Monday, April 14, 2008

Kapitalisme Malu-Malu di Suriah

Perubahan dari kebijakan ekonomi pasar sosialis


Minggu, 13 April 2008 | 00:52 WIB

Musthafa Abdul Rahman

Sabtu 29 Maret 2008, malam hari di kota Damascus. Tampak arus manusia keluar masuk Mal Sham City Centre di kawasan elit Kafr Suseh. Itulah wajah gaya hidup golongan kelas menengah Suriah yang biasa jalan-jalan dan berbelanja di Mal mewah. Itu pula yang menggoreskan bahwa kota Damascus dan gaya penduduknya kini mengikuti jejak kota-kota besar lain di Timur Tengah seperti Dubai, Cairo dan Istanbul.

Kesan bahwa kota Damascus lebih tertutup dibanding kota-kota besar lainnya di Timur Tengah, segera sirna pula. Di Damascus dan negeri Suriah, lain politik lain pula ekonomi. Suriah secara politik masih seperti dulu yakni didominasi penuh Partai Sosialis Arab Baath yang amat sentralistis. Namun Suriah secara ekonomi, cenderung membuka diri mengarah pada kapitalisme.

Damascus telah berubah! Itulah kesan yang pasti didapat oleh siapa pun yang berkunjung ke Damascus saat ini. Kehadiran Mal modern, kemacetan lalu lintas dan kualitas kendaraan yang berseleweran di jalan-jalan utama Damascus, menjadi representasi adanya perubahan signifikan di ibu kota Suriah tersebut.

Sham City Center yang terdiri dari empat lantai adalah salah satu Mal mewah di Damascus dan sekaligus menjadi simbol mulai menggeliatnya kapitalisme di Suriah saat ini. Masih ada Mal mewah lain, yakni Town Center, dipinggiran Damascus.

"Di Sham City Centre ini warga Damascus yang berduit menghabiskan uangnya untuk berbelanja atau makan-makan di restoran atau juga sekedar minum-minum di kafe yang tersebar di Mal ini, " ujar Fasiha, seorang pelajar putri asal Singapura yang hampir satu tahun berada belajar bahasa Arab.

”Di Sham City Center ini, banyak produk luar negeri dijual seperti barang-barang asal China, Eropa dan Turki. Tapi harga barang-barang disini cukup mahal, karena itu yang berani belanja disini hanya orang-orang kaya Suriah, ” tambahnya.

Sham City Center memang mewakili potret sebuah perubahan perekonomian Suriah secara signifikan dari sosialisme yang dikontrol penuh negara kearah kapitalisme yang membuka pintu lebar-lebar pada swasta dan investor asing.

Perubahan kearah kapitalisme tersebut juga segera dirasakan jika menyelusuri jalan-jalan di Damascus. Kini tidak lah sulit menemukan mobil produk Jepang model paling akhir di jalan-jalan raya Damascus.

Bahkan mobil rakitan Indonesia seperti Toyota Avanza dan MPV sudah terlihat di sana. Pada jam-jam tertentu, seperti jam masuk kerja dan sekolah atau sebaliknya jam pulang kerja atau sekolah, jalan-jalan Damascus tampak macet.

”Dulu, setiap ada lampu merah di perempatan jalan, jejeran mobil yang menunggu hanya dua atau tiga lapis. Sekarang jejeran mobil yang menunggu bisa puluhan,” ujar seorang staf KBRI Damascus. ”Sekarang di Suriah, sudah bisa kredit mobil. Karena itu jumlah mobil di negeri ini membludak yang bisa dilihat di jalan-jalan yang mulai macet,” tambahnya lagi.

”Suriah sudah tidak seperti dulu lagi. Beberapa tahun lalu, di Suriah hanya ada barang produk dalam negeri saja. Sekarang mudah menemukan barang-barang produk luar negeri, terutama barang produk China,” kata seorang staf KBRI Damascus.

Sejauh pengamatan Kompas, barang produk asal China dari berbagai jenis sudah merambah di pusat-pusat pertokoan di Damascus baik pusat pertokoan tradisional seperti Hamidiyeh maupun pusat pertokoan modern seperti Sham City Centre dan Town Centre.

Sistem ekonomi pasar sosial

Tentu saja Damascus dan negeri Suriah tidak bisa berubah begitu saja. Ada kebijakan politik yang memayungi perubahan kearah kapitalisme itu. Adalah kongres partai Baath Sosialis Arab yang berkuasa di Suriah pada Juni 2005, menetapkan kebijakan penerapan sistem ekonomi pasar sosial (gabungan antara konsep ekonomi sosialis dan sistem ekonomi pasar/liberal kapitalis).

Jauh sebelumnya, yakni sejak tahun 2000, sesungguhnya proses reformasi ekonomi sudah dicoba digulirkan, namun masih penuh kehatian-hatian.

Dengan kata lain, kepemimpinan Presiden Bashar Assad yang dimulai tahun 2000 (ia menggantikan ayahnya, Hafez Assad, yang wafat pada Juni tahun 2000) menetapkan pilihan membuka kran ekonomi tapi dengan pengawasan ketat untuk tetap menjaga stabilitas dan keamanan negara yang masih dalam status perang dengan Israel.

Suriah pun kemudian menggeliat memasuki masa transisi dan transformasi dari sistem ekonomi sentralistis kearah ekonomi pasar terbuka. Berbagai paket kebijakan dan deregulasi dibidang investasi, keuangan dan perbankan, perdagangan dan fleksibilitas usaha swasta lalu diperkenalkan pada awal 2004.

Sejak awal tahun 2004 itu, pemerintah Suriah secara bertahap mengizinkan bank-bank swasta beroperasi. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi Suriah selama tahun 2006 mencapai 5 persen , Tahun 2007 naik menjadi 5,2 persen dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta) pertahun. Laju inflasi 11 persen dan angka pengangguran 9 persen.

Sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS sejak tahun 2005 tidak menjadi kendala berarti. Suriah memiliki struktur ekonomi berbasis pada sumber alam (perminyakan) dengan produksi 400.000 barrel per hari. Produksi di sektor pertanian seperti kapas, gandum, minyak zaitun dan buah-buahan.

Sektor pertanian telah menjamin swasembada pangan nasional dengan konstribusi 25 persen dari GDP dan menyerap 30 persen dari total angkatan kerja. Produksi pertanian khususnya Gandum yang mencapai 5 juta ton per tahun mampu menciptakan ketahanan pangan di kawasan Timur Tengah.

Sedangkan sektor pariwisata menjadi sektor pendukung dengan kontribusi 1,8 miliar dollar AS dan tingkat kunjungan 3,4 juta wisatawan per tahun.

Kebijakan ekonomi Suriah juga memacu melonjaknya arus masuk investasi asing, terutama dari negara-negara Arab dengan total nilai 7 miliar dollar AS untuk 550 proyek dalam berbagai kegiatan bisnis, infrastruktur dan sektor pariwisata.

Nilai investasi itu naik dari tahun 2004 yang hanya 4 miliar dollar AS. Saat ini, 70 persen dari nilai investasi Suriah dari investor lokal, 24 persen dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen dari negara nonArab.

Di sektor perdagangan luar negeri, Suriah tetap mengandalkan negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Turki sebagai mitra dagang tradisional utama. Suriah juga menjalin hubungan dagang cukup kuat dengan Uni Eropa, khususnya Jerman, Italia, Perancis dan Inggris.

Hubungan dagang Suriah dengan Rusia dan negara Eropa Timur mengalami perkembangan pesat, terutama setelah Rusia menerapkan elemen preferensial dan pengurangan bea masuk untuk produk Suriah ke Rusia.

Kebijakan ekonomi Suriah yang mendekatkan diri ke Asia juga telah memacu transaksi dagang terutama dengan China, Jepang, Indonesia dan Malaysia. Produk-produk impor Suriah mencakup mesin-mesin industri, peralatan transportasi dan komponen kendaraan, tekstil dan garmen. Minyak kelapa sawit dan barang-barang elektronik. Sedangkan produk andalan ekspor Suriah selain minyak mentah adalah kapas, tekstil, Fosfat dan produk pertanian.

Suriah juga telah berhasil menurunkan beban utang luar negeri melalui penjadwalan kembali pembayaran. Pada tahun 2004, Polandia menyetujui Suriah membayar sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Sementara pada awal tahun 2005, Rusia telah membebaskan utang Suriah senilai 13 miliar dollar AS. Republik Ceko dan Slovakia menghapus utang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS melalui sekali pembayaran.

Dengan diterapkannya sanksi embargo terhadap Suriah sejak akhir tahun 2003 oleh AS melalui "Syria Account-ability Act", yang sangat mungkin akan menghambat dan mempersulit integrasi ekonomi nasional dalam perkembangan ekonomi global, maka pada pertengahan Februari 2006, pemerintah Suriah mengambil kebijakan mengubah seluruh transaksi dalam dan luar negeri dari mata uang dollar AS menjadi Euro.

Itulah perjuangan Suriah untuk bisa terus survive disektor ekonomi ditengah sanksi dari AS dan sejumlah negara Barat lain.

No comments: