Monday, March 31, 2008

Inflasi 100.000 Persen

Inflasi 100.000 Persen Lebih Jadi Tema Kampanye Partai Oposisi
Jumat, 28 Maret 2008 | 00:43 WIB

Murewa, Kamis - Pemulihan kondisi ekonomi Zimbabwe yang semakin terpuruk dengan tingkat inflasi tahunan lebih dari 100.000 persen membuat partai oposisi Gerakan untuk Perubahan Demokrasi atau MDC akan memberlakukan nilai tukar mata uang baru. Ketua MDC Morgan Tsvangirai, Kamis (27/3), berjanji akan mewujudkan solusi itu jika ia memenangi pemilu dan bisa mengalahkan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe.

”Perekonomian kita telah mati. Kami akan memperkenalkan mata uang baru untuk memperbaiki dan menstabilkan perekonomian kita,” ujar Tsvangirai di depan pendukungnya di Murewa.

Saat ini nilai tukar satu dollar AS setara dengan 50 juta dollar Zimbabwe. Tingkat inflasi yang tinggi ini menyebabkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan pangan. Untuk memperoleh roti saja, warga harus membayar 20 juta dollar Zimbabwe. Banyak warga yang tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan. Karena itu, Tsvangirai berjanji akan menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun, menurut mantan Menteri Keuangan Zimbabwe Simba Makoni, tidak mudah memulihkan perekonomian Zimbabwe. ”Pemulihan ini memakan waktu lama. Tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan bulan. Kemungkinan akan membutuhkan waktu 10-15 tahun,” kata Makoni yang juga mencalonkan diri menjadi kandidat presiden.

Karena itu, kata dia, akan lebih baik jika terlebih dahulu ada rekonsiliasi nasional. ”Kita harus bisa memulihkan keyakinan dan rasa saling percaya,” ujarnya.

Sebelum terjerumus ke dalam kesulitan ekonomi seperti saat ini, Zimbabwe pernah menjadi negara pengekspor bahan-bahan pangan. Sistem ekonomi berbasis pertanian yang semula berjaya di Zimbabwe berantakan saat Mugabe memperkenalkan reformasi pertanian pada tahun 2000. Ketika itu Mugabe memutuskan mendistribusikan lahan-lahan pertanian yang subur milik kelompok minoritas kulit putih kepada mayoritas kulit hitam. Reformasi ini dianggap hanya menguntungkan politikus yang dekat dengan Mugabe.

Menghadapi ancaman gelombang protes dan perlawanan kubu oposisi, Mugabe mengingatkan, ia tak akan menoleransi gejolak kekerasan pascapemilu. Ketika berkampanye di Distrik Nyanga, partai oposisi mengancam akan protes atas kecurangan-kecurangan Mugabe dalam pemilu.

”Coba saja kalau berani dan lihat akibatnya. Kami tidak main-main. Jika ingin ikut dalam pemilu, harus bisa siap kalah. Jika kami menang, Anda harus terima, begitu juga sebaliknya,” kata Mugabe.

Tuduh negara Barat

Mugabe juga menuduh pihak Barat membawa Zimbabwe menuju penderitaan sebagai akibat dari sanksi. Semua ini, menurut Mugabe, dilakukan agar negara bekas jajahan Inggris ini menjadi terpecah belah.

Mugabe secara terbuka menuduh Inggris dan AS bertanggung jawab atas kondisi kronis di negaranya. Zimbabwe kini mengalami kritis pelayanan kesehatan, dengan persediaan obat-obatan menipis dan banyak dokter bermigrasi ke negara lain. ”Kita tidak akan mati,” ujarnya saat berkunjung ke sebuah rumah sakit di Harare. (REUTERS/AFP/AP/LUK)


 

Wednesday, March 26, 2008

Parlemen Memilih Gilani

Hakim-hakim yang Ditahan Langsung Dibebaskan

EPA/T MUGHAL / Kompas Images
Yousuf Raza Gilani (tengah), mantan Ketua DPR Pakistan, Senin (24/3) di Islamabad, terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan yang baru. Pada gambar yang diambil Minggu (23/3), juga di Islamabad, Yousuf Raza Gilani mengadakan jumpa pers dalam rangka penyerahan dokumen sehubungan dengan pencalonan dirinya sebagai perdana menteri.
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:07 WIB

Islamabad, Senin - Seperti telah diperkirakan sebelumnya, parlemen Pakistan akhirnya menunjuk Yousuf Raza Gilani sebagai perdana menteri yang baru, Senin (24/3). Dari hasil penghitungan suara di parlemen, Gilani memperoleh 264 suara dari 342 kursi yang ada di majelis rendah parlemen atau parlemen tingkat DPR.

Satu-satunya lawan Gilani, yakni Chaudhry Pervez Elahi, calon Liga Muslim Pakistan yang mendukung Presiden Pervez Musharraf, meraih 42 suara. Gilani yang juga mantan ketua parlemen itu pernah mendekam di penjara selama lima tahun pada rezim Musharraf. Sesuai rencana, Musharraf dijadwalkan melantik Gilani sebagai PM hari Selasa.

”Demokrasi kembali pulih. Ini semua berkat pengorbanan mendiang Benazir Bhutto. Saya mengajak semua pihak bergabung bersama kami karena negeri ini sedang menghadapi krisis yang tak akan dapat ditangani seorang diri,” kata Gilani dalam pidato pertamanya di parlemen.

Segera setelah terpilih sebagai PM baru, Gilani memerintahkan supaya semua hakim yang pernah ditahan Musharraf dibebaskan. Pada saat status darurat berlaku, November, Musharraf menahan puluhan hakim termasuk Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry. Sebelumnya, paling tidak 60 hakim sudah dibebaskan tetapi sebagian besar masih ditahan di rumah.

Koalisi pemerintahan yang baru telah bertekad membebaskan para hakim. Jika dibebaskan, para hakim akan dapat menyeret Musharraf untuk berurusan dengan hukum. Selain meminta para hakim dibebaskan, Gilani juga akan berusaha mengesahkan resolusi yang meminta PBB menyelidiki kasus pembunuhan Bhutto yang hingga kini belum jelas.

Langsung bebas

Setelah Gilani pidato, puluhan aktivis dan pengacara melompati dinding tempat Chaudhry ditahan selama lebih dari empat bulan. Sebelumnya, polisi antihuru-hara sudah memblokade jalan masuk ke rumah Chaudhry itu. Namun, setelah pidato Gilani, aparat polisi langsung membuka semua pagar berduri di sekeliling rumah Chaudhry. Satu per satu pagar kawat ditarik serta blok-blok beton dibongkar.

Asisten Chaudhry, Athar Minallah, menyatakan, Chaudhry sangat senang dan berterima kasih kepada Gilani. ”Saya baru bertemu dengan Chaudhry. Ia juga berdoa supaya demokrasi dapat kembali pulih. Ia juga minta agar rakyat menghargai proses hukum yang ada di negeri ini,” ujarnya.

Musharraf yang selama ini dikenal dekat dengan AS gara-gara upaya ”perang melawan teror” itu menahan sekitar 60 hakim senior karena ia khawatir para hakim itu akan menggulingkan kekuasaannya terkait dengan kemenangan Musharraf dalam pemilihan presiden, Oktober lalu. Pada saat itu Musharraf kembali terpilih untuk posisi presiden. Pada waktu yang bersamaan, ia meraih posisi panglima angkatan bersenjata.

Karena itu, koalisi pemerintahan baru yang kini dipimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP) setelah memenangi pemilu parlemen, November, bertekad mempekerjakan kembali semua hakim senior yang pernah dipecat Musharraf. Para hakim akan mengusut kembali kemenangan pemilu Musharraf yang selama ini sudah dicurigai melanggar hukum.(REUTERS/AFP/AP/LUK)

Mantan Narapidana Menjadi Perdana Menteri

Selasa, 25 Maret 2008 | 01:05 WIB

Pengikut setia Partai Rakyat Pakistan dan mendiang Benazir Bhutto, Yousuf Raza Gilani (56), terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan yang baru. Wakil Ketua PPP dan mantan Ketua DPR Pakistan itu sejak awal telah dipastikan akan menang dengan mudah. Apalagi PPP saat ini menguasai kelompok mayoritas parlemen setelah menang di pemilu parlemen, November lalu.

Selain dari PPP, Gilani juga mendapat dukungan dari partai-partai oposisi yang tergabung dalam partai koalisi termasuk partai pimpinan mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif.

Terpilihnya Gilani ini mungkin terasa pahit bagi Presiden Pervez Musharraf. Pasalnya, Musharraf pernah memenjarakan Gilani selama empat tahun karena Gilani dituduh terlibat korupsi pada tahun 2001. Namun, Gilani lalu dibebaskan tahun 2006. Gilani yakin tuduhan itu bermotif politis.

Terlahir di Karachi, 9 Juni 1952, Gilani lahir dan dibesarkan di dalam keluarga pemilik tanah. Ayah Gilani pernah menjadi menteri pada tahun 1950, sementara kakek dan kakek buyutnya adalah anggota Liga Muslim India yang pernah ikut tanda tangan resolusi Pakistan pada tahun 1940 yang menyebabkan terpisahnya Pakistan dan India.

Setelah menyelesaikan studi di bidang jurnalisme di University of Punjab, tahun 1978 Gilani bergabung dengan Liga Muslim. Tahun 1983 Gilani terpilih menjadi ketua Dewan Multan Bersatu dan tahun 1985 terpilih menjadi anggota parlemen. Ia kemudian bergabung dengan PPP tahun 1988. Gilani dianggap pilihan strategis yang bisa membantu memperkuat posisi Sharif di Punjab, daerah terpadat penduduknya dan terpenting bagi Sharif. (REUTERS/AFP/ap/LUK)

Tuesday, March 25, 2008

T I B E T

Jeritan Pilu Warga yang Dihina dan Dipinggirkan


AP Photo/Saurabh Das / Kompas Images
Para biksu Tibet dipukuli saat melakukan aksi protes di depan Kantor PBB, Kathmandu.
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:22 WIB

Rekor demi rekor telah dicapai China dari segi perekonomian sejak dekade 1980-an. Namun, bentuk kesenjangan domestik juga mengkristal. Bukan hanya itu, rasa tersingkir, diabaikan, dan ”dihina” juga dirasakan, setidaknya oleh warga Tibet.

Zhang Qingli, Ketua Partai Komunis Tibet, ditunjuk Beijing sembilan tahun lalu untuk memimpin Tibet. Sikap Zhang yang keras dengan ucapan sarkastis turut memicu kebencian kelompok etnis Tibet kepada China, yang didominasi kelompok etnis Han.

”Dalai Lama adalah serigala yang berpakaian biksu, setan dengan wajah manusia,” itulah salah satu kalimat Zhang, yang dikumpulkan kantor berita Reuters. Ucapan ini dia sampaikan di hadapan para pejabat China di Beijing bulan ini.

Zhang yang ateis abai. Kalimat tersebut adalah tusukan yang lebih tajam dari tusukan pisau. Dalai Lama adalah wujud reinkarnasi ”Tuhan” bagi Buddha Tibet. Dalai Lama (yang artinya Samudra Guru) juga kesucian. Tenzin Gyatso, nama asli Dalai Lama ke-14, yang kini mengungsi di Dharamsala, India, telah dinistakan. Ini tidak bisa berterima.

Sherab Radel (28), seorang biksu, baru melarikan diri ke Dharamsala. Ia capek karena harus selalu menyembunyikan gambar Dalai Lama. Jika ketahuan karena aparat leluasa menyerbu biara, hukumannya adalah wajib menghujat Dalai Lama atau dipenjarakan jika menolak.

Dari identitas ke roti

Akumulasi dari tindakan otoritas China, secara kultur maupun ekonomi, makin menambah nestapa. Ketika tentara Tibet, termasuk Hu Jintao (kini Presiden China) menyerbu Tibet, 14 Maret 1950, persoalan utama adalah identitas. China menganggap Tibet bagian dari wilayahnya. Tibet tak merasa demikian hingga sekarang.

Andrew Fischer, pakar Tibet dari London School of Economics, mengatakan, pembangunan ekonomi Tibet tumbuh 12 persen per tahun. Namun, warga yang menikmatinya adalah etnis Han. ”Tibet adalah potret kemiskinan negara,” kata Simon Littlewood, Presiden Asia Now.

Hanya 15 persen warga Tibet yang berpendidikan, dibandingkan 60 persen untuk rata-rata di seantero China. Sekitar 40 persen warga Tibet buta huruf, tertinggi di China. ”Adalah etnis Han yang merasakan manfaat pembangunan di Tibet,” kata Glenn Maguire dan Patrick Bennett dari Societe Generale, demikian pesan mereka dari hasil sebuah riset.

Tak heran jika sekitar 2.500 warga Tibet melarikan diri setiap tahun ke Dharamsala. Sonam (16), putri seorang petani di Dotoe, Tibet, bertutur, ia terpaksa mengungsi ke India. ”Saya hanya ingin sebuah pendidikan yang bagus,” katanya. ”China telah membuatkan jalan dan industri berkembang. Namun, warga Tibet menjadi pekerja bagi orang-orang China,” katanya.

Tabir tersingkap

Kerusuhan di Lhasa pertengahan Maret makin menyingkap tabir tragedi di Tibet. ”Jika Anda berbicara soal kehidupan di Tibet, di satu sisi memang terjadi kemajuan. Anda bisa hidup mewah,” kata Tenzin Norbu, yang bulan lalu menyeberang ke Nepal dengan menyamar sebagai pekerja Nepal di Tibet. ”Namun, jika Anda menyimak lebih dalam, setiap warga Tibet menghadapi masalah serius yang tidak kunjung diatasi. Secara umum warga Tibet tak punya hak, termasuk hak berbicara, entah soal apa pun,” kata Tenzin.

Zhang menuduh Dalai Lama menghasut protes di Lhasa, yang merembes di Yunnan, Sichuan, tempat kelompok etnis Tibet berada. Dalai Lama membantahnya dan meminta China memberi bukti atas tuduhan itu.

Norbu Dorje (73), mantan gerilyawan Tibet yang dilatih CIA, mengatakan, Dalai Lama tak mengajarkan demikian, hanya meminta otonomi lebih besar, bukan kemerdekaan. Namun, ada sekelompok warga muda yang sudah nekat karena keadaan yang mengimpit kehidupan.

Solusi Tibet, kata Norbu, adalah agar China memberikan otonomi. Norbu juga berharap dunia makin kuat memberikan dukungan agar keluhan mereka didengar. Menurut Norbu, sejak Rixhard Nixon, mantan Presiden AS, merangkul China, semua perjuangan Tibet sia-sia dan melemah. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Yousaf Raza Gilani, Perdana Menteri Baru Pakistan


Presiden Pakistan Pervez Musharraf (kiri) berjabat tangan dengan Yousuf Raza Gilani (kanan) yang baru saja dilantik sebagai perdana menteri Pakistan di Istana Kepresidenan Islamabad pada 25 Maret 2008.

Selasa, 25 Maret 2008 | 20:02 WIB

ISLAMABAD, SELASA - Presiden Pakistan Pervez Musharraf melantik Yousaf Raza Gilani, seorang loyalis mantan perdana menteri Pakistan yang tewas terbunuh Benazir Bhutto, sebagai perdana menteri baru Pakistan Selasa (25/3) ini di Islamabad. Yousaf Raza Gilani yang akan membentuk pemerintahan baru berjanji mengurangi kekuasaan Presiden Musharraf yang mendapat dukungan dari pemerintah Amerika Serikat.

Giani mengucapkan sumpah sebagai perdana menteri baru Pakistan sesuai sumpah yang dibacakan oleh Presiden Musharraf. Para anggota partai Gilani meneriakkan "Hidup Bhutto" setelah pengambilan sumpah Giani sebagai perdana menteri Pakistan berlangsung.

Gilani memimpin pemerintahan sipil Pakistan yang sebelumnya berada dalam kekuasaan pemerintahan militer selama 8 tahun. Dalam pengantarnya setelah dilantik sebagai perdana menteri baru Pakistan, Gilani memohon persatuan nasional untuk menghadapi krisis yang dihadapi Pakistan, terutama krisis ekonomi.

"Saya menyampaikan ucapan selamat ke Yousaf Raza Gilani dan saya akan tetap memelihara kerjasama dengannya," kata Musharraf dalam tayangan televisi nasional Pakistan. "Kita harus menyerahkan supremasi kekuasaan ke parlemen agar kita dapat secara bersama menarik Pakistan dari jurang krisis ekonomi," ujarnya.

Pemerintahan baru Pakistan akan mencakup koalisi dengan partai mantan perdana menteri Nawaz Sharif yang digulingkan lewat kudeta militer pimpinan Musharraf pada tahun 1999. Mitra koalisi yang membentuk pemerintahan baru telah berjanji mengalihkan kekuasaan presidensial ke parlementer dan meninjau kebijakan penangkalan terorisme Musharraf. Banyak warga Pakistan tidak mendukung keberpihakan Musharraf terhadap kampanye agresif Washington yang memicu meluasnya aksi pertumpahan darah melawan al-Qaida dan Taliban yang diyakini beroperasi di wilayah Pakistan.

Deputi Menteri Luar Negeri AS John Negroponte dan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk kawasan Asia Selatan Richard Boucher telah tiba di Islamabad Selasa ini. Kedua pejabat tersebut telah mengadakan perundingan dengan Sharif di saat perdana menteri baru Pakistan dilantik sebelum menemui Musharraf di istana kepresidenan Pakistan. Kedatangan dua pejabat Departemen Luar Negeri AS ini dipandang sebagai cara negeri Paman Sam mendekatkan diri ke pemerintahan baru Pakistan pasca kekuasaan Musharraf.

Zaffar Abbas, seorang editor harian Dawn, menilai kunjungan 2 pejabat Deplu AS itu berlangsung pada waktu yang tidak tepat. "Amerika tidak memahami tekanan domestik yang dihadapi oleh pemerintahan baru Pakistan. kedatangan 2 pejabat Deplu AS pada saat pelantikan perdana menteri baru akan menimbulkan persepsi baik dari kalangan ekstremis Muslim dan moderat bahwa Amerika berupaya berada di Islamabad untuk mencoba mendikte kebijakan pemerintah baru Pakistan," kata Abbas. (AP)

Saturday, March 22, 2008

Ma Ying-jeou Raih Kemenangan

Sabtu, 22 Maret 2008 | 20:11 WIB

TAIPEI, SABTU - Kandidat presiden dari Partai Nasional Taiwan (KMT) yang oposisi, Ma Ying-jeou meraih lebih dari separuh suara dalam pemilihan Sabtu (22/3). Kemenangan ini diharapkan akan meningkatkan hubungan dengan China. Ma meraih lebih dari tujuh juta suara. Lebih dari separuh dari jumlah 13 juta pemilih yang memberikan suara mereka.

Komisi Pemilu Pusat mengatakan Ma meraih 58 persen dari suara itu, sementara kandidat dari partai berkuasa Partai Progresif Demokratik (DPP) Frank Hsieh merebut 42 persen, dengan penghitungan masih berlangsung.

Ma mendukung hubungan ekonomi lebih baik dan dialog politik
dengan China, yang mengklaim Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri itu sebagai wilayahnya. China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sejak akhir perang saudara China tahun 1949.

Partai DPP Hsieh mendukung kemerdekaan resmi pulau itu sementara KMT Ma menginginkan penyatuan kembali apabila China menjadi negara demokrasi. "Apakah anda memilih Hsieh atau Ma, yakin suara itu demi Taiwan," kata Chen kepada wartawan. "Jangan biarkan Taiwan menjadi Hongkong nanti. Jangan biarkan Taiwan menjadi Tibet nanti," ujarnya.

Ma mengemukakan kepada wartawan setelah pemungutan suara itu komitmennya pada Taiwan tidak diragukan. "Saya selalu mengatakan bahwa jika saya terpilih saya akan berdialog dengan China mengenai banyak masalah. Saya akan melindungi Taiwan, tidak hanya identitasnya tetapi kedaulatannya, dengan segala kekuatan saya," katanya.

"Saya telah mengatakan pada banyak kesempatan bahwa Taiwan bukan Tibet. Taiwan juga bukan Hongkong. Jadi kita akan mempertahankan negara demokratik ini sebagaimana adanya," ujar Ma. (ANT/IMA)

Tantangan Irak di Masa Depan

Hari Kamis lalu, 20 Maret, masyarakat dunia mengingat lagi invasi militer pimpinan AS ke Irak yang menumbangkan Presiden Saddam Hussein.

Setelah lima tahun berlalu, situasi dan kondisi Irak tidak lebih baik dibanding ketika masih di bawah pemerintahan Saddam Hussein. Seorang warga Irak dalam sebuah wawancara dengan radio internasional BBC menceritakan bahwa kehidupan rakyat sangat memprihatinkan. Harga-harga kebutuhan pokok sangat mahal. Ia memberikan contoh, satu kilogram tomat, yang lima tahun lalu seharga 250 dinar, kini 1.250 dinar.

Harga tomat hanyalah salah satu contoh. Persoalan lain yang dihadapi rakyat Irak saat ini, sejak lima tahun silam, adalah masalah keamanan. Nyaris tiada hari tanpa baik itu ledakan bom bunuh diri, serangan orang-orang bersenjata, maupun ledakan bom yang ditanam di jalan. Persoalan lain yang membuat rakyat Irak tidak bisa menikmati hidup tenang adalah makin terasanya persaingan dan konflik antarkelompok: antara Syiah dan Sunni, di satu sisi, dan di sisi lain adalah gerakan etnis Kurdi yang masih tetap ingin memperoleh otonomi yang lebih luas atas wilayah Irak utara.

Satu hal yang harus diakui adalah tidak mudah tercapai kesepakatan untuk berbagi kekuasaan dan kekayaan antara Syiah, Sunni, dan Kurdi. Irak adalah negara yang kaya minyak dan merupakan negara penghasil minyak kedua setelah Arab Saudi.

Perselisihan berbau sektarian bukanlah hal baru di Irak. Akan tetapi, bagaimanapun masalah tersebut tetap harus diselesaikan. Adalah sangat tidak mungkin Irak lahir kembali menjadi sebuah negara yang disegani di kawasan kalau di dalam negeri masih tersisa persoalan besar yang teramat penting. Pertanyaannya adalah bagaimana menyelesaikan perselisihan sektarian itu?

Tanpa ada kesepakatan nasional di antara semua komponen negara—Syiah, Sunni, Kurdi, dan kelompok lainnya—kecil kemungkinannya Irak akan mampu bangkit dari keterpurukan akibat invasi militer AS dan semua sekutunya.

Memang, AS sebagai pemicu runtuhnya Irak tetap dituntut tanggung jawabnya untuk membangun kembali negeri itu. Kehadiran AS berlama-lama di Irak juga menjadi batu sandungan besar bagi terciptanya keamanan, karena kehadiran tentara AS menjadi salah satu pemicu terjadinya serangkaian serangan bom bunuh diri dan konflik antarkelompok.

Pada akhirnya, AS harus keluar dari Irak. Sementara bangsa Irak sendiri juga harus mampu membangun persatuan dan kesatuan nasional dan saling percaya untuk keluar dari krisis berkepanjangan.


Malaysia

Oposisi Bentuk Koalisi Formal

AP photo / Kompas Images
Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengadakan jumpa pers di Putrajaya, Malaysia, Kamis (20/3). PM Abdullah membantah pernyataan kubu oposisi bahwa sebagian anggota Barisan Nasional hendak membelot dan bersekutu dengan kubu oposisi.
Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:29 WIB

Kuala Lumpur, Jumat - Tiga partai oposisi Malaysia, Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokratik, dan Partai Islam Se-Malaysia, siap membentuk koalisi formal guna ”mengancam” pemerintah. Namun, mereka tidak bermaksud untuk meleburkan diri menjadi satu partai.

Pemimpin Partai Aksi Demokratik (DAP) Lim Kit Siang hari Jumat (21/3) mengatakan, ketiga partai telah bertemu pada hari Selasa untuk mendiskusikan sebuah ”eksperimen politik”. ”Jika kami ingin menghormati harapan rakyat akan perubahan, kami harus memiliki semacam kerja sama pada level nasional,” katanya.

Oposisi berhasil ”mencuri” 82 kursi pada pemilu parlemen 8 Maret dan menyebabkan koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN) kehilangan mayoritas dua pertiga kursi di parlemen untuk pertama kalinya sejak tahun 1957. Oposisi juga berhasil mengambil alih empat negara bagian, yaitu Penang, Kedah, Perak, dan Selangor, dari tangan BN, serta mempertahankan Kelantan.

Ketiga partai telah membentuk koalisi untuk memerintah Selangor dan Perak. Kelantan tetap dipegang Partai Islam Se-Malaysia (PAS) dan Penang dipimpin DAP.

Wakil Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR) Syed Husin Ali mengatakan, ketiga partai oposisi berharap koalisi formal bisa dibentuk sesegera mungkin. ”Pada prinsipnya, kami semua setuju membentuk koalisi yang kami harapkan cukup kuat dan tahan lama sehingga kami bisa bersiap-siap jika menang dalam pemilu mendatang,” ujarnya.

Untuk saat ini, oposisi belum berpikir untuk menyatukan ketiga partai. ”Satu partai, untuk saat ini, tidaklah realistis. DAP dan PAS duduk bersama saja sudah sebuah prestasi,” kata Sim Tze Tsin dari PKR.

DAP dan PAS sangat berbeda dalam ideologi partai. DAP sekuler, sedangkan PAS religius. DAP juga masih keberatan dengan agenda PAS pada masa lalu yang ingin menerapkan syariat Islam di Malaysia.

Lim mengatakan, jika koalisi telah terbentuk, DAP tetap menjamin bahwa prinsip dasar partai tersebut tidak akan dikompromikan. PAS telah menurunkan agenda religius, bahkan menghapuskannya dari program pemilu.

PKR, PAS, dan DAP mengusung agenda bersama untuk menghapuskan diskriminasi rasial yang belakangan ini memunculkan beragam protes. Isu itu terbukti mampu membuat pemilih yang semula mendukung BN beralih mendukung oposisi.

Membelot

BN tengah menyelidiki klaim oposisi bahwa beberapa anggotanya membelot karena tersingkir setelah pemilu parlemen. Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) menyatakan telah mengirimkan sebuah tim untuk menyelidiki isu pembelotan tersebut.

”Beberapa orang mengatakan hal ini. Kami akan mengirimkan intelijen untuk memeriksa,” kata Sekretaris Jenderal UMNO Tengku Adnan Tengku Mansor seperti dikutip New Straits Times, Jumat.

”Kenapa mereka (oposisi) membeli orang-orang kami saat kami telah menang? Mereka kira kami lemah karena kami kehilangan lima kursi dan tidak mendapat mayoritas dua pertiga di parlemen,” kata Mansor.

Tokoh oposisi Anwar Ibrahim mengatakan, pejabat BN dari Sabah dan Serawak telah menghubungi dia untuk mendiskusikan kemungkinan mereka beralih ke oposisi. Anwar menekankan, para pembelot itu tidak dibeli. Tokoh oposisi lain juga menantang pemerintah untuk mengajukan gugatan kepada polisi jika pemerintah menemukan bukti pembayaran.

Partai Rakyat Bersatu di Sarawak menyatakan kepada media bahwa isu pembelotan itu keliru dan anggota parlemen dari partai itu, Richard Riot, yang dikabarkan membelot, masih tetap anggota partai.

Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi membantah pernyataan Anwar. Dia juga membantah isu terjadinya perpecahan di tubuh UMNO setelah pengunduran diri sejumlah pejabat tingkat tinggi.

Keputusan Badawi untuk merampingkan kabinet dan membuang politisi veteran di kabinet barunya juga telah membuat beberapa anggota parlemen menyingkir. Kini, BN menguasai 140 kursi parlemen, turun dari perolehan pemilu tahun 2004 sebanyak 219 kursi.

Tantang Badawi

Menyusul pencapaian buruk BN dalam pemilu parlemen, Pangeran Razaleigh Hamzah (71) dari Negara Bagian Kelantan menantang Badawi untuk memperebutkan kursi pimpinan UMNO jika dia dinominasikan dalam pemilu partai, Agustus mendatang.

”Jika bisa membantu memulihkan UMNO, saya siap menerima tanggung jawab itu. Saya serahkan semuanya kepada anggota UMNO. Saya tawarkan pelayanan saya,” kata Razaleigh seperti dikutip kantor berita Bernama.

”Tidakkah anggota UMNO menyadari kita kehilangan lima negara bagian? Apakah mereka masih tidur?” ujarnya.

Razaleigh menyerukan untuk menggelar pertemuan UMNO pada bulan Mei mendatang guna membahas masa depan partai. Saat ini, Razaleigh menjabat sebagai anggota parlemen. Dia pernah menjabat sebagai menteri keuangan.

Razaleigh pernah menantang Badawi untuk kepemimpinan UMNO tahun 2004, tetapi gagal mendapatkan dukungan cukup. Sebelumnya, dia juga pernah menantang Mahathir pada pemilu UMNO tahun 1987, tetapi kalah tipis. Dia kemudian membentuk kelompok tandingan UMNO, tetapi bergabung lagi tahun 1996.

Adnan Mansor, yang baru saja ditunjuk sebagai Sekjen UMNO, mengatakan, semua terserah anggota UMNO untuk mendukung Razaleigh atau tidak. Namun, dia yakin bahwa Badawi masih memiliki dukungan kuat di kalangan anggota UMNO. (AP/AFP/FRO)

Thursday, March 20, 2008

5 Tahun Perang Irak, Habiskan Rp 4.600 Triliun


George Walker Bush
Artikel Terkait:
Kamis, 20 Maret 2008 | 03:20 WIB

WASHINGTON, KAMIS - Memperingati lima tahun perang di Irak, Presiden AS George W Bush mengaku tidak menyesal atas perang yang tidak populer itu, dan yakin bahwa AS sudah di jalur kemenangan dalam perang yang sudah menghabiskan 500 miliar dolar AS itu.

Pernyataan Bush tersebut disampaikan di depan para petinggi militer dan staf Departemen Pertahanan, Pentagon, Rabu, dalam memperingati tahun kelima invasi AS ke Irak.

"Dalam memasuki tahun kelima perang ini, jelas masih bisa dipahami bahwa masih berlangsung perdebatan tentang apakah perang ini layak dilangsung, apakah layak kemenangannya, apakah kita bisa menang," kata Bush dengan yakin,"Bagi saya jawabannya jelas: menyingkirkan Saddam Hussein dari kekuasaan adalah keputusan yang tepat, dan ini perang yang dijalankan dan harus dimenangkan oleh Amerika."

Dalam pidato itu Bush sekaligus menjawab kritikan dan desakan dari calon presiden kubu Demokrat, Barack Obama dan Hillary Clinton, yang menuntut jadwal penarikan pasukan AS lebih awal dari Irak. Bush menilai, penarikan mundur secara dini itu justru akan memperkuat Al Qaeda dan Iran, dan akan membahayakan AS.

Bush yang tinggal punya waktu selama 11 bulan di Gedung Putih itu berupaya untuk mempertahankan kebijakannya yang kian lama kian tak populer tersebut. Berdasarkan survei, popularitas Bush anjlok sekali, terendah sepanjang posisinya sebagai presiden. Rakyat menilai perang itu sudah tak bermanfaat, sementara ekonomi AS morat-marit.

Perang itu telah menguras anggaran AS sebesar 500 miliar dolar AS (dalam rupiah sekitar 4.600 triliun). Jutaan orang Irak tercerabut dari kediamannya, dan menjadi pengungsi. Puluhan ribu orang Irak tewas, dan ratusan ribu lainnya cedera. Sekitar 4.000 tentara AS tewas, dan ribuan lainnya luka-luka. Masih pula 175 tentara Inggris tewas, plus 134 tentara dari berbagai negara yang membantu AS dalam perang itu. (Reuters)


Wednesday, March 19, 2008

Tibet

Dharamsala, Disebut "Lasha Kecil" di India
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:11 WIB

Nama Dharamsala belakangan ini mencuat kembali seiring dengan rangkaian protes anti-China di Tibet. Dari kota di timur laut India itulah tempat pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, menjalankan pemerintahan dari pengasingan.

Situs www.tibet.com menyebutkan, Dharamsala terletak di lembah Kangra, bagian dari Distrik Kangra, Negara Bagian Himachal Pradesh. Kota ini terbagi atas dua wilayah: Dharamsala Atas atau dikenal sebagai McLeod Ganj (1.800 meter di atas permukaan laut/dpl) dan Dharamsala Bawah atau Kotwali Bazaar yang rata-rata ketinggiannya 1.250 meter dpl. Dharamsala bisa dicapai dari New Delhi, India, selama setengah hari naik bus.

Tahun 1959, sekitar 80.000 warga Tibet, dipimpin Tenzin Gyatso atau Dalai Lama yang sekarang melarikan diri dari pendudukan China, tiba di kota itu. Mereka disambut Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru yang kemudian memberinya tempat untuk mendirikan pemerintahan.

Pusat Pemerintahan Tibet (CTA) pertama kali didirikan di Mussoorie pada 29 April 1959, tak lama setelah Dalai Lama tiba di India. Pada Mei 1960, CTA dipindahkan ke Dharamsala.

Departemen-departemen dalam CTA bekerja untuk mencapai cita-cita perjuangan rakyat Tibet. Di antaranya, departemen pendidikan, departemen agama dan budaya, kesehatan, keuangan, keamanan, dan hubungan internasional.

Pemerintahan Tibet di Dharamsala ini juga memiliki komisi pemilu, komisi pelayanan publik, dan komisi audit. Otoritas eksekutif tertinggi berada di tangan Kashag, yaitu kabinet yang terdiri atas delapan menteri. Mereka bertanggung jawab kepada Dalai Lama dan Majelis Perwakilan Rakyat Tibet.

Majelis ini semacam parlemen yang beranggotakan 46 orang. Sebanyak 43 orang di antaranya dipilih rakyat Tibet di seluruh dunia dan tiga orang ditunjuk Dalai Lama.

Sejak pemerintahan didirikan, banyak pengungsi Tibet tinggal di Dharamsala. Jumlahnya ribuan orang. Kebanyakan pengungsi tinggal di McLeod Ganj yang dikelilingi pohon pinus dengan suhu udara lebih mirip dengan Tibet yang dingin.

Mereka mendirikan biara, kuil, dan sekolah. Itu sebabnya, Dharamsala juga dikenal sebagai ”Lasha Kecil”. Lasha adalah ibu kota Tibet.

Kemiripannya dengan Tibet membuat Dharamsala juga memiliki daya tarik bagi wisatawan. Udara dingin serta aroma kota-kota tua Tibet menjadi pilihan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Toko-toko yang berbaris di sepanjang sisi jalan sempit di McLeod Ganj menjual kerajinan khas Tibet, pakaian wol menambah nuansa budaya tradisional Tibet.

Saat ini 6,1 juta warga Tibet tersebar di seluruh dunia. Ribuan di antara mereka terus mengalir membanjiri Dharamsala untuk meminta dan menerima berkat dari Dalai Lama. (FRO)

LIMA TAHUN INVASI KE IRAK


Tragedi Terbesar sejak PD II

AP photo/KARIM KADIM / Kompas Images
Seorang tenaga medis sedang mengobati seorang gadis cilik yang cedera karena terkena serpihan mortir di sebuah sekolah dasar di kawasan Baladiyat, Baghdad, Irak, Senin (17/3). Dua anak cedera dan lima anak lainnya meninggal akibat ledakan di dekat sekolah tersebut. Begitulah lebih kurang keadaan sehari-hari di Irak, nyawa anak-anak pun tak terlindungi selama lima tahun invasi AS.
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:16 WIB

Simon Saragih

Jika batas sejarah modern adalah sejak Perang Dunia II, maka invasi ke Irak telah mengakibatkan tragedi terbesar zaman modern. Nyawa dan uang habis melayang secara cuma-cuma. Hasilnya nihil, kecuali versi Gedung Putih bahwa Irak jadi negara bebas dan menuju demokrasi. Dunia dan warga AS pada khususnya telah dikelabui.

Fakta-fakta menunjukkan keadaan yang kontras secara ekstrem. Sebelum tulisan ini berlanjut, perlu diingatkan bahwa AS tak pernah menyebut serangan ke Irak sebagai invasi, tetapi menyebutnya Iraq War (Perang Irak).

Namun jelas, Irak dibombardir oleh AS dan sama sekali tidak ada perlawanan dari Irak. Ini terjadi pada 20 Maret 2003, atau 19 Maret waktu AS, saat invasi dimulai. Jadi, hal ini tidak menunjukkan keadaan seperti yang dikatakan AS, yakni Iraq War. Dengan kata lain, Iraq War bukan satu kategori dengan Perang Korea atau Perang Vietnam.

Lepas dari itu, menurut laporan Amnesty International (AI), 17 Maret 2008, sekarang dua dari tiga warga Irak tak memiliki akses air bersih, empat dari 10 warga Irak hidup di bawah garis kemiskinan. Sistem kesehatan dan pendidikan di Irak, bersama sistem negara, secara keseluruhan telah ambruk.

Irak kini menjadi negara paling tak aman di dunia, disertai pertikaian sektarian dan hidup warga sipil yang sehari-hari terancam. Negara sedang menghadapi tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Setidaknya, empat juta, atau sekitar 15 persen dari 27 juta penduduk Irak, telah tergusur dari rumahnya.

Angka-angka korban berbeda secara cepat dari waktu ke waktu. Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), sekitar dua juga warga Irak kini mengungsi ke Jordania dan Suriah. Sekitar 2,2 juta lagi warga Irak telah mengungsi di Irak sendiri, menghindari daerah berbahaya di kampung halaman.

Tak banyak warga Irak yang diterima negara-negara penginvasi Irak, seperti Inggris, AS, Spanyol, dan Polandia. Sekitar 60.000 warga Irak telah ditahan aparat Irak, dibantu pasukan multinasional.

Aksi-aksi radikal dan berdarah, termasuk aksi penembakan yang setiap hari berdentuman di Irak, telah menewaskan 1,2 juta warga Irak, sebagaimana dilansir Iraq Body Count dan The Lancet, sebuah lembaga terhormat asal Inggris, September 2007.

Sekitar 12.000 tentara pasukan Irak tewas, sebagaimana diumumkan Pemerintah Irak bulan lalu. Sekitar 4.280 tentara asing tewas, termasuk 3.987 tentara AS, menurut AFP berdasarkan bahan dari http://www.icasualties.org site.

Perang termahal

Kini masih ada 160.000 tentara di Irak, dengan biaya yang harus keluar sekitar 12 miliar dollar AS per bulan, sebagaimana diberitakan The San Francisco Chronicle, edisi 17 Maret. Total uang yang sudah dialokasikan ke Irak mencapai lebih kurang 500 miliar dollar AS. Jika ditambah dengan beban bunga, total biaya invasi mencapai 615 miliar dollar AS. Masalahnya, biaya perang itu dipakai dari dana-dana pinjaman pemerintahan AS.

Biaya yang akan dikeluarkan AS, sebagaimana diutarakan Joseph Stiglitz, ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, akan mencapai setidaknya 3 triliun dollar AS. Peralatan militer AS yang sudah rusak akibat invasi ke Irak membutuhkan anggaran tambahan untuk pembaruan persenjataan sekitar 280 miliar dollar AS. Veteran yang cacat akibat invasi ke Irak membutuhkan biaya 500 miliar dollar AS lagi untuk menunjang kehidupan veteran itu sepanjang umurnya.

Stiglitz dan profesor keuangan publik dari Harvard University, AS, Laura Bilmes, mengatakan, bersama biaya-biaya tambahan lainnya, total biaya invasi ke Irak akan mencapai 3 triliun dollar AS. Angka ini mendekati sekitar 3,8 triliun dollar AS utang Pemerintah AS, yang sebagian besar tercipta selama rezim Presiden George W Bush.

”Kita negara kaya dan pada tingkat tertentu, biaya itu masih bisa ditanggulangi,” kata Stiglitz, yang juga profesor dari Columbia University, AS, yang menuliskan kalkulasi biaya invasi ke Irak itu dalam buku barunya berjudul The Three Trillion Dollar War.

Namun, Stiglitz mengatakan invasi ke Irak telah memberi kontribusi pada kerusakan ekonomi AS dan global. Irak yang tidak stabil telah berperan besar mendorong harga minyak ke ketinggian yang merupakan rekor baru dalam sejarah perminyakan dunia, yakni mencapai 112 dollar AS per barrel.

Mengimbas ke dunia

Secara langsung atau tidak langsung, kenaikan harga minyak akibat faktor geopolitik terkait Irak juga telah merugikan warga dunia. Harga minyak sangat rentan naik jika kekacauan Irak terjadi. Ratusan juta warga miskin dunia telah ketiban harga minyak, untuk satu hal yang mungkin mereka tidak tahu penyebabnya.

Kekacauan perekonomian AS, yang mengakibatkan anjloknya bursa saham dan kurs dollar AS, telah pula membuat spekulan global ”berjudi” di sektor komoditas, yang jadi salah satu bahan pangan pokok masyarakat dunia.

Selain menghadapi kenaikan harga minyak, warga global juga telah tertimpa kenaikan harga- harga pangan. Jadi, jika salah satu penyebab kekacauan global, yakni harga minyak yang naik, ingin diatasi, salah satu jawabannya adalah menstabilkan Irak.

Kembali ke soal biaya, beban finansial invasi ke Irak, kata Stiglitz, telah membuat AS tak bisa mengatasi beban utang. Ini terjadi saat ekonomi AS sedang menuju resesi akibat kehancuran sektor perumahan dan anggaran pemerintahan yang defisit ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan negara lain.

Dampak lainnya, makin sulitnya AS memenuhi anggaran untuk pengeluaran sosial dan kebutuhan lainnya di masa datang.

Juru Bicara Gedung Putih Dana Perino menjawab, jika tak diinvasi, maka Irak akan menjadi sarang Al Qaeda. Namun, laporan AI menunjukkan, Irak adalah negara dengan dentuman senjata setiap hari, di mana nyawa manusia melayang.

Dalam perspektif sejarah, invasi ke Irak adalah yang paling menelan biaya terbesar. Invasi ke Irak dua kali lebih mahal dari Perang Korea (1950-1953), dan lebih mahal sepertiga dari Perang Vietnam (yang berlangsung 12 tahun). Stiglitz dan Bilmes mengalkulasi bahwa invasi ke Irak 10 kali lebih mahal dari Perang Teluk I dan dua kali lebih mahal dari biaya Perang Dunia (PD) I.

Hanya PD II yang mampu mengalahkan biaya invasi ke Irak. Dibutuhkan 5 triliun dollar AS dalam PD II, termasuk biaya mengerahkan pasukan AS menghadapi Jerman dan Jepang.

Profesor Steven Davis dari University of Chicago Graduate School of Business juga mendukung soal kalkulasi invasi ke Irak itu, yang akan terus menggelinding. ”Akan tetapi, tetap saja muncul penolakan dari pemerintahan untuk menghentikan invasi,” kata Davis.

Davis menyalahkan Kongres AS dan juga media AS yang sejak dini kurang kritis soal bahaya besar, baik nyawa maupun konsekuensi dari invasi ke Irak. Periode 2003 hingga sekarang, AS bukanlah sebuah negara yang menunjukkan diri sebagai negara demokrasi. ”Terjadi kesalahan kolektif,” kata Davis.

Gubernur California Arnold Schwarzenegger mengatakan, sekitar setengah dari peralatan negara bagian kini dialokasikan ke Irak dan Afganistan. ”Ini tidak adil,” kata Schwarzenegger.

Robert Hormats, Wakil Ketua Goldman Sachs, memperingatkan Kongres AS soal bahaya kekurangan biaya bagi generasi AS di masa depan jika invasi ke Irak tidak dihentikan. Biaya invasi ke Irak telah melampaui alokasi anggaran untuk pendidikan dan riset kesehatan. ”Apakah tidak sebaiknya biaya invasi ini dialokasikan ke sektor lain yang lebih menguntungkan negara,” ujar Hormats.

Harian Salt Lake Tribune, edisi Senin (17/3), juga menuliskan, biaya invasi ke Irak sudah lebih mahal dari biaya riset untuk energi terbarukan (renewable energy). Editor majalah Scientific American menuliskan bahwa Pemerintah AS hanya membutuhkan 450 miliar dollar AS untuk riset energi, yang bisa melahirkan energi yang efisien, termasuk energi matahari.

Di harian Indianapolis Star, edisi 17 Maret, Profesor Sheila Kennedy dari Indiana University School of Public and Environmental Affairs mengatakan kita telah melakukan tindakan blunder di Irak. ”Kita menyerang negara yang tidak terkait dengan serangan 11 September, kita telah menciptakan kekacauan besar di di Irak, namun kita tidak pernah serius mengevaluasi semua kesalahan ini,” kata Sheila.

Kenangan buruk tentara

Wapres AS Dick Cheney masih tetap dengan entengnya mengatakan AS tak akan membiarkan Irak menjadi kacau-balau. Sampai kapan pernyataan seperti itu terus berlanjut?

Clifton Hicks, tentara AS yang pernah ditugaskan di Irak, mengatakan, ia memiliki kenangan buruk saat bertugas di Irak. Setiap saat ia terancam serangan oleh orang-orang yang bersenjata.

Ia juga menyaksikan kerumunan perkawinan yang juga telah menjadi sasaran dari orang-orang yang bersenjata sebagai bentuk provokasi bahwa Irak di bawah AS tidak akan pernah aman.

Rasanya tak mungkin lagi mengharapkan Gedung Putih mengatasi masalah Irak. Rasanya susah bagi orang-orang yang bercokol di Gedung Putih keluar dari Irak. Terlalu banyak proyek milik orang-orang terkait dengan Dick Cheney di Irak. Kita berdoa saja agar Barack Obama atau Hillary Clinton jadi presiden AS. Keduanya menjanjikan penarikan pasukan AS dari Irak jika terpilih jadi presiden AS.

Internasionalisasi Dalai Lama dan Sejarah Inkarnasi

Bagi para penguasa China (RRC) di Beijing, stabilitas domestik dan integritas teritorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menyusun strategi akbarnya menjadikan RRC sebagai negara adidaya yang berpengaruh dalam berbagai lingkup kehidupan global, ekonomi, dan politik. Karena itu, faktor Tibet yang didera kerusuhan internal, serta faktor Taiwan yang akan menghadapi pemilu presiden akhir pekan ini, adalah persoalan yang tidak bisa ditawar oleh siapa pun.

Sinolog kenamaan seperti Michael D Swaine dan Ashley J Tellis dalam bukunya Interpreting China’s Grand Strategy: Past, Present, and Future (2000) menuliskan perilaku China setidaknya setelah reformasi dan modernisasi sekarang ini memiliki pendekatan non-ideologis yang terbagi atas kebutuhannya untuk meneruskan pertumbuhan ekonomi, menahan diri secara sistematis untuk tidak menggunakan kekuatan militer, serta keterlibatan yang diperluas di forum-forum multilateral tingkat global dan regional.

Dalam konteks kerusuhan Tibet akhir pekan lalu, pendekatan perilaku strategi akbar ini sepertinya tidak berlaku, dan bisa ditilik setidaknya dalam beberapa faktor inheren yang cara penanganannya yang berbeda dengan Taiwan. Taiwan merupakan sisa pertikaian politik nasionalis versus komunis berbasis ideologi yang sekarang menjadi usang bersamaan dengan kemajuan ekonomi RRC.

Jika Ma Ying-jeou dari Kuomintang berhasil menduduki posisi Presiden Taiwan—jika berhasil mengalahkan Frank Hsieh dari Partai Progresif Demokratik—meneruskan kekuasaan Presiden Chen Shui-bian, hubungan Beijing-Taipei dipastikan tidak akan banyak berubah. Fondasi hubungan Partai Komunis China (PKC) dan Kuomintang (Partai Nasionalis China) cukup kokoh untuk bisa menyelesaikan kemungkinan terjadinya ketegangan di antara keduanya.

Bahan ejekan

Dalam persoalan Tibet, isu dan masalah yang berkembang menjadi berbeda. Kata Xizang (artinya Tibet) dalam bahasa China mempunyai dua arti yang bertolak belakang. Xizang bisa berarti ’harta di barat’, tetapi Xizang juga memiliki homonim yang berarti ’kotoran di barat’ yang menjadi ejekan orang-orang keturunan Han tentang orang-orang Tibet yang kotor dan berdebu karena ritual agama Lama dengan posisi telentang di tanah.

Ada faktor kenyataan internasional, dengan tidak ada satu negara dan pemerintahan di dunia ini yang mempertentangkan status Tibet dan mengakuinya sebagai bagian dari RRC, dan bersedia untuk memberikan pengakuan legal apa pun kepada Dalai Lama yang berada dalam pemerintahan pengasingan di Dharamsala, wilayah India yang berbatasan dengan Tibet.

Di sisi lain, faktor Dalai Lama menjadi problematik subyektif sekaligus obyektif mengingat karisma religiusnya menarik simpati banyak kalangan dari Hollywood, media massa global, sampai politisi, yang mendudukkan pemenang Hadiah Nobel 1989 dalam posisi dilematis antara dimensi internasional dan pada tingkat tertentu dimensi nasional.

Sinergi internasionalisasi Dalai Lama, serta posisinya sebagai figur politik dengan sejarah tradisi panjang inkarnasi agama Lama pada abad ke-17 mewakili kepentingan enam juta orang Tibet, harus berhadapan dengan patriotisme dalam rumusan komunisme China. Internasionalisasi ini akan berhadapan secara sistematis dengan strategi akbar RRC yang berusaha untuk memutuskan mata rantai panjang sejarah kelahiran inkarnasi Dalai Lama.

Perempuan Akan Pimpin Parlemen Pakistan

Partai Koalisi Belum Sepakat Ajukan Calon PM

AP PHOTO / Kompas Images
Fahmida Mirza
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:12 WIB

Islamabad, Selasa - Partai Rakyat Pakistan yang pernah dipimpin Benazir Bhutto (almarhumah), Selasa (18/3), mencalonkan Fahmida Mirza (52) sebagai ketua parlemen di Pakistan. Jika pemilu parlemen (342 kursi parlemen) menetapkan Mirza sebagai pemenang, ia akan menjadi perempuan pertama yang memimpin parlemen.

Jika pemilu parlemen yang diselenggarakan hari Rabu sepakat memilih Mirza, maka untuk pertama kalinya dalam 60 tahun jabatan ketua parlemen di Pakistan akan berada di tangan perempuan.

Mirza adalah rekan dekat suami Bhutto, Asif Ali Zardari, yang juga pernah menjadi anggota parlemen. Perempuan yang dikenal sebagai pengusaha itu berasal dari Provinsi Sindh, sama dengan tanah kelahiran Bhutto.

”Dia merupakan calon yang paling baik dan anggota partai yang benar-benar setia. Selama ini pun ia berperan penting di partai ini,” kata juru bicara Partai Rakyat Pakistan (PPP), Farzana Raja.

Seandainya Mirza terpilih, kata Raja, semua perempuan di Pakistan akan termotivasi untuk maju, berkembang, dan meraih kesuksesan yang sama.

Dengan memilih Mirza, PPP ingin memberikan pesan kepada rakyat Pakistan dan komunitas internasional bahwa PPP benar-benar ingin memberdayakan perempuan.

Posisi sebagai ketua parlemen penting karena bertugas dan memiliki wewenang dalam pembuatan keputusan mengenai usulan atau rencana program pemerintahan. Parlemen baru tersebut juga akan menentukan nasib kepemimpinan Presiden Pervez Musharraf.

Belum ada PM

Selain mengajukan Mirza, PPP juga mencalonkan Faisal Karim Kundi untuk menduduki posisi wakil ketua parlemen.

Meski sudah mengajukan calon ketua dan wakil ketua parlemen, PPP masih belum juga sepakat menetapkan seorang calon perdana menteri (PM).

Sempat beredar kabar bahwa suami Bhutto, Zardari, akan dicalonkan sebagai PM. Zardari tidak mencalonkan diri dalam pemilu yang lalu karena berkas nominasi telah dikumpulkan sebelum Bhutto tewas terbunuh.

Ada pihak-pihak yang mencurigai pengajuan calon PM di PPP tertunda karena sebenarnya Zardari menginginkan posisi itu. Zardari tidak bisa menjabat karena bukan termasuk anggota parlemen.

Bukan hanya itu. Zardari juga tidak memiliki ijazah perguruan tinggi, salah satu syarat mutlak bagi setiap kandidat.

Selain Zardari, ada calon kedua yang termasuk pengikut setia dari Bhutto, yaitu Makhdoom Amin Fahim.

Meski sebelumnya sempat mengancam akan keluar partai jika tidak terpilih sebagai calon PM, Fahim akhirnya menyatakan dukungannya kepada Zardari.

Ambisi Fahim menjadi perdana menteri terpaksa buyar karena ia pernah bertemu Musharraf beberapa bulan terakhir ini. Hal ini yang pada akhirnya membuat partai Nawaz Sharif berang.

Sebagai pemenang pemilu dan menguasai mayoritas suara, PPP bisa menentukan calon pemimpin parlemen dan perdana menteri. Namun, untuk membentuk pemerintahan yang baru, PPP harus tetap berkoalisi dengan partai Sharif yang ada di posisi kedua pemenang pemilu. (AFP/LUK)

Tragedi Irak

Bayang-bayang Akhir Sebuah Negara
Trias Kuncahyono

Bahkan, seorang Niccolo Machiavelli pun konon pernah berujar, memulai perang adalah soal yang gampang. Persoalannya adalah bagaimana mengakhirinya.

Bagaimana mengakhiri perang? Pertanyaan itulah yang kini menjadi persoalan utama yang harus dipecahkan AS. Lima tahun silam, 20 Maret 2003, AS dengan dukungan sekutu-sekutunya dan di tengah kecaman dunia secara membabi buta menggempur Irak. Dan, hanya dalam tempo 20 hari Baghdad, ibu kota Irak, jatuh, Kamis, 9 April 2003. Rezim Saddam Hussein pun tumbang.

Akan tetapi, perang Irak, yang menurut istilah George Soros dalam The Bubble of American Supremacy, ”membajak tragedi 11 September”, tidak berhenti begitu saja saat Presiden George W Bush pada 1 Mei menyatakan perang usai. Hingga saat ini, AS masih tetap belum bisa keluar dari Irak. Bahkan, keluarnya tentara AS pun menjadi pertanyaan: Kapan mereka keluar atau bahkan apakah mereka bisa keluar dan akan keluar dari Irak?

Dari sudut pandang AS, mungkin, perang sudah selesai ketika presiden menyatakan perang berakhir. Akan tetapi, bagi rakyat Irak lain lagi ceritanya. Saat ini mereka masih terus bergulat atau bahkan baru memulai pergulatan untuk lahir kembali sebagai sebuah negara baru. Invasi AS tidak hanya meruntuhkan rezim Saddam Hussein, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi negara. Irak tercerai-berai!

Bangunan Irak sebagai sebuah negara ambruk. Dan, kemudian terjadilah pertarungan sesama anak bangsa untuk menjadi penguasa baru. Visi pemerintah Bush—setelah Irak dibebaskan dari rezim Saddam Hussein akan segera menjadi negara demokrasi yang aman dan damai, ibarat Jermannya Timur Tengah, dan menjadi sumber kekuatan strategik AS—tidak terbukti! Yang terjadi justru sebaliknya. Irak menjadi negara yang lemah, sumber kelemahan strategik, terancam perpecahan.

Persaingan sektarian

Pemerintahan baru, memang, sudah berdiri. Tetapi, begitu rentan. Tidak bisa dimungkiri bahwa di antara kelompok Syiah, Sunni, dan Kurdi tidak mudah berbagi kekuasaan dan kekayaan negeri itu dalam pemerintahan baru. Berbagai kalangan selalu khawatir bahwa nasib Irak di masa depan akan semakin buruk. Apalagi, kondisi di lapangan yang mencerminkan adanya perseteruan di antara kelompok demikian nyata.

Serangan bom bunuh diri yang dilakukan seorang perempuan di Karbala, Selasa lalu, menjadi salah satu contoh. Sejak 2004, paling kurang terjadi lima kali serangan bom berkekuatan besar dengan korban besar pula di Karbala. Tiga di antaranya adalah serangan bom bunuh diri. Tanggal 2 Maret 2004 terjadi ledakan bom, menewaskan 85 orang dan melukai 230 orang. Tanggal 5 Januari 2006 terjadi serangan bom bunuh diri yang menewaskan 60 orang dan melukai 100 orang.

Karbala, sebuah kota yang terletak sekitar 100 km barat daya Baghdad, adalah kota suci bagi kelompok Syiah. Bom bunuh diri meledak di dekat Masjid Imam Hussein. Ledakan bom di Karbala itu mengingatkan orang akan ledakan bom di Samarra, 22 Februari 2006, sebelah utara Baghdad. Yang menjadi sasaran di Samarra adalah Masjid Al-Askariya milik kaum Syiah. Sejak saat itu, gelombang pengeboman terjadi; saling silih yang menjadi sasaran, yakni Syiah dan Sunni.

Akan tetapi, berbagai pihak menyatakan bahwa persaingan dan konflik sektarian cenderung turun. Pertanyaannya adalah, apakah itu merupakan kecenderungan yang senyatanya atau mereka sedang menunggu waktu? Sulit dimungkiri bahwa di antara Syiah, Sunni, dan Kurdi terjadi persaingan untuk memperebutkan pengaruh, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Pemerintahan nasional

Bagaimana mengakhiri perang Irak? Pertanyaan itu yang bisa jadi membebani para ahli strategi militer AS. Peter W Galbraith dalam The End of Iraq menulis, Pemerintah AS tidak pernah memiliki rencana untuk membangun keamanan pasca-Saddam Hussein. Karena itu, mereka pun kini tak berdaya melihat dan menghadapi kenyataan di lapangan.

Apakah itu berarti bahwa tentara AS akan tetap terus berada di Irak? Untuk waktu berapa lama? Apakah akan sama dengan, misalnya, tentara Suriah yang tetap berada di Lebanon selama 15 tahun setelah perang saudara berakhir? Apakah akan mengikuti jejak NATO dan tentara Eropa di Bosnia? Mereka tetap di Bosnia selama 11 tahun setelah perang usai.

AS sendiri menghadapi dilema. Mereka berkeyakinan bahwa jika mereka segera keluar, Irak akan jatuh ke tangan ”para teroris”, itulah mereka. Tetapi, jika mereka tetap berada di Irak juga menimbulkan persoalan, yakni terus berlanjutnya aksi pengeboman. Bahkan, ada yang mengistilahkan telah melahirkan Afganistan baru.

Pada akhirnya, rakyat Irak sendiri yang harus menjatuhkan pilihan. Apakah mereka akan memberi tempat pada AS atau mau berdiri sendiri membangun negara baru? Akan tetapi, negara baru yang aman hanya akan terwujud bila tercipta persatuan antara seluruh komponen anak bangsa negeri itu: Syiah, Sunni, Kurdi, dan kelompok sekuler. Tanpa itu, Irak akan tetap tidak aman, bahkan tercerai-berai.

Tentu, tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi setelah begitu banyak jiwa melayang secara sia-sia.

Obama Akan Bicarakan Isu Rasial untuk Akhiri Kontroversi


Rabu, 19 Maret 2008 | 00:16 WIB

Philadelphia, Selasa - Bakal calon presiden AS, Barack Obama, akan mencoba memadamkan sebuah kontroversi mengenai pernyataan menghasut dan bernada rasialis. Pernyataan itu disampaikan pendeta dari gerejanya.

Senator kulit hitam dari Partai Demokrat itu akan berpidato di Philadelphia, persisnya dekat sebuah lokasi yang menjadi tempat kelahiran bangsa AS itu. Ia akan menyampaikan pendapatnya mengenai ”ras, politik, dan hal-hal yang mempersatukan bangsa.”

Obama mengatakan, kontroversi atas pernyataan pendeta itu telah mengalihkan perhatian khalayak AS dari isu-isu kampanye. Hal ini terjadi justru saat ia sedang berjuang menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, untuk menghadapi Senator John McCain dari Partai Republik dalam pemilu presiden pada November 2008.

Dalam pidato di sebuah bangunan bersejarah di seberang Liberty Bell, Philadelphia, Selasa (18/3) pagi waktu Philadelphia, Obama antara lain akan mencoba menenangi keributan karena khotbah-khotbah di Trinity United Church of Christ, Chicago, oleh Pendeta Jeremiah Wright.

Wright adalah pendeta yang sangat dekat dengan Obama dan keluarganya. Wright telah menjadi pendeta Obama selama hampir 20 tahun. Ia meresmikan perkawinan Obama serta membaptis kedua putri Obama.

Pernyataan pendeta itu yang menghasut pertikaian ras telah dipakai para pencela Obama. Pendeta itu antara lain mengatakan, serangan 11 September 2001 adalah suatu pembalasan atas kebijakan luar negeri AS yang menyebarkan terorisme.

Mengecam

Sebuah khotbah Wright yang beredar luas di internet menyebutkan bahwa kaum kulit hitam seharusnya menyanyikan God Damn America, bukan God Bless America. Alasan pendeta itu, kulit hitam telah diperlakukan tak manusiawi oleh pemerintah.

Obama mengatakan kontroversi itu kontras dengan niatnya untuk merangkul siapa saja. ”Saya akan berbicara bukan hanya mengenai Pendeta Wright, tetapi mengenai isu ras yang lebih besar,” kata Obama, Senin.

Obama mengatakan, adalah naif untuk percaya bahwa isu ras tak akan muncul dalam pertarungannya melawan Hillary, seperti isu jender yang selalu muncul setiap kali Hillary tampil.

Jen Psaki, seorang juru bicara Obama, mengatakan, Obama ingin menyampaikan pidato itu karena ”isu ras telah menjadi perhatian sangat besar” selama beberapa pekan terakhir.

Senator Illinois Richard Durbin, pendukung Obama, mengatakan, pidato Obama itu akan sangat penting karena merupakan refleksinya yang mendalam. Obama, menurut Durbin, merasakan bahwa Amerika sedang berubah dan ingin bergerak melewati retorika yang menuju ke pandangan yang lebih positif yang bisa menjadi tujuan bangsa Amerika Serikat. (AFP/Reuters/AP/DI)

Dalai Lama Mengancam

Taiwan Pertimbangkan Boikot Olimpiade Beijing 2008


Rabu, 19 Maret 2008 | 00:10 WIB

Dharamsala, Selasa - Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, Selasa (18/3) di Dharamsala, India, mengatakan akan mengundurkan diri jika situasi di Tibet memburuk. Dalai Lama menolak tuduhan China bahwa dia berada di belakang rangkaian protes anti-China di Tibet yang menelan korban jiwa. Dia justru menyerukan untuk membangun hubungan baik dengan China.

”Jika segala sesuatu berada di luar kendali, pilihan saya satu-satunya adalah benar-benar mundur,” kata Dalai Lama dalam konferensi pers di Dharamsala, pusat pemerintahan Tibet di pengasingan.

Dia mengatakan, rakyat Tibet dan China harus hidup berdampingan. Dalai Lama meminta rakyatnya untuk tidak menggunakan kekerasan. ”Kita harus membangun hubungan baik dengan China. Kita tidak boleh memupuk perasaan anti-China. Jangan gunakan kekerasan. Kekerasan adalah sebuah tindakan bunuh diri. Bahkan, jika 1.000 orang Tibet mengorbankan diri, hal itu tidak banyak membantu,” ujarnya.

Namun, Dalai Lama menyatakan dia tidak memiliki kekuasaan untuk mengatakan kepada rakyat Tibet untuk melakukan ini atau jangan melakukan itu. ”Gerakan ini di luar kendali kami,” katanya.

Kemarin, lebih dari 2.000 warga Tibet berdatangan dari seluruh penjuru timur laut India dan menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelidiki laporan pembunuhan demonstran di Tibet. Dipimpin ratusan biksu, mereka melambai-lambaikan bendera Tibet dan berjalan sepanjang jalan Siliguri sambil meneriakkan slogan, ”Kami ingin keadilan, kami ingin kebebasan.”

Dalai Lama menyatakan membuka diri jika China akan menyelidiki pemerintah di pengasingannya di India yang dituding mendalangi protes di Tibet. ”Silakan datang ke sini dan selidiki faktanya. Mereka boleh memeriksa perasaan saya, urine saya, tempat duduk saya, semuanya,” ujarnya sambil tertawa.

Sebelumnya, Perdana Menteri China Wen Jiabao menuduh Dalai Lama mendalangi kerusuhan di Tibet yang mengakibatkan puluhan orang tewas. ”Ada fakta yang jelas dan sejumlah bukti bahwa insiden ini diatur, direncanakan, didalangi, dan dihasut kelompok Dalai Lama,” ujarnya.

Wen mengatakan, pemrotes bermaksud menghasut untuk menyabotase Olimpiade Beijing guna mencapai tujuan mereka yang tersembunyi.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang bahkan mengatakan bahwa Dalai Lama harus dibawa ke pengadilan. ”Sebenarnya yang harus dikhawatirkan dan ditanyakan komunitas internasional adalah peran dan fungsi apa yang dimainkan Dalai Lama dalam insiden kekerasan kriminal ini. Seseorang yang harus diadili dan diselidiki adalah Dalai Lama sendiri,” kata Qin.

Protes di Lhasa, ibu kota Tibet, dimulai pada 10 Maret untuk memperingati 49 tahun pemberontakan terhadap China yang gagal dan menyebabkan Dalai Lama harus mengungsi ke luar negeri. Protes damai itu memuncak pada kerusuhan hari Jumat pekan lalu yang menyebabkan puluhan orang tewas.

Pemerintah Tibet di pengasingan menyatakan, 19 warga Tibet tewas tertembak saat menggelar protes di Provinsi Gansu, China, Selasa. Jumlah total pemrotes yang tewas versi pemerintah di pengasingan kini mencapai 99 orang.

”(Protes) ini terjadi di luar Lhasa. Sebanyak 19 orang tewas di Machu di Provinsi Gansu. Ada protes di Machu pagi ini (Selasa) dan polisi menembaki mereka,” kata Thubten Samphel, juru bicara Pemerintah Tibet di pengasingan.

Seruan boikot

Di Taiwan, kandidat presiden unggulan, Ma Ying-jeou, mengatakan akan mempertimbangkan boikot jika terpilih pada pemilihan umum hari Sabtu (22/3). ”Jika China terus menekan rakyat Tibet dan situasi di Tibet semakin buruk, saya mempertimbangkan untuk tidak mengirimkan kontingen ke Olimpiade Beijing 2008,” katanya.

Negara-negara Barat telah menyerukan agar Beijing menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan. Presiden Parlemen Eropa Hans-Gert Poettering, Selasa di Berlin, mengatakan, para pejabat yang berencana menghadiri Olimpiade Beijing harus mempertimbangkan untuk tidak hadir jika sikap keras China berlanjut.

”Seseorang harus mengatakan kepada China, jika represi macam ini terus berlangsung, para pemimpin yang akan menghadiri pembukaan Olimpiade Beijing bisa mempertimbangkan apakah kehadiran itu adalah langkah yang bertanggung jawab,” katanya kepada sebuah radio Jerman.

Poettering menambahkan, jika pesta olahraga di ibu kota China itu ingin sukses, represi dan larangan kebebasan berekspresi harus dihentikan. ”Kami berharap otoritas China bisa menyampaikan pesan bahwa hak asasi manusia, demokrasi, dan aktivis hak-hak sipil tidak boleh dituntut,” ujarnya.

Namun, Presiden Komite Olimpiade Internasional Jacques Rogge, Senin di Trinidad, mengatakan belum ada seruan dari negara-negara untuk memboikot Olimpiade Beijing.

Tony Kevin, analis kebijakan luar negeri pada Australian National University (ANU) mengatakan, reaksi bisu komunitas internasional telah diperkirakan mengingat kepentingan strategis mereka terhadap ekonomi China. ”China tunduk pada standar hak asasi manusia yang berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS/FRO)

Tuesday, March 18, 2008

Perkembangan Baru di Malaysia

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:18 WIB

AJ Susmana

Berakhirnya perang dingin yang mencekam umat manusia karena dibayangi perang nuklir yang mengerikan membawa perubahan isu global dan tata cara pergaulan baru di bumi ini. Demokratisasi dan kesejahteraan rakyat menjadi kunci dalam proses ini.

Tak hanya Indonesia, Malaysia—negara tetangga dan masih serumpun dengan kita—pun tampak mengalami perkembangan baru dalam situasi politik. Demokrasi dan antidiskriminasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya menjadi nilai baru.

Titik tolak perubahan itu jelas ditunjukkan dalam pemilu tahun ini yang membuat dominasi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Barisan Nasional mulai goyah dan isu-isu yang menuntut penghapusan UU Diskriminasi kian menguat.

Hingga saat ini, Malaysia masih menjalankan politik diskriminasi berdasarkan etnis dalam mengatur tata pergaulan politik warga negaranya. Untuk kebijakan ini, Pemerintah Malaysia yang selama ini dikuasai UMNO dan Barisan Nasional memprioritaskan etnis Melayu, terutama dalam hal memperoleh proyek pemerintah, peluang pekerjaan, kuliah, dan kredit perbankan (Kompas, 12/3/2008).

Gerilya

Selain itu, Pemerintah Kerajaan Malaysia masih mempunyai beban politik masa lalu yang mau tak mau menjadi isu penting dalam proses perubahan politik di Malaysia. Beberapa tokoh Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) dan Partai Komunis Malaya (PKM) yang notabene terlibat dalam proses perjuangan kemerdekaan Malaysia, yang selama ini disingkirkan dari peta politik Malaysia, mulai menjadi perhatian khalayak umum.

Sebagaimana kita ketahui, Inggris kembali menguasai Semenanjung Melayu pascakekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Inggris mulai memberlakukan undang-undang darurat untuk menghancurkan gerakan dan organisasi pendukung kemerdekaan Malaya.

Di bawah undang-undang darurat inilah PKMM dan PKM yang menuntut hengkangnya kolonialisme Inggris dan menuntut kemerdekaan penuh ditolak keberadaannya. Para anggota dan pendukung kedua partai ini pun ditangkapi. Akibatnya, perang gerilya menghadapi kolonialisme Inggris digalakkan. Sebanyak 400.000 tentara commonwealth dikerahkan untuk menumpas pemberontakan ini.

Diperkirakan sekitar 5.000 gerilya PKM meninggal dalam perang ini dan sekitar 200 dihukum mati dengan cara digantung. Sampai pada Proklamasi Kemerdekaan Malaysia 31 Agustus 1957, Undang-Undang Darurat Inggris tetap dipertahankan dan PKM tetap melanjutkan perang gerilya sampai pada Persetujuan Damai tiga pihak: Pemerintahan Kerajaan Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand tahun 1989. Hal ini membuat PKM menghentikan perang gerilya dan menghancurkan sendiri senjata mereka dan hidup dalam suaka politik di desa-desa di bagian selatan Thailand, yang kini disebut Kampung Perdamaian PKM.

Antikomunisme

Hingga kini, para mantan prajurit gerilya PKM itu belum bisa kembali ke Malaysia karena masih dipertahankannya kebijakan antikomunisme itu. Meski demikian, beberapa mantan tokoh PKM seperti Shamsiah Fakeh sudah boleh kembali ke Malaysia.

Semua cerita sejarah kemerdekaan Malaysia yang berbeda dari versi resmi pemerintah kini dapat diketahui generasi muda Malaysia melalui memoar-memoar perjuangan yang mulai diterbitkan. Beberapa bisa disebutkan: Memoir Shamsiah Fakeh: Dari AWAS ke Rejimen ke-10; Abu Samah, Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan; biografi Chin Peng: My side of History, dan Life As the River Flows – Women’s Oral History on the Malayan struggle for Independence, yang disusun Agnes Khoo dan kini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Hasta Mitra.

Munculnya memoar-memoar perjuangan itu setidaknya telah memberikan basis historis dan cara pandang baru dalam membangun kebangsaan dan negara Malaysia modern saat ini. Isu kebangsaan seperti bagaimana seharusnya Malaysia membangun masa depan yang sejahtera di bawah tata pergaulan baru pascaberakhirnya perang dingin tanpa dibayangi kengerian masa lalu mulai dikedepankan.

Itulah medan sekaligus perkembangan baru dalam pertarungan politik di Malaysia kini. Kemenangan Koalisi Oposisi Malaysia yang terdiri dari DAP, PKR, dan PAS di lima negara bagian Malaysia saat ini tentu akibat dari dikedepankannya isu demokrasi, kesejahteraan rakyat, antidiskriminasi, dan menyikapi tata pergaulan baru pascaberakhirnya perang dingin. Tarik ulur dalam menyikapi isu-isu inilah yang akan menjadi penentu kemenangan dalam pertarungan politik di Malaysia di masa datang.

AJ Susmana Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta

China Bantah Keras Tudingan

Jumlah Korban Kerusuhan Tibet Meningkat
, Kecaman Dunia Berlanjut
Selasa, 18 Maret 2008 | 00:28 WIB

Beijing, Senin - China menghadapi meningkatnya tekanan dunia mengenai Tibet, Senin (17/3), di tengah klaim warga Tibet di pengasingan bahwa ratusan orang mungkin telah tewas dalam tindakan keras Pemerintah China terhadap demonstran di Tibet. Beijing membantah telah menggunakan kekerasan.

Dalam penjelasan resmi pertama mengenai kerusuhan di ibu kota Tibet, Lhasa, China mempersalahkan para demonstran yang memprotes Pemerintah China. Kasus itu kemudian berkembang menjadi mimpi buruk bagi humas Beijing menjelang Olimpiade.

China mengatakan telah menahan diri menghadapi protes- protes yang menjadi kerusuhan. China menuduh hal itu didalangi para pengikut Dalai Lama yang berusaha menghancurkan Olimpiade pada Agustus 2008. ”Mereka membakar atau memenggal sampai tewas 13 penduduk sipil yang tak bersalah,” kata Gubernur Tibet Qiangba Puncog di Beijing. Ia menambahkan, jumlah korban tewas naik menjadi 16 orang dan puluhan orang lainnya cedera.

Ditambahkan, pasukan China tidak melepas tembakan kepada demonstran. ”Selama protes itu (pasukan keamanan) tidak membawa atau menggunakan senjata yang mematikan,” ujar Qiangba.

Pemerintah Tibet di pengasingan, di India, mengatakan, sekitar 100 orang dan kemungkinan ”ratusan” orang telah tewas dalam tindakan keras di Lhasa dan di seluruh Tibet.

Pernyataan Qiangba juga bertentangan dengan cerita banyak saksi mata dari orang China lokal dan turis asing di Lhasa bahwa mereka melihat dan mendengar bunyi tembakan berulang kali pada hari Jumat lalu, hari protes terbesar, dan pada akhir pekan.

Walau Gubernur Tibet mengatakan tidak digunakan senjata api terhadap para demonstran di Lhasa, pasukan dikerahkan ke daerah-daerah sekitarnya untuk meningkatkan kontrol.

Otoritas China di Tibet juga telah meminta para demonstran menyerahkan diri.

Berundinglah

Tekanan internasional kepada China terus meningkat. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengimbau Beijing untuk membuka pembicaraan dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang kini dalam pengasingan di Dharamsala, India.

”Kami telah mendesak China selama beberapa tahun untuk mencari cara agar bisa berunding dengan Dalai Lama,” kata Rice kepada wartawan dalam perjalanan menuju Moskwa, Rusia. ”Saya berharap mereka masih menemukan cara untuk melakukan itu.”

India juga mengimbau tetangganya untuk mencari solusi damai pada kerusuhan itu. Seorang pejabat tinggi Inggris mengatakan, China telah mengambil tindakan berisiko dengan merusak citranya sebagai tuan rumah Olimpiade di Beijing kalau masalah di Tibet memuncak.

Namun, Rusia berharap China akan melakukan apa yang diperlukan untuk mengurangi tindakan melanggar hukum.

Departemen Luar Negeri Rusia dalam pernyataannya mengatakan, hubungan dengan Dalai Lama merupakan ”urusan dalam negeri” bagi China dan ia mengkritik upaya untuk politisasi Olimpiade Beijing.

Gubernur Qiangba Puncog mengatakan, demonstrasi-demonstrasi itu dipicu para pendukung Dalai Lama. ”Kali ini sekelompok kecil separatis dan unsur-unsur pelanggar hukum melakukan tindakan ekstrem dengan tujuan membangkitkan lebih banyak publisitas. Ini bertujuan untuk merusak stabilitas menjelang Olimpiade, dan mengacaukan keadaan yang sudah stabil selama lebih dari 18 tahun,” katanya.

Di Lhasa, keberadaan pasukan keamanan tampak mencolok untuk menjamin tidak terulangnya kekerasan hari Jumat.

Pihak berwenang China telah menetapkan tenggat bagi warga Tibet yang terlibat kerusuhan untuk menyerahkan diri, yaitu Senin tengah malam. Pihak yang memberikan perlindungan akan dihukum. (AFP/Reuters/AP/DI)

Malaysia

Anwar Dekati Tokoh-tokoh Properubahan
Selasa, 18 Maret 2008 | 00:30 WIB

Kuala Lumpur, Senin - Pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, mengungkapkan telah berbicara dengan beberapa anggota koalisi parlemen yang mendukung perubahan. ”Masyarakat menyambut dan menghargai saya,” ujarnya, Senin (17/3) di Kuala Lumpur.

Anwar menambahkan, pembicaraan itu bertujuan meyakinkan tokoh-tokoh tersebut bahwa dukungan mereka tidak akan bisa dibeli. ”Jika Anda berharap bisa menyerah dengan dibayar, Anda salah memilih partai,” ujarnya. Ia mengatakan akan menyambut anggota koalisi parlemen yang ingin bergabung asalkan sesuai dengan agendanya.

Anwar memastikan dia sudah meneliti dukungan dari koalisi parlemen di Malaysia Timur di Pulau Kalimantan yang sangat representatif sebagai sebuah kekuatan yang bisa memengaruhi pemerintah jika terjadi pergantian.

Barisan Nasional mendapatkan 140 perwakilannya di parlemen dari 222 kursi di parlemen pada pemilu 8 Maret lalu. Aliansi oposisi mendapatkan 82 kursi dari sebelumnya yang hanya mencapai 19 kursi. Mereka juga mengklaim mendapat tambahan dukungan dari empat negara bagian.

Senin kemarin, oposisi bersumpah telah mendapat kekuatan dan mengontrol lima negara bagian, termasuk Kelantan yang dikuasai Partai Islam PAS. Barisan Nasional sendiri masih berjuang untuk menghimpun kekuatan di Kelantan.

Oposisi seharusnya menang

Aktivis reformasi pemilu Malaysia meminta penyidikan pelaksanaan pemilu tanggal 8 Maret lalu. Menurut mereka, oposisi seharusnya bisa menang pemilu jika pemungutan suara dilakukan dengan jujur dan bersih.

Dalam pemilu koalisi Barisan Nasional tidak mampu meraih mayoritas dua pertiga suara pada pemilu parlemen 2008.

”Kami meminta diadakannya investigasi proses pemilihan umum,” kata Pemimpin Coalition for Clean and Fair Elections (Bersih) Sivarasa Rasiah. ”Bukan karena oposisi meraih kemenangan besar, pemilu kemudian diartikan berlangsung bersih dan jujur,” katanya.

Bersih mengklaim ada kecurangan pada pemilu yang lalu. ”Kami seharusnya menang jika pemilu dilakukan tanpa kecurangan. Untuk memenangi 30 kursi lagi, kami hanya membutuhkan 56.000 suara,” kata Sivarasa, anggota Partai Keadilan Rakyat, yang mendapat kursi di parlemen.

Pengawas Hak Asasi Manusia yang berbasis di New York mengungkapkan, pemilu Malaysia selanjutnya akan tetap diragukan. Akan terus berkembang isu dan tuduhan bahwa pemerintah memberangus oposisi dan memanipulasi proses pemilu.

Saat ini Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi berjuang untuk kehidupan politiknya sendiri sebagai dampak kegagalan partainya pada pemilu lalu. Badawi sendiri telah menolak permintaan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri. (AFP/OTW)

Khatami Tentang Dialog Peradaban

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Mohammad Khatami, sang reformis, kelahiran 29 September 1943 di Ardakan, Provinsi Yazd, jauh sebelum terpilih jadi presiden Iran untuk dua periode (1997-2001/2001-2995) dikenal sebagai seorang pemikir kontemplatif. Namanya telah melambung tinggi di dunia akademik global, sekalipun sebagai presiden dianggap kurang berhasil. Bagaimana mau berhasil, jika kekuasaannya dibatasi oleh sistem demokrasi peralihan, jika bukan demokrasi semu.

Seorang presiden Iran tak punya otoritas legal atas berbagai lembaga negara dan aparat keamanan: polisi, tentara, pengawal revolusioner, dan lain-lain; juga tidak atas radio negara, peradilan, penjara, dan sebagainya. Dalam sistem yang semacam ini, akan sangat sulit bagi seorang presiden untuk menjalankan mesin kekuasaannya secara efektif dan berdaya jangkau jauh. Di atas presiden masih bersemayam supreme leader (pemimpin tertinggi): Ali Khamenei yang punya hak kata putus. Itulah sebabnya Khatami tidak bisa memenuhi janjinya saat kampanye untuk memberi izin pendirian sebuah masjid untuk non-Syiah di Tehran, karena pemimpin tertinggi tidak memberi lampu hijau.

Terlepas dari itu, Khatami adalah seorang pembicara yang memukau melalui lensa filosofis yang artikulat. Jika Samuel P Huntington sejak 1993 melontarkan gagasan "benturan peradaban" yang menghebohkan dunia itu, Khatami membantahnya dengan menawarkan solusi "dialog peradaban" di forum PBB dan di fora bergengsi lainnya. Gagasannya mendapat sambutan luas dari berbagai kalangan, karena disampaikan secara santun, mendalam, dan ditinjau dari banyak dimensi. Salah satu kumpulan pemikirannya diterbitkan Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, 2003, dua tahun sebelum ia melepaskan jabatan kepresidenannya untuk digantikan oleh Mahmoud Ahmadinejad, figur yang lebih dekat dengan kelompok garis keras, mantan wali kota Tehran.

Bagi Khatami, jika dunia mau dijadikan kawasan yang adil, dialog peradaban harus dilakukan dalam posisi setara antara Barat dan Timur. Pendekatan kaum orientalis terhadap Timur, khususnya Islam, bukan dalam bingkai dialog, tetapi Timur telah dijadikan sasaran kajian Barat yang merasa dirinya superior. Ujungnya adalah penaklukan Timur oleh Barat dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme yang sangat menyengsarakan rakyat jajahan dalam tempo yang lama. Khatami berdalil: "Dialog antara peradaban memerlukan kesediaan mendengarkan kepada dan mau mendengar peradaban dan kultur lain, dan pentingnya mendengarkan pihak lain sama sekali tidak kurang nilainya dari berbicara terhadap pihak lain."

Khatami juga mengkritik perkembangan Renaisans yang dinilainya sudah salah arah. Semula, katanya, Renaisans bukan untuk membangkitkan kembali kultur Yunani klasik, tetapi untuk merevitalisasi agama dengan menyuntikkan kepadanya sebuah bahasa baru dan gagasan segar. Dengan bahasa yang baru, penganut agama tidak boleh membelakangi dunia, tetapi harus menghadapinya.

Tetapi karena sudah salah arah, Renaisans telah menyimpang dari tujuan semula. Pembukaan dunia malah berubah menjadi penaklukan dan penundukan yang kejam. Bukan saja alam yang ditaklukkan, apinya kemudian juga menyebar untuk membakar masyarakat manusia. Akibatnya kemudian, berlakulah dominasi manusia terhadap alam dan ilmu-ilmu kealaman, terhadap manusia dan kemanusiaan. Eropa sendiri telah menjadi mangsa karena terlalu bertumpu pada rasionalitas, melalui buah pemikiran para pemikir dan filosuf mereka.

Di sinilah perlunya dialog dengan Timur yang dapat menyediakan prinsip keseimbangan dan saling pengertian. Timur memanggil Eropa dan Amerika untuk memberi tekanan lebih atas keseimbangan, ketenangan, dan kontemplasi dalam perbuatan mereka. Dengan demikian, memberikan sumbangan kepada tegaknya perdamaian, keamanan, dan keadilan di muka bumi. Pertanyaan kita adalah: apakah Barat dalam suasana mental yang masih congkak seperti sekarang ini punya telinga kearifan untuk mendengar Timur yang pernah dijajahnya?

Jika Barat belum juga punya telinga untuk mendengar tuturan orang lain, di mata Khatami, yang berlaku bukan dialog, tetapi monolog. Dalam pada itu, Khatami juga mengimbau pihak Timur, khususnya umat Islam, agar mau membuka mata dan hati untuk mengapresiasi capaian-capaian Barat yang positif untuk membangun jembatan dialogis, demi tegaknya sebuah keseimbangan antara peradaban. Kesimpulan kita adalah; Barat dan Timur harus saling menghargai, dan watak Barat yang mau menang sendiri dan angkuh harus dibenamkan ke bawah debu sejarah; dunia sudah berubah!

Monday, March 17, 2008

Tibet

Batin Warga yang Tak Bisa Ditaklukkan oleh China
Senin, 17 Maret 2008 | 00:32 WIB

Dialog antara warga Tibet dan China harus dilakukan. Demikianlah pesan utama komunitas internasional kepada China, yang di mata warga Tibet adalah ”penjajah”.

Pesan itu juga disampaikan Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid di Banjarmasin, Minggu (16/3). ”Pemerintah China seharusnya mengedepankan jalur diplomasi dalam menyikapi aspirasi masyarakat Tibet,” kata Yenny.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga menilai tindakan keras Pemerintah China terhadap demonstran di Tibet, yang menuntut pemisahan diri, bukan hal baru. Para pemimpin China sejak dulu selalu takut jika Tibet atau bagian wilayah China lain akan memisahkan diri.

Bisakah dialog dilakukan? Beijing menyatakan bahwa secara historis Tibet adalah bagian dari China. Sebaliknya, kebanyakan warga berdarah Tibet yakin bahwa Tibet tak pernah menjadi bagian China selama berabad-abad. Bahkan di dalam benak warga Tibet, mereka selalu merdeka dari China walau secara de facto kini berada di bawah China. Tibet, bisa disetarakan dengan Timor Leste, sejak diduduki Indonesia pada tahun 1975 hingga merdeka, di mana sebagian rakyat Rimor Leste tak merasa menyatu dengan RI.

Hal terbaru, penambah kebencian pada China di Tibet, sebagaimana dinyatakan Dalai Lama, adalah genosida budaya. Ini merujuk pada aksi Pemerintah China yang mendorong masukkan etnis Han, dari China bagian lain, ke Tibet. Pemusnahan budaya Tibet sedang berlangsung. Menurut juru bicara International Campaign for Tibet, Kate Saunders, hal ini turut memicu protes di Lhasa, ibu kota Tibet.

Etnis Tibet juga makin terpinggirkan dari deru pembangunan ekonomi di Tibet. Dengan sikap keras China dan sikap warga Tibet yang selalu merasa bukan bagian dari China, permasalahan Tibet kini berkembang makin kompleks. Mungkin hanya waktu yang akan bisa menyelesaikan kompleksitas itu. (REUTERS/AP/AFP/MZW/MON)

Pemilu Iran

Konservatif Tetap Kuasai Parlemen
Senin, 17 Maret 2008 | 00:35 WIB

Teheran, Minggu - Kelompok konservatif Iran hari Minggu tetap menguasai parlemen berdasarkan hasil awal pemilu. Kaum reformis memperlihatkan hasil membaik setelah menderita veto prapemilu.

Pihak konservatif diperkirakan akan mendapatkan 71 persen kursi, menurut kementerian dalam negeri, dalam sebuah pemilu yang menurut Uni Eropa ”tidak bebas dan tidak adil” karena banyaknya diskualifikasi terhadap kandidat reformis.

Masih harus dilihat bagaimana dukungan parlemen yang baru terhadap Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang harus mencalonkan diri kembali tahun depan, sementara rakyat tidak puas atas tingginya inflasi Iran.

”Rakyat kembali telah menyerahkan parlemen pada kaum Prinsipil,” kata surat kabar garis keras Kayhan, menggunakan nama yang diberikan kaum konservatif Iran pada diri mereka untuk menekankan kesetiaan mereka pada Revolusi Islam 1979.

Hasil akhir

Indikasi awal dari hasil pemilu untuk Teheran—yang memilih 30 anggota parlemen—memperlihatkan bahwa kandidat konservatif mengambil 14 kursi pertama tanpa perlu putaran kedua.

Namun, kaum reformis menganggap perolehan mereka ”sangat baik” dalam situasi ratusan kandidat terbaik mereka, termasuk anggota-anggota parlemen yang sekarang masih menjabat, didiskualifikasi oleh badan-badan garis keras karena dianggap tidak cukup setia pada nilai-nilai revolusioner.

Menurut TV pemerintah, kelompok konservatif telah memenangi 120 kursi dari 290 kursi. Kementerian Dalam Negeri Iran yang mengawasi pemilu hari Jumat tersebut mengatakan bahwa hasil akhir baru keluar paling cepat hari Senin (17/3). (AFP/Reuters/DI)

5 Tahun Pascainvasi, AS Didesak Keluar dari Irak

Kehidupan Masyarakat Irak Tak Kunjung Berubah


EPA/JEON HEON-KYUN / Kompas Images
Demonstran Korea Selatan di Seoul, Minggu (16/3), membawa poster dengan tulisan yang secara im- plisit meminta Presiden AS George Walker Bush memahami perdamaian. Protes massal soal invasi Irak berlangsung di berbagai negara menjelang lima tahun invasi Irak oleh AS, yang dimulai 20 Maret 2003.
Senin, 17 Maret 2008 | 00:33 WIB

Los Angeles, sabtu - Sudah waktunya untuk AS dan koalisi pasukan keamanan internasional keluar dari Irak. Anjuran sekaligus desakan itu kembali muncul dari puluhan ribu orang yang menentang perang Irak yang berunjuk rasa di wilayah turis Hollywood Boulevard, Sabtu (15/3). Mereka kembali menuntut agar perang itu dihentikan.

Selain di AS, gelombang protes yang sama juga digelar di London. Gelombang protes diselenggarakan kelompok antiperang untuk memperingati invasi pasukan AS dan pasukan asing yang lain ke Irak pada 20 Maret 2003. Gelombang protes yang sama juga terjadi di beberapa negara Eropa dan Kanada serta diikuti oleh ribuan orang. Veteran Perang Vietnam, Ron Kovic, yang ikut protes dengan kursi roda mengaku sedih mengingat rakyat Irak dan tentara yang menjadi korban.

”Kita sudah berperang selama lima tahun. Sekarang ini kita terancam resesi. Jutaan, bahkan miliaran dollar, uang kita digunakan untuk perang yang kita tentang,” kata seorang peserta aksi protes.

Anjuran dan desakan sama juga datang dari London. Veteran dan mantan anggota parlemen di Partai Buruh, Tony Benn, mengakui keterlibatan pasukan Inggris di Irak itu juga telah menciptakan kehancuran. Karena ”kesalahan” Inggris untuk berperang di Irak dan ikut-ikutan AS, anggota Parlemen Eropa, Caroline Lucas, sekaligus menuntut supaya mantan Perdana Menteri Tony Blair dan PM Gordon Brown dihukum dengan dakwaan kejahatan perang.

”Kesalahan” yang dimaksud itu semata-mata karena telah mengikuti dan memberi dukungan kepada Presiden AS George W Bush. Padahal tuduhan awal Bush yang menuding Irak memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Lima tahun berlalu. Kini di Irak sudah ada pemerintah baru. Namun, kondisi keamanan di Irak tidak berubah. Gejolak kekerasan masih tetap saja tinggi dan situasi politik dan ekonomi masih belum berkembang.

Meski gejolak kekerasan Irak menurun selama beberapa bulan terakhir ini, militer AS mengaku para pemimpin di Irak tidak kunjung berhasil mempersatukan ide untuk menyelesaikan perbedaan politik di antara setiap kelompok. ”Memenangi peperangan itu mudah, tetapi meraih kesamaan pandangan politik itu yang sulit. Kini sulit bagi AS untuk memperbaiki kesalahannya dulu,” kata Direktur Studi Keamanan di Pusat Penelitian Dubai, Mustafa Alani.

Tak berubah

Akibat invasi AS yang berlangsung selama lima tahun, puluhan ribu warga Irak menjadi korban. Data situs independen bernama Iraqbodycount.org memperkirakan korban sipil yang tewas mencapai 90.000 orang. Selain itu, ada sekitar 4.000 tentara yang tewas. Meski AS mengklaim meraih kemenangan, hingga kini tentara AS dan tentara koalisi kerap menjadi sasaran serangan roket, bom, dan granat dari kelompok bersenjata.

Selain sektor keamanan, sektor ekonomi Irak juga tidak menunjukkan perkembangan positif. Situasi ekonomi masih parah. Tingkat pengangguran meningkat karena tak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Produksi minyak yang menjadi tumpuan harapan rakyat Irak sulit diharapkan. Persoalan minyak justru menjadi sumber konflik internal di antara Sunni, Syiah, dan Kurdi.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Irak masih dirasa tak membaik. Bahkan sebagian rakyat Irak justru menilai kehidupan mereka lebih baik ketika rezim mendiang Presiden Irak Saddam Hussein. Fasilitas pelayanan umum paling dasar, seperti air dan listrik, saja masih sulit terpenuhi meski telah ada puluhan, bahkan ratusan, proyek khusus pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Irak.

Tidak ada yang peduli dan mau menuruti permintaan Pemerintah Irak agar pengungsi bersedia pulang ke tanah air untuk membantu membangun kembali Irak. Dari sekitar dua juta warga Irak yang sudah mengungsi ke Suriah dan Jordania, hanya 50.000 orang yang bersedia kembali ke Irak. (REUTERS/AFP/AP/LUK)