehari dua menghiasi halaman koran-koran di seluruh dunia. Setelah itu segera dilupakan orang, karena tersaji berita-berita serangan berikutnya yang kadang menelan korban lebih banyak.
Namun insiden itu mengubah nasib Maysa Sharif (28). Seketika itu juga ia bergabung dengan hampir sejuta perempuan Irak lain yang menjadi janda karena suami mereka terbunuh dalam tiga kali perang dan era Saddam yang bergelimang darah.
Besarnya jumlah janda itu menjadi malapetaka tersendiri bagi Irak yang entah kapan menjadi negara damai. Tanpa jaring pengaman sosial dan lapangan kerja yang sangat minim, para janda itu tidak banyak punya pilihan untuk menghidupi keluarganya dan sangat tergantung pada belas kasihan orang lain yang lebih beruntung.
Maysa sedang hamil lima bulan dan pagi itu ia sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya ketika ledakan itu menggetarkan rumahnya di pusat Baghdad. Ia langsung lari ke tempat suaminya, Hussein Abdul-Hassan menjaga kios rokoknya. Laki-laki itu dilihatnya sudah tergeletak di tanah.
"Pecahan bom menembus badannya dan kepalanya terkuak. Mata dan mulutnya juga terbuka," kata Maysa menuturkan pengalamannya pagi itu.
"Sebenarnya saya ingin memeluknya, tapi polisi menyeret saya menjauh. Mereka khawatir ada ledakan susulan," tambahnya.
Mimpi buruknya belum berakhir. Saif, anak laki-lakinya yang baru berusia 7 tahun, waktu itu ikut sang ayah berjualan. Bocah itu tidak ditemukannya. Ia baru mendapat kabar, Saif meninggal di rumah sakit ketika jenazah sang suami sedang diantar untuk dimakamkan di kota suci Najaf.
Iring-iringan jenazah lalu balik ke Baghdad, lalu meletakkan jenazah Saif di peti yang sama. "Mereka melarang saya melihat jenazah anak saya. Saya juga dilarang ikut ke Najaf, karena saya sedang hamil. Saya tidak percaya Saif meninggal, sampai saya kemudian menerima surat kematiannya," katanya.
Maysa kini tinggal bersama tiga anaknya, Ali (10), Tabarak (2) dan Abdullah yang namanya dipilih Hussein malam sebelum kematiannya. Mereka tinggal di sebuah kamar di rumah kakak ipar Maysa di pusat Baghdad.
Bagaimana masa depan Maysa dan ratusan ribu janda lain di Irak? Tidak jelas. Dengan prioritas perjuangan pemerintah sekarang untuk melepaskan diri dari krisis politik dan perang yang memasuki usia enam tahun, maka rintihan perempuan seperti Maysa jelas terabaikan.
Menurut hasil survei Samira al-Moussawi, anggota parlemen yang dikenal dengan pembelaannya terhadap para janda, jumlah janda di seluruh Irak mencapai 738.240 orang. Rentang usia mereka mulai dari 15 tahun hingga 80 tahun pada Januari 2007. Jumlah itu hasil hitungan sejak perang Iran-Irak 1980-1988. Termasuk di dalamnya yang ditinggal suami yang meninggal secara alami.
Menteri Urusan Perempuan Nirmeen Othman mengingatkan bahwa persoalan ini bisa menjadi krisis sosial di masa damai. Ia memperkirakan jumlah janda di Irak sekarang 1,3 juta. Generasi berikutnya pasti terancam, katanya.
Sebuah sekolah dasar baru saja dibuka untuk menampung 640 anak yatim piatu di Sadr City, Baghdad. Kepala sekolahnya, Asma Karim mengatakan, mereka berada di situ karena tidak ada jaminan masa depan bila terus tinggal di rumah.
"Orang-orang tersisa yang mau merawat anak anak ini lebih memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup, soal pendidikan nomor kesekian," kata Asma.
Al-Moussawi, geolog yang beralih menjadi politisi, mengaku kewalahan dengan permintaan bantuan, termasuk 448 surat yang dikirimkan ke kantornya baru-baru ini dalam sebuah kantong plastik dari kawasan Syiah, Diwaniyah. "Tidak ada satu pun strategi. Kalau pun ada strategi untuk mengatasi masalah sosial ini adalah untuk kaum perempuan, bukan anak-anak," katanya.
Ia sekarang sedang mengajukan program berbiaya 1 juta dolar (sekitar Rp 9 miliar). Jumlah yang sangat kecil bagi negara kaya minyak seperti Irak yang anggaran belanjanya mencapai 48 miliar dolar AS. Program itu untuk memberikan pendidikan keterampilan bagi para janda dan meningkatkan pendapatan mereka. Sayangnya kabinet menolak program itu.
Umm Hiba (38) ibu dua anak yang tinggal di utara Baghdad menyalahkan diri sendiri atas kematian sang suami. Waktu itu, 27 Januari 2007, ia menyuruh suaminya ke pasar membeli yogurt untuk makan malam yang sedang dimasaknya. Sebuah mortir mengakhiri hidupnya.
"Itu salah saya. Kalau saya tidak menyuruhnya, dia pasti masih hidup bersama anak-anak," katanya sambil menangis dan menggendong anak laki-lakinya yang baru berusia 2 tahun.
Bersama anak perempuannya yang berusia 7 tahun, mereka tinggal di kamar belakang sebuah rumah. Di rumah itu ia tinggal juga ibu mertua yang buta dan keluarga lain. Ia membangun sebuah kamar mandi dan dapur darurat di situ.
Keluarga dan tetangganya mengumpulkan uang untuk biaya pemakaman suaminya. Namun ia terpaksa menjual furnitur untuk membeli domba untuk kurban peringatan satu tahun kematian laki-laki itu. Harga domba untuk menjalankan tradisi itu tidak cukup dibeli dengan uang pensiunnya yang cuma 62 dolar per bulan.
Umm Hiba mengaku selalu gagal mendapat pekerjaan. Setiap lamaran kerja selalu berakhir dengan penolakan. Sebenarnya ia masih bisa bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sekolah. Namun ia ogah. "Saya punya ijazah SMA. Malu kan kerja seperti itu," katanya.
Uang pensiun itu semakin lama makin tidak bisa mencukupi untuk membeli makanan dan pakaian yang harganya terus naik. Di Irak semuanya mahal, kecuali nyawa manusia yang sangat murah," katanya.
Sebagai perbandingan, ketika Saddam masih berkuasa, janda korban perang akan mendapat jatah tanah, biaya pemakaman dan uang pensiun yang cukup.
Suami Jalila Hasan, Kadhum Mohammed berusia 29 tahun waktu ia tewas dalam perang Iran-Irak. Waktu itu Jalila masih berusia 17 tahun dan mendapatkan pensiun. Bahkan pemerintah memberinya pilihan pesangon, mobil atau uang tunai dengan jumlah setara. Jalila memilih yang kedua. "Dibanding sekarang, dulu kami lebih diperlakukan lebih baik. Tidak dibiarkan dalam kemelaratan," katanya.
Jalila yang sekarang tinggal bersama ibunya di Sadr City masih mendapatkan pensiun 80 dolar per bulan, tetapi nilainya sekarang sudah merosot jauh.
Afifa Hussein ditinggalkan sang suami Uraibi Hamid (58) yang tewas ditembak orang tak dikenal 14 Juli lalu di Samara. Tinggallah sekarang Afifa dengan delapan anaknya. Ia harus berjuang merawat dua putranya yang cacat dan seorang putrinya yang sakit-sakitan. Untuk mendapatkan uang tambahan bagi keluarganya, putranya yang berusia 19 tahun menjadi sopir taksi, sebuah profesi yang amat berbahaya di Irak sekarang.
Seorang putrinya putus sekolah karena tidak ada biaya, sedangkan satu putra lainnya yang trauma keluar dari rumah itu dan tinggal bersama keluarga di tempat lain.
Kisah memilukan lain meluncur dari mulut Badriyah Hamid (40), perempuan Syiah dengan 10 anak. Ia bekerja hingga larut malam di sebuah sekolah di desa Rashidiyah yang didominasi warga Sunni pada 23 Mei 2007. Saat itu ia mendengar suaminya, Fadhil Jafar, tewas ditembak dan mayatnya dibuang di pinggir jalan.
"Saya lari ke tempa itu bersama semua anak saya, kami memeluk mayatnya. Dia ditembak enam kali di punggung dan kepalanya," kata Badriyah.
Pembunuhan itu membuat salah satu putranya menderita amnesia, tidak bisa lagi membaca dan menulis, sehingga dikeluarkan dari sekolah. Namun sebagai keturunan Kurdi yang tangguh, Badriyah tidak menyerah begitu saja pada keadaan.
Lalu ia mengajak seluruh keluarganya pindah ke rumah keluarga suaminya. Namun ia kemudian khawatir anak-anak perempuannya akan dipaksa kawin dengan anak laki-laki keluarga itu. Jadi dengan uang sumbangan para tetangga ia pindah dari situ ke sebuah rumah dua kamar bersama anak-anaknya.
Untuk menyambung hidup, ia kadang-kadang mendapat pekerjaan sebagai petugas kebersihan, namun tetap saja uang yang dihasilkan tidak cukup. Ia khawatir, tanpa suami, anak-anaknya menjadi tidak terkendali, misalnya menjadi pengedar narkoba atau pengaruh buruk lainnya.
"Suami saya adalah segalanya dalam hidup saya. Tanpa dia, hidup ini terasa sangat sulit, karena tidak ada yang bisa membantu dan tidak ada yang bisa mengisi celah yang ditinggalkannya. Di samping harus mengatasi persoalan keuangan, saya juga harus menjaga moral anak-anak saya dan melindungi mereka dari lingkungan yang jahat," kata Badriyah.
Kisah Masya, Jalila, Afifa dan Badriyah secara total mengubah gambaran Irak sebagai negeri indah yang digambarkan dalam Kisah 1001 Malam. Kini Irak menjadi negeri sejuta janda dengan berjuta-juta anak yang tidak jelas masa depannya. Kalau saja perang berakhir, belum tentu penderitaan para janda ini turut berakhir.(AP)