Thursday, November 29, 2007

Soal Arah Politik Pakistan


Arah perkembangan politik Pakistan belum jelas sekalipun Presiden Pervez Musharraf meletakkan jabatan panglima militer sebagai kompromi politik.

Dengan berat hati, Musharraf hari Rabu 28 November kemarin menyerahkan tongkat komando panglima militer kepada penggantinya, Jenderal Ashfaq Kayani.

Konsentrasi kekuasaan pada tangan Musharraf pun mulai terpecah. Sejak mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 1999, seluruh kekuasaan praktis berada dalam genggaman Jenderal Musharraf.

Penyerahan jabatan panglima dianggap sebagai kompensasi atas jabatan presiden periode kedua yang secara resmi dimulai hari Kamis 29 November ini. Jabatan rangkap presiden dan panglima telah menimbulkan gelombang protes selama ini.

Peletakan jabatan panglima oleh Musharraf memberikan angin segar kepada oposisi, tetapi tidak dengan sendirinya melapangkan jalan bagi transisi menuju demokrasi. Bahaya yang menghadang masih besar.

Tentu saja, dua tokoh oposisi, Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif, menyambut gembira atas penyerahan jabatan panglima oleh Musharraf. Bhutto dan Sharif sedang menjajaki kerja sama untuk melawan kubu Presiden Musharraf dalam pemilihan parlemen, yang dijadwalkan tanggal 8 Januari 2008.

Namun segera terlihat kerepotan yang bakal terjadi di panggung politik negeri berpenduduk 160 juta jiwa itu. Sekiranya kolaborasi oposisi memenangi pemilu, krisis politik akan bertambah karena pemerintahan Musharraf harus berhadapan dengan kekuatan legislatif yang dikuasai oposisi.

Persoalan lain bakal muncul pula tentang kelanggengan kerja sama kubu oposisi. Semua menyadari, Bhutto dan Sharif kini bersatu atas dasar kepentingan jangka pendek untuk menggeser Musharraf. Bukankah Bhutto dan Sharif juga bersaing dan berupaya saling menjatuhkan?

Persaingan politik yang keras dan penuh intrik merupakan ciri perpolitikan di Pakistan. Sulit sekali tercapai kompromi politik. Tarik-menarik kekuatan dan kekuasaan berlangsung keras dan kasar. Sejak merdeka tahun 1947, Pakistan beberapa kali diguncang kudeta, termasuk oleh Musharraf tahun 1990.

Perpecahan di kalangan elite secara langsung berdampak langsung pada friksi di kalangan masyarakat, bahkan sebagian berjalan sendiri-sendiri seperti terlihat dengan bermunculannya kelompok ekstremis dan radikal.

Upaya menghentikan ancaman radikalisme dan ekstremis, termasuk bahaya terorisme, menjadi sulit karena elite politik tidak kompak dan kurang solid.

Kasus Narkoba dan Polisi

Pada saat kita riuh membicarakan kasus Roy Marten, polisi menangkap Ahmad Albar. Keduanya dicokok dalam kasus sama: narkoba.

Kaget? Awalnya ya, seterusnya terenyuh.

Bangsa ini mengidap penyakit. Kita cukup puas dijejali pernyataan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang ibarat gunung es. Sejak 2005 Indonesia masuk dalam tiga besar pasar narkoba dunia, terutama sabu, setelah China dan AS. Sekitar 15.000 orang mati karena kasus narkoba. Sekitar 3,2 juta penyalah guna narkoba.

Kita baru serius memberikan perhatian ketika yang terkena adalah saudara, rekan, atau tetangga. Kaget-terenyuh-serius ketika yang terkena kasus, sebagai penyalah guna bahkan pengedar, adalah figur publik, seperti Roy Marten dan Ahmad Albar. Selebihnya cuek, tidak peduli.

Gejala tidak peduli antara lain terlihat pula dari kurang konsistennya menerapkan aturan hukum. Istilah penyalah guna sebagai korban secara tidak langsung menunjukkan sikap lembek, membenarkan pernyataan klasik Gunnar Myrdal tentang bangsa ini sebagai bangsa lembek.

Proses peradilan di Pengadilan Negeri Tangerang tegas menjatuhkan vonis kasus narkoba, tetapi ketegasan itu tidak diimbangi instansi dan penegak hukum lain di tingkat eksekusi. Keadaan ini diperparah sikap, penyalah guna sebagai aib yang berakibat semakin suburnya penyalahgunaan narkoba.

Narkoba menjadi ladang subur meraup uang. Ketika di negeri ini ada 3,2 juta penyalah guna dan setiap orang menghasilkan Rp 300.000 per hari, misalnya, tidak kurang dari Rp 960 miliar uang belanja untuk narkoba per hari. Kasus-kasus pabrik sabu dan pengedar dengan jumlah triliun rupiah menunjukkan narkoba beraroma bisnis yang dekat dengan urusan kekerasan, sindikat plus mafia.

Aparat kepolisian menjadi ujung tombak menangani segala hal, mulai dari maling ayam, kejahatan ekonomi, sampai terorisme, termasuk narkoba. Kita hargai gebrakan mereka, termasuk pemberantasan judi, terorisme, dan pembalakan liar.

Awalnya Polri terlihat tertatih-tatih dan disikapi skeptis. Kemudian ternyata polisi menunjukkan kemampuan. Sebagai penegak hukum, posisi polisi berbeda dengan yang lain, misalnya jaksa. Polisi adalah penegak hukum yang progresif. Tak ada waktu bagi mereka untuk membuka buku sebelum mengambil keputusan. Dalam hitungan detik keputusan harus diambil.

Benar kata Prof Satjipto Rahardjo. Polisi disebutnya penegak hukum jalanan, jaksa sebagai penegak hukum gedongan. Mereka berada langsung di medan perang.

Kita apresiasi pengungkapan kasus-kasus narkoba. Kejadian-kejadian itu hendaknya mengentakkan perasaan dan perubahan sikap tegas dalam menangani kasus-kasus narkoba; keluar dari sikap cuek terhadap penyakit kronis dan masa depan bangsa ini.

Pakistan


Setelah Melepas Seragam, Lalu Apa?


Pemerintah AS dan Inggris sama-sama menilai tindakan Musharraf melepas seragam sebagai keputusan tepat. Pernyataan serupa juga diungkapkan mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto. Namun, baik AS, Inggris, maupun Bhutto juga sama-sama menilai langkah itu tidaklah cukup. "Kini yang lebih penting itu mencabut status darurat agar pemilu dapat berjalan bebas, jujur, dan adil," kata Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice.

Padahal, melepas seragam yang dipakai sekian lama sehingga seakan-akan menjadi "kulit kedua" tidak mudah bagi Musharraf. Militer bagi Musharraf adalah keluarga yang telah membesarkannya. Karena itu, wajar jika upacara serah terima jabatan berlangsung khidmat dan penuh haru. Namun, yang berlalu biarkan saja berlalu.

Kini setelah MA menyatakan dia sah menjadi presiden, para pengamat menilai Musharraf kembali pusing menjelang pemilu. Pasalnya, Musharraf akan berhadapan dengan dua mantan PM sekaligus, yaitu Bhutto dan Nawaz Sharif.

"Posisi Musharraf sangat lemah. Bisa jadi Musharraf menghadapi parlemen yang terdiri dari kelompok oposisi yang bisa balas dendam," kata pengamat politik Pakistan di lembaga kajian Chatham House, Farsana Shaikh.

Jika parlemen tidak lagi dapat diandalkan, Musharraf mau tidak mau harus meminta bantuan militer. Setidaknya Musharraf masih memiliki pengaruh di militer, apalagi mengingat panglima militer yang baru, Jenderal Ashfaq Kayani, dikenal setia pada Musharraf. Saat menjabat sebagai kepala badan intelijen Pakistan, Kayani dikenal baik dan dihormati oleh AS.

Musharraf kenal Kayani (55) saat masih berpangkat kolonel. Berbagai pengamat berharap Kayani memfokuskan peningkatan kemampuan militer menumpas operasi kelompok perlawanan. Kayani juga diharapkan memperbaiki hubungan antara Musharraf dan para politikus sipil Pakistan. Kayani pernah bekerja di bawah kepemimpinan Bhutto akhir tahun 1980-an. Saat itu Kayani dinilai memiliki hubungan yang baik dengan para pemimpin dan tokoh politik. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Musharraf Sedih Melepas Seragam


Status Darurat Mungkin Dicabut Sebelum Pemilu


rawalpindi, rabu - Untuk memenuhi janjinya, Presiden Pervez Musharraf akhirnya melepas seragam militer, Rabu (28/11). Tidak menjabat sebagai panglima militer, Musharraf akan dilantik menjadi presiden, Kamis. Namun, hal itu dinilai tidak cukup. Oposisi meminta Musharraf tidak lagi terlibat dalam politik.

Mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri, Musharraf akhirnya berjanji akan melepaskan jabatan militernya setelah ia memperoleh kepastian diizinkan menjadi presiden untuk periode yang kedua. Awalnya banyak yang meragukan janji Musharraf. Namun, ketika Musharraf terlihat menyerahkan tongkat komando kepada Jenderal Ashfaq Kiyani pada acara serah terima di markas militer Rawalpindi, rakyat yakin Musharraf serius dengan janjinya.

"Saya tidak akan lagi memakai seragam besok. Setelah 46 tahun memakai seragam, saya harus mengucapkan selamat tinggal pada militer yang selama ini menjadi hidup juga ambisi saya. Saya sangat mencintai instansi ini," kata Musharraf yang "sedih" di depan ratusan tamu undangan yang hadir dalam upacara itu.

Musharraf yang telah berkuasa selama delapan tahun itu awalnya menunjukkan ekspresi datar. Setelah pidato berakhir, Musharraf tampak mengusap hidungnya dengan sapu tangan. Sebelum berpidato, terdengar lagu Auld Lang Syne, lagu perpisahan tradisional Skotlandia mengiringi Musharraf masuk ke lokasi upacara. Setelah Musharraf menyerahkan tongkat komando militer kepada Kiyani, terdengar tepuk tangan hadirin. Seiring alunan lagu-lagu militer, usai pula acara yang berlangsung kurang dari satu jam itu.

Mengenai nasib status darurat, kemungkinan pemerintah segera mencabut status darurat atau sebelum pemilu 8 Januari. Sebelumnya, TV Dawn News mengutip seorang pejabat mengaku, Musharraf akan mencabut status darurat 48 jam mendatang. Lagi pula, kata Qayyum, sebenarnya tidak ada alasan mempertahankan status darurat kecuali untuk menumpas ekstremis.

Turut campur

Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Mayor Jenderal (Purn) Ali Baz, dalam surat tertulis pada Kompas, menandaskan status darurat itu diberlakukan karena ada pihak-pihak yang ikut campur dalam fungsi keseharian pemerintah. Hal ini mengganggu otoritas kewenangan pemerintah. Bahkan ada beberapa anggota Mahkamah Agung bermain politik, termasuk mantan ketua MA. Lagi pula banyak warga merasa senang status darurat berlaku. Mereka tidak lagi khawatir dengan serangan terorisme dan merasa lebih aman. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Dari Kacamata Presiden hingga "Sandwich" ...

Aroma ketegangan, ketergesaan, harapan, dan pesimisme berbaur menjadi satu di Annapolis. Seluruh mata terarah pada konferensi perdamaian Timur Tengah di ibu kota Negara Bagian Maryland, AS, tersebut. Tidak secuil momen pun lepas dari perhatian para delegasi dan media.

Setiap gerakan, tingkah laku, dan tutur kata para peserta konferensi dimaknai sebagai simbol atas sesuatu. Seperti saat Presiden AS George W Bush yang tampil di hadapan media dengan kacamata yang masih bertengger di atas hidungnya, Selasa (27/11) malam waktu setempat.

Sangat jarang Bush tampil di hadapan publik mengenakan kacamata baca. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengatakan, Bush mengenakan kacamata karena tidak ada waktu mencetak pernyataan yang harus dibacanya dengan huruf yang lebih besar.

Media menangkapnya sebagai pertanda ketergesaan yang melingkupi penyelenggaraan konferensi tersebut. Konferensi Annapolis telah diumumkan pada Juli lalu, tetapi kepastian tanggal pelaksanaan baru muncul pekan lalu.

Ketergesaan juga tampak saat perumusan pernyataan bersama sebagai penutup konferensi. Pada menit ke-11, saat Rice bersama koleganya dari Palestina dan Israel tengah bergulat membuat pernyataan bersama, Bush datang dan ikut campur tangan. Seketika, semua perbedaan pendapat hilang dan selesailah rumusan pernyataan bersama Israel-Palestina.

Para delegasi duduk di sekeliling meja persegi di Akademi Angkatan Laut AS. Mereka duduk tepat di bawah tulisan "Jangan pernah menyerah", yang seolah-olah memberi sinyal kepada delegasi untuk ngotot. Rice memberi kesempatan satu per satu delegasi untuk mengungkapkan pikiran mereka.

Momen ironis

Ketegangan mulai terasa saat delegasi dari negara-negara yang bermusuhan saling mengeluarkan pernyataan. Semua mata seolah tidak berkedip saat Menlu Israel Tzipi Livni menghadapi para pemimpin negara Arab dan mendiskusikan perselisihan mereka, terutama saat dia berbicara kepada Wakil Menlu Suriah Faycal Mekdad.

"Tzipi menatap tepat di mata dia (Mekdad) dan Mekdad tidak berpaling. Itu sudah berarti sesuatu," kata anggota senior delegasi Israel kepada AFP.

Tanpa senyum, tetapi juga tanpa pernyataan keras, Livni menghadapi para pemimpin Arab. Dia menyatakan, Israel berharap bisa berdamai dengan Palestina. Ketegangan kembali terasa.

"Sekali-sekali, seseorang melontarkan komentar lucu dan beberapa orang terkikik perlahan, tetapi tidak ada yang berani mengulang lelucon itu," ujarnya.

Beberapa momen cukup berhasil meredakan ketegangan dan dinginnya suasana diplomasi. Seperti dituturkan delegasi Israel itu, ada momen manis yang dinilainya ironis, yaitu saat seorang anggota delegasi Mesir mencomot sepotong sandwich dari meja yang disediakan khusus untuk delegasi Israel.

Kendati Bush dengan dramatis mengumumkan bahwa Israel dan Palestina akan segera menggelar pembicaraan baru, hampir tidak ada tanda-tanda konkret tentang konsesi yang diperoleh pihak mana pun untuk menjamin perdamaian di Timur Tengah. (afp/fro)

Konferensi Hanya Simbol


Dunia Arab Kecewa, tetapi AS Memberi Pujian


Annapolis, Rabu - Amerika Serikat memuji hasil konferensi perdamaian Timur Tengah yang mereka buat. Namun, sejumlah pengamat sama sekali tidak puas dengan konferensi tersebut. Pengamat mengatakan, konferensi itu sekadar simbol dan tidak menyentuh masalah substansial.

Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengatakan, konferensi itu memberi hasil yang sangat signifikan bagi Israel dan Palestina untuk menyepakati perdamaian. Dia mengingatkan bahwa selama tujuh tahun terakhir tidak ada diskusi bermakna yang membicarakan isu-isu kunci dalam konflik Palestina-Israel.

Konferensi yang berlangsung sehari di Annapolis, Maryland, Selasa (27/11), memang tidak menghasilkan pernyataan final. Negara-negara Arab yang terlibat dalam konferensi tersebut juga tidak mendorong proses perdamaian baru. Hasil terpenting konferensi ini hanya berupa kesepakatan Israel-Palestina untuk memulai lagi perundingan dan membuat traktat perdamaian dalam satu tahun.

Sejauh ini, Rusia menyatakan kesediaan untuk menjadi tuan rumah konferensi damai Timur Tengah berikutnya. Hal itu dinyatakan Menlu Rusia Sergei Lavrov.

Menlu Perancis Bernard Kouchner menyambut baik adanya tanda-tanda kemajuan yang dihasilkan konferensi Annapolis. Hanya saja, dia mengingatkan bahwa rakyat sesungguhnya sangat skeptis sebab sudah terlalu banyak upaya untuk menciptakan perdamaian, tetapi perdamaian itu hingga kini belum terwujud.

Normalisasi

Pengamat Timur Tengah pada Institut Perdamaian AS, Scott Lasensky, merasa tidak puas dengan hasil konferensi Annapolis. Dia mengatakan, nilai konferensi itu lebih terletak pada simbol kehadiran negara-negara Arab daripada substansi pertemuan. Dia menyebut, kesepakatan yang dibuat Palestina-Israel pada konferensi itu terlalu samar dan tidak menjelaskan isu yang harus mereka selesaikan tahun depan.

Seorang diplomat Arab, bahkan, secara tegas mengatakan bahwa negara-negara Arab secara umum kecewa dengan hasil konferensi.

"Tidak ada komitmen yang jelas untuk menghormati batas akhir (perundingan), hanya ada komitmen untuk melakukan sejumlah upaya," ujarnya.

Karena konferensi Annapolis belum memberikan hasil nyata, negara-negara Arab menegaskan, normalisasi hubungan dengan Israel belum bisa dilakukan. Pemerintah Suriah mengatakan, normalisasi baru bisa dilakukan jika Israel terlebih dahulu menarik diri dari seluruh tanah Arab yang diduduki tahun 1967.

Salah satu tanah Arab yang diduduki Israel adalah Dataran Tinggi Golan, yang merupakan wilayah Suriah. Di wilayah ini berlaku hukum Israel. Suriah bersedia hadir di Annapolis karena isu Dataran Tinggi Golan menjadi salah satu agenda pertemuan. (AFP/REUTERS/BSW)

Timur Tengah


Dari Oslo ke Annapolis

Trias Kuncahyono


Di hadapan para diplomat dari 40 lebih negara dan sejumlah perwakilan lembaga internasional, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berjabatan tangan disaksikan Presiden AS George W Bush yang berdiri di antara keduanya. Inilah jabatan perdamaian di ruang perundingan.

Peristiwa seperti yang terjadi di Annapolis, Maryland, AS, kemarin itu pernah terjadi 29 tahun silam di Camp David, AS. Di hadapan Presiden AS Jimmy Carter, Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat berdamai, 17 September 1978. Perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir yang isinya, antara lain, pengembalian Gurun Sinai dari Israel kepada Mesir ditandatangani pada tahun 1979.

Empat belas tahun silam, di Oslo, Norwegia, peristiwa itu berulang. Saat itu, 13 September 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjabatan tangan dengan Pemimpin Palestina Yasser Arafat di hadapan Presiden AS Bill Clinton. Hasil dari jabatan tangan itu adalah disepakatinya Deklarasi Prinsip-prinsip.

Dua tahun kemudian, Wye River, Maryland, AS, Presiden AS Bill Clinton kembali menjadi pemrakarsa pertemuan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Pemimpin PLO Yasser Arafat. Keduanya bersepakat untuk melaksanakan kesepakatan politik menyangkut masa depan Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti yang sudah mereka sepakati pada tanggal 28 September 1995.

Saat itu, 1995, kedua pemimpin, PM Israel Yitzhak Rabin dan Pemimpin PLO Yasser Arafat, disaksikan Presiden AS Bill Clinton dan para wakil dari Rusia, Mesir, Yordania, Norwegia, dan Uni Eropa, menandatangani kesepakatan mengenai masa depan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kesepakatan itu dicapai dalam perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Oslo II (karena sebagai kelanjutan Perundingan Oslo) atau Taba (karena dilaksanakan di Taba, Semenanjung Sinai, Mesir).

Lima tahun kemudian di Camp David, kembali dua pemimpin negara bermusuhan itu dipertemukan. Presiden AS Bill Clinton yang memprakarsai pertemuan itu, yaitu antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat. Inilah perundingan terakhir antara Israel-Palestina dalam usaha mencari perdamaian di Timur Tengah.

Perundingan yang dimulai 11 Juli dan berakhir 25 Juli 2000 itu berakhir tanpa ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Ada tiga persoalan penting yang tidak dapat disepakati oleh keduanya. Pertama, menyangkut status Jerusalem. Kedua, berkaitan dengan masalah perbatasan. Dan, ketiga masalah pengungsi. Masalah Jerusalem menjadi masalah yang paling rumit untuk dipecahkan.

Kegagalan Perundingan Camp David 2000 masih berusaha dikejar dengan menggelar perundingan di Taba, Semenanjung Sinai, Mesir, mulai 21 Januari hingga 27 Januari 2001. Israel diwakili Menteri Luar Negeri Shlomo Ben-Ami dan Palestina diwakili Pemimpin PLO Yasser Arafat. Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, tidak bersedia bertemu dengan Arafat.

Upaya untuk menghidupkan proses perdamaian Timur Tengah terus dilakukan. Di Aqaba, Yordania. Presiden AS George W Bush mempertemukan Perdana Menteri Palestina Mahmoud Abbas dengan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Di tempat itu, mereka berusaha mengakhiri konflik yang telah berkali-kali mereka usahakan, tetapi gagal. Kesepakatan dicapai kedua belah pihak untuk merundingkan "status final" persoalan yang ada di antara mereka.

Rangkaian perundingan proses perdamaian Timur Tengah terakhir kali dilaksanakan—sebelum Annapolis—lewat konsep "peta jalan damai" 2002. Rencana perdamaian lewat "peta jalan damai" untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina itu kini disodorkan oleh empat pihak, tidak lagi didominasi oleh AS. Mereka adalah AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB.

Prinsip-prinsip rencana perdamaian lewat "peta jalan damai" itu pertama kali digagas oleh Presiden AS George W Bush dalam pidatonya tanggal 24 Juni 2004. Pada saat itu, ia menyerukan adanya negara Palestina yang independen, yang hidup berdampingan dengan Israel dalam damai. Sebenarnya ini menegaskan gagasan yang sebelumnya pernah muncul, yakni berdirinya dua negara—Israel dan Palestina—yang saling mengakui dan menghormati.

Rencana perdamaian ini belum bisa dilaksanakan secara penuh hingga saat ini, sampai kemudian digelar pertemuan Annapolis.

Terus berulang

Perundingan perdamaian untuk mencari penyelesaian konflik Israel-Palestina seakan menjadi sebuah ritual; sebuah ritual yang diulang-ulang oleh setiap presiden AS. Setiap kali usaha itu dilakukan, setiap kali gagal pula. Kedua belah pihak yang berseteru memberikan andil terhadap kegagalan pelaksanaan setiap kesepakatan atau bahkan kegagalan perundingan damai.

Tentang status Jerusalem, misalnya, yang merupakan isu paling sensitif dan pelik, serangkaian perundingan telah dilakukan kedua belah pihak, tetapi belum memberikan hasil. Bahkan, sudah begitu banyak resolusi yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan masalah ini.

Antara tahun 1967-1989, misalnya, Dewan Keamanan PBB sudah menerbitkan 131 resolusi tentang Jerusalem. Sementara itu, Majelis Umum PBB dalam kurun waktu yang sama telah menerbitkan 429 resolusi. Hal ini memberikan gambaran betapa sulitnya menyelesaikan masalah Jerusalem.

Kegagalan Perundingan Camp David II (2000), yang dilaksanakan tujuh tahun silam, misalnya, ditimpakan kepada pihak Palestina. Dore Gold dalam bukunya The Fight for Jerusalem menulis, Arafat menolak gagasan pembagian Jerusalem sebagai jalan pemecahan konflik. "Saya tidak akan menyetujui kedaulatan Israel atas Jerusalem, baik di wilayah Armenia maupun di Masjid Al Aqsha, baik atas Via Dolorosa maupun atas Gereja Makam Kristus. Mereka dapat menduduki kami dengan menggunakan kekuatan militer karena kami sekarang lemah, tetapi dalam dua tahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun, akan ada seseorang yang akan membebaskan Jerusalem."

Perundingan Camp David 2000 gagal dan meninggalkan tiga persoalan pelik, yaitu Jerusalem, masalah perbatasan, dan masalah pengungsi. Persoalan-persoalan itu akan terus "menghantui" setiap kali perundingan perdamaian dilakukan antara Israel dan Palestina. Dan, persoalan-persoalan itu akan terus menuntut penyelesaikan. Kiranya, masalah tersebut juga muncul di Annapolis ketika begitu banyak negara makin peduli, realistis, dan mendorong terciptanya perdamaian di Timur Tengah.

Perundingan perdamaian terus dilakukan. Setiap kali perundingan berakhir dengan kegagalan, setiap kali pula rasa frustrasi makin menjadi dan melahirkan radikalisasi. Sebab, jabat tangan saja tidak mewakili perdamaian. Dari Oslo ke Annapolis, mereka mencari perdamaian....

Prospek Hubungan RI-Australia


Oleh :Aiyub Mohsin

Dosen FISIP Universitas Nasional


Pemilihan umum di Australia pada 24 November telah menghakhiri masa kepemimpinan John Howard dari koalisi Partai Liberal dan Nasional. Hasil Pemilu telah menunjukkan kemenangan mutlak Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd dengan perolehan 83 kursi dari 150 kursi parlemen yang diperebutkan. Ironisnya, bagi Howard yang sering disebut oleh media massa dan pengamat politik Australia sebagai sheriffnya Amerika Serikat di Pasifik, kursinya di parlemen yang telah didudukinya selama 33 tahun lepas dengan kekalahannya di daerah pemilihan Sydney. Kini Australia memasuki babak baru dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Buruh, khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan utama politik dan hubungan luar negeri.

Di antara politik dan hubungan luar negeri Australia yang segera mendapat prioritas, menurut Kevin Rudd, adalah penarikan 500 personel militer Australia dari Irak, dan menandatangani Protokol Kyoto. Selain itu, sebagai tradisi dan kebijakan umum Partai Buruh yang menganut pendekatan geografis yaitu mengutamakan hubungan baik dengan negara-negara tetangga khususnya dan Asia pada umumnya, kemenangan Rudd akan mempengaruhi hubungan RI-Australia.

Tentu perubahan hubungan dengan Indonesia itu akan mencakup nuansa, cara, dan diharapkan secara substansial kembali mesra sebagaimana tercatat dalam sejarah, jika Australia dikuasai oleh Partai Buruh. Hal sebaliknya terjadi, kalau Australia dikuasai oleh koalisi Partai Liberal-Nasional yang menganut pendekatan kultural. Hubungan RI-Australia selalu saja ada masalah jika pemerintahan Australia dikuasai oleh koalisi Partai Lebral-Nasional. Pendekatan kultural itu lebih mengutamakan hubungan Australia dengan negara dan bangsa nenek moyang orang Australia di Eropa termasuk Amerika Serikat.

Sejarah dan fakta
Hubungan Indonesia-Australia berlangsung dengan mesra, penuh pengertian dan kerja sama sewaktu Australia dikuasai dan dipimpin oleh Partai Buruh dengan tokoh-tokohnya seperti Chifley dan Keating. Semasa Chifley, dukungan Australia kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu besar, sehingga Australia ditunjuk Indonesia duduk dalam Komite Jasa-jasa Baik (Good Offices Committee) PBB. Komite itu dibentuk untuk mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia dan mengusahakan pengakauan atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agusuts 1945.

Begitu juga semasa Keating, Australia menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Asia dan menjadikan Indonesia sebagai tetangga utama Australia. Tampaknya, bagi kedua tokoh itu dan kita harapkan juga mayoritas warga Australia menyadari bahwa sudah menjadi takdir (destiny) kedua negara, Indonesia dan Australia menjadi bertetangga. Pepatah mengungkapkan bahwa kita dapat memilih siapa-siapa yang menjadi teman kita tapi kita tak dapat memilih tetangga ( we can choose our friends but we can't choose our neighbours). Bahkan, menurut tata pergaulan, kalau kita mempunyai tetangga yang ramah, penuh pengertian dan kerja sama itu lebih baik dari saudara dekat yang tinggal jauh dari kita.

Fakta lain menunjukkan, betapa hubungan RI-Australia saling membutuhkan dalam menjalankan roda ekonomi dan pendidikan. Di bidang perdagangan, nilai perdagangan bilateral, pada tahun 2006 telah mencapai 10, 4 miliar dolar Australia. Begitu juga di bidang investasi dan bisnis di mana Australia cukup banyak mendapat kesempatan berinvestasi di Indonesia dengan nilai investasi pada tahun 2006 sebesar 3 miliar dolar Australia yang dilakukan oleh sekitar 400 pengusaha Australia.

Di bidang sosial budaya, sekitar 15 ribu pelajar/mahasiswa Indonesia kini sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan menengah dan tinggi, yang tentu saja memberikan kontribusi, baik secara ekonomi dan budaya kepada masyarakat Australia. Sebaliknya minat dan perhatian dari warga Australia terhadap masalah-masalah sosial, budaya, dan politik Indonesia cukup besar terlihat dari banyaknya kajian-kajian tentang Indonesia di berbagai akademi dan universitas di Australia. Begitu pun kajian-kajian tentang Australia cukup berkembang di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Duta Besar Australia di Jakarta, HE Mr Bill Farmer, kini Australia sedang mensponsori pelatihan manajemen tentang pelestarian warisan budaya dan benda-benda pusaka bagi praktisi/pejabat pemerintahan dan LSM Indonesia melalui the Australian Council of National Trust. Di tingkat pemerintahan, hubungan antara kedua negara semasa pemerintah John Howard tidak selamanya berjalan mulus dikerenakan orientasi pemerintahan Partai Liberal-Nasional banyak berorientasi ke Amerika Serikat dan Eropa.

Namun demikian, Australia hendaknya terus mengingat bahwa Indonesia secara tulus dan terus-menerus mengikutsertakan Australia dalam berbagai kegiatan internasional yang ruang lingkupnya wilayah Asia dan Pasifik seperti pada Forum Tingkat Tinggi Asia Timur ( East Asia Summit) dan Mitra Wicara ASEAN (ASEAN Dialoog Partners). Dengan kembalinya Partai Buruh memimpin Australia, setelah Pemilu tanggal 24 November yang lalu, tentu hubungan antara kedua negara diharapkan mempunyai prospek yang lebih baik dari semasa koalisi Liberal- Nasional piminan John Howard.

Membaca prospek
Dengan memenangkan pemilu, Partai Buruh akan menguasai Pemeritahan Australia. Sudah barang tentu, kita berharap hubungan antara Indonesia dan Australia sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pemerintahan Australia di bawah pimpinan Partai Buruh, masa lalu, akan bertambah mesra, penuh pengertian dan kerja sama.

Harapan itu makin menjadi dekat untuk mewujud dengan pernyataan Kevin Rudd yang sebentar lagi akan menjadi Perdana Menteri Australia. Dalam wawancaranya dengan sebuah surat kabar ternama di mengatakan, "Indonesia amat penting bagi Australia." Kita akan teringat era Perdana Menteri Paul Keating yang dianggap masa keemasan hubungan Indonesia-Australia

Atas kemenangan Partai Buruh, presiden kita, menurut surat kabar-surat kabar nasional, menjadi kepala negera pertama yang mengucapkan selamat kepada Kevin Rudd. Selain itu, kedua pemimpin sepakat untuk terus bekerja sama membangun hubungan RI-Australia secara konstruktif. Namun demikian, prospek hubungan kedua negara masih akan menemui beberapa ganjalan. Masalah tewasnya lima wartawan Australia sewaktu kerusuhan di Balibo Timor Timur dahulu (Balibo Five) yang mana pengadilan Glebe Coroners di negara bagian New South Wales menyalahkan tentara Indonesia penyebab kematian itu menjadi salah satu ganjalan itu.

Isu-isu tentang Papua yang sering dikemukakan oleh beberapa oknum Australia untuk kepentingan politik dan ekonominya serta kemungkinan eksekusi warga Australia yang terlibat jaringan narkoba di Bali, juga potensial mengganggu hubungan keduanya. Mampukah pemimpin kedua negara memanfaatkan momentum sekarang ini dan mengatasi masalah-masalah yang telah ada untuk peningkatan dan perluasan kerja sama yang saling menguntungkan? Waktu jualah yang menjawabnya.

Ikhtisar
- Kemenangan Partai Buruh dalam pemilu di Australia menjadi angin segar bagi Indonesia.
- Sejarah telah menggambarkan bahwa saat Partai Buruh memimpin pemerintahan, hubungan RI-Australia berjalan sangat 'mesra'.
- Setelah menang pemilu, pimpinan Partai Buruh, Kevin Rudd, menjadikan penarikan personel dari Irak dan penandatanganan Protokol Kyoto sebagai program prioritas.
- Kasus Balibo, Papua, dan terpidana narkoba asal Australia di Bali bisa menjadi ganjalan bagi hubungan RI-Australia.

Monday, November 26, 2007

Hamas Kecewa dengan Negara-negara Arab



Gaza City, Minggu - Hamas terkejut dengan keputusan negara-negara Arab untuk hadir dalam konferensi perdamaian Timur Tengah yang diadakan di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat, Selasa besok.

Negara-negara Arab, Jumat (23/11), mengumumkan kesediaan untuk menghadiri konferensi Annapolis. Suriah, yang semula enggan hadir, Minggu (25/11), akhirnya memutuskan akan mengirim wakilnya ke Annapolis.

"Pengumuman yang dikeluarkan negara-negara Arab bahwa mereka akan berpartisipasi di konferensi Annapolis sangat mengejutkan rakyat Palestina. Keikutsertaan itu membuka pintu untuk menormalkan hubungan dengan penjajah Israel," ujar juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri.

Menurut Hamas, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk berunding dengan Israel. Pasalnya, rakyat Palestina masih terpecah belah. Saat ini Hamas menguasai Gaza dan Fatah yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas menguasai Tepi Barat.

Hamas dalam pernyataan tertulisnya menegaskan, Mahmoud Abbas tidak memiliki mandat untuk bernegosiasi dengan Israel. Sebagai catatan, Hamas mengalahkan Fatah secara telak pada pemilu parlemen, Januari 2006. Setelah itu, Hamas membentuk pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniya. Namun, pemerintahan Hamas tidak berjalan efektif karena blokade ekonomi dan politik yang dilakukan Israel serta negara-negara Barat.

Untungkan AS

Sebagian pengamat Arab mengatakan, kehadiran negara-negara Arab dalam konferensi Annapolis sangat menguntungkan AS dan Israel. Pasalnya, tujuan konferensi ini, sesungguhnya, adalah untuk memperbaiki citra pemerintahan George W Bush yang tengah merosot karena Perang Irak.

Selain itu, konferensi ini kemungkinan ditujukan untuk membuat negara-negara Arab yang konservatif tidak kehilangan muka karena tidak berhasil menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Sebagian pengamat juga curiga bahwa tujuan konferensi ini sebenarnya adalah untuk mendorong normalisasi hubungan Arab dan Israel.

Namun, para pengamat yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah berpendapat, para pejabat Arab bersedia hadir karena ada jaminan dari AS dan Israel. "Mereka mendapat jaminan bahwa (PM Israel Ehud) Olmert akan berkomitmen pada (konferensi) Annapolis dan melaksanakan kewajiban berdasarkan peta perdamaian, termasuk membekukan permukiman (Yahudi)," ujar Ezzedin Choukri, direktur program perdamaian Arab-Israel pada Kelompok Krisis Internasional.

Dari Teheran, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Mohamad Ali Hosseini, menilai konferensi Annapolis hanya akan mengikis hak rakyat Palestina. Pasalnya, mediator pertemuan itu, yakni AS, tidak akan bersikap obyektif.

"Pelaksana konferensi ini adalah AS dan pengalaman masa lalu mengingatkan kita bahwa mereka tidak bisa bersikap obyektif dan menjadi mediator yang kredibel. Mereka hanya akan mendukung Israel," ujarnya.

Pernyataan senada disampaikan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dan dikutip kantor berita IRNA. "Konferensi ini, dan apa pun yang dihasilkannya, tidak akan membuahkan hasil jika tidak mengamankan hak-hak rakyat Palestina," katanya. (AP/REUTERS/BSW)

Konferensi Annapolis Tak Berguna


Musthafa Abd Rahman


Konferensi damai Timur Tengah di Annapolis, Maryland, AS, dimulai hari Selasa, 27 November. Rencana dan isi konferensi itu lebih maju dari konferensi sebelumnya. Namun, hasilnya diperkirakan akan nihil.

Hampir 50 negara, termasuk Indonesia; serta lembaga regional dan internasional diundang menghadiri konferensi tersebut. Dalam konteks banyaknya peserta, konferensi damai Annapolis seperti sebuah proyek ambisius. Konferensi Annapolis hanya bisa ditandingi konferensi Madrid tahun 1991. Sasaran konferensi Annapolis lebih maju.

Konferensi Madrid hanya menegaskan kerangka dasar, yaitu resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 242 dan Nomor 338, yakni soal tanah Palestina dengan imbalan perdamaian. Konferensi Annapolis dibekali perangkat yang lebih lengkap dengan berpijak pada dua resolusi DK PBB itu, dilengkapi dengan mekanisme pelaksanaan yang dituangkan dalam konsep peta perdamaian.

Konsep ini diprakarsai kuartet (AS, PBB, Uni Eropa, dan Rusia) tahun 2002. Sasaran kuartet jelas, yaitu berdirinya dua negara Israel dan Palestina yang berdampingan secara damai.

Tak saling percaya

Konferensi Annapolis didukung dengan solusi yang sempat disepakati pada konferensi Camp David II tahun 2000, yang mencari solusi atas permukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur.

Apakah konferensi Annapolis dijamin sukses? Belum tentu. Kepentingan AS, Israel, dan juga dunia Arab serta regional secara keseluruhan adalah terwujudnya dua negara ideal itu. AS dan Israel melihat berdirinya negara Palestina menjadi sebuah keniscayaan.

Ada beberapa faktor, di antaranya adalah ancaman demografi di mana penduduk Palestina dalam 15 tahun mendatang akan menjadi mayoritas di wilayah Israel dan Palestina sekarang. Pertumbuhan penduduk Palestina sangat tinggi.

Kekuatan militer faksi-faksi seperti Hezbollah, Hamas, dan faksi-faksi Palestina atau Arab lain semakin berkembang. Mereka akan berpikir serius terhadap eksistensi negara Israel.

Faksi-faksi bersenjata di Irak sekarang yang punya pengalaman berperang melawan pasukan AS tidak mustahil mengalihkan sasarannya pada Israel jika masalah Irak nanti sudah selesai. Faksi-faksi Sunni maupun Syiah di Irak sekarang sama-sama dikenal anti-Israel.

Konferensi Annapolis hanya merupakan upaya Israel untuk keluar dari keterpencilannya.

Lalu, apakah negara Palestina yang ideal bisa diwujudkan? Pengganjal dari semua konferensi perdamaian Timur Tengah tetap tidak berubah, yakni tiadanya saling percaya antara Palestina dan Israel.

Juga ada tantangan kubu radikal dari kedua belah pihak. Ketidakmampuan melaksanakan apa yang telah ditandatangani makin kecil. Ini adalah problem klasik, yang membuat proses perdamaian di Timur Tengah selalu terseok-seok.

Kasus tewasnya mendiang PM Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh tembakan ekstremis Yahudi, misalnya, telah menggagalkan atau membuyarkan harapan-harapan pada kesepakatan Oslo. Seandainya Yitzhak Rabin masih hidup, mungkin jalannya sejarah akan lain.

Ada bukti betapa kubu radikal berandil besar menggagalkan sebuah proses perdamaian.

Harapan kosong

Dalam konteks konferensi Annapolis, di permukaan para pejabat AS, Israel, dan Arab selalu berusaha memberi harapan. Namun, situasi di lapangan sangat berbeda. Harian Israel, Haaretz, Kamis (22/11), membocorkan draf dokumen politik bersama yang gagal dicapai antara perunding Israel dan Palestina.

Dalam draf itu Israel menolak memecah kota Jerusalem dan membahas isu nasib pengungsi Palestina, serta menuntut Palestina mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi. Palestina menolak hal itu.

Gagalnya perundingan pendahuluan itu membuat konferensi Annapolis tak berhasil. Lalu, untuk apa lagi berangkat ke Annapolis kalau di belakang sudah berantakan? Itulah yang membuat banyak analis menyebut konferensi damai Annapolis hanya sekadar konsumsi publik untuk memperbaiki citra pemerintahan Presiden AS George W Bush yang akan mengakhiri jabatannya pada tahun 2008.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kessenger di harian Asharq Al-Awsat, Selasa (30/10), mengatakan, konferensi damai Annapolis bisa saja melahirkan kesepakatan. Namun, siapa yang mampu melaksanakannya? Pesimisme Kessenger tidak berlebihan.

Australia Memasuki Era Baru


Kekuasaan Partai Liberal Habis,

Mantan PM Howard Dipermalukan


sydney, minggu - Sehari setelah mencukur habis Partai Liberal pimpinan mantan Perdana Menteri John Howard dengan meraih 83 dari 150 kursi parlemen, PM Kevin Rudd, Minggu (25/11), berjanji akan menangani dua isu krusial, yakni perubahan iklim dan kebijakan perang Irak, seperti yang ia janjikan ketika kampanye.

Berakhir sudah kepemimpinan Howard selama 12 tahun. Masuk ke dalam era yang baru bagi Australia ini, Rudd berjanji akan melaksanakan semua janji yang pernah ia ucapkan ketika kampanye pemilu. Masalah pemanasan global dan rencana menarik pasukan keamanan Australia dari Irak termasuk dalam janji-janji kampanye Rudd (50). Tema-tema kampanye Rudd adalah masalah yang biasanya tidak disentuh Howard. Karena itu, alasan rakyat memilih Rudd semata-mata karena rakyat menginginkan ada perubahan di Australia. Sebagai permulaan, isu pemanasan global akan menjadi semacam ujian bagi Rudd karena persoalan itu yang dikhawatirkan mengingat Australia merupakan benua yang paling kering di bumi. Kini Australia mengalami musim kering terparah dalam 100 tahun terakhir. "Yang penting sekarang mulai bertindak," ujarnya.

Pernyataan Rudd itu terbukti. Baru saja terpilih, Rudd langsung bekerja dan bertemu dengan para pejabat untuk membahas mekanisme penandatanganan Protokol Kyoto mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca. Selama ini Howard—seperti AS—tidak mau menandatangani Protokol Kyoto. Rudd tidak hanya membahas masalah itu dengan pejabat Australia, tetapi juga dengan komunitas internasional, seperti Indonesia, Inggris, dan AS. Meningkatkan hubungan dengan AS dan negara-negara di Asia juga menjadi salah satu perhatian Rudd.

Rudd yang bisa berbahasa China dengan fasih diyakini bisa memainkan peran penting menjalin hubungan dengan negara-negara di Asia yang saat ini tengah bangkit. Dengan spesialisasi studi Asia dan pernah menjadi diplomat di Beijing, para pengamat yakin dia akan membuka era baru di dalam hubungan dengan Asia. "Howard itu PM tua yang hidup di dunia yang jauh lebih baru. Gayanya itu sudah ketinggalan zaman. Rudd pasti akan lebih positif dan maju," kata pengamat John Hart.

Kelihaian Rudd berbahasa China itu diyakini akan sangat membantu dalam hubungan Australia dan China. Para pengamat yakin AS akan memanfaatkan kemampuan Rudd ini. "Peran China dalam berbagai persoalan dunia kini berubah. China tidak hanya bangkit perekonomiannya, tetapi juga kini lebih banyak mengambil peran konstruktif dalam menyelesaikan berbagai masalah dunia," kata Hart.

Damien Kingsbury dari Deakin University menyatakan, Rudd juga akan menempuh jalur berbeda dengan Howard. "Sudah jelas sejak dulu Howard merasa kurang nyaman dengan negara-negara di kawasan ini. Menjalin hubungan dengan para pemimpin politik di kawasan ini menjadi kekurangan Howard. Rudd jelas akan nyaman menjalin hubungan dengan para pemimpin di kawasan regional," ujarnya.

Howard malu

Faktanya, rakyat tidak lagi suka dengan Howard (68). Sebagai PM Australia yang menduduki urutan kedua terlama, kekalahan dalam pemilu kali ini menjadi hal yang memalukan. Lebih memalukan lagi bagi Howard jika mengetahui bahwa Howard bahkan kalah di daerah pemilihannya sendiri. Howard yang selama ini "menempel" pada Presiden AS George W Bush itu tak bisa membaca "tanda-tanda" bahwa rakyatnya sudah mulai jenuh kepadanya.

Mantan Dubes Indonesia untuk Australia (1991-1995) Sabam Siagian mengatakan, Indonesia akan diuntungkan dengan kemenangan Rudd. "Masalahnya adalah tinggal bagaimana kita menyerap dan memanfaatkan perhatian Australia yang sudah pasti akan meningkat ke Asia, termasuk ke Indonesia," kata Sabam. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Menyambut Pemimpin Baru Australia

Velix V Wanggai

Konstelasi politik di Australia kini mulai berubah. Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh, sekaligus sebagai pemimpin oposisi, mendapat simpati yang besar dari publik Australia. Dalam pemilu, Sabtu, 24 November 2007, Partai Buruh berhasil merebut kemenangan dari PM John Howard yang telah berkuasa selama 11 tahun.

Pertanyaan menarik yang muncul adalah bagaimana memotret strategi kubu oposisi sehingga dapat mengalahkan calon incumbent secara dramatis? Apa pelajaran yang dapat dipetik?

Kepemimpinan baru

Menjelang Pemilu 2007, Partai Buruh (ALP) mencari strategi yang tepat untuk mengalahkan dominasi partai koalisi. Salah satu strategi jitu yang ditempuh adalah mendeklarasikan slogan resmi partai, yaitu Kepemimpinan Baru (New Leadership), pada pertengahan September 2007. Australia membutuhkan pemimpin muda dengan gagasan-gagasan segar. Artinya, pemimpin yang berusia 68 tahun, seperti PM John Howard, dianggap tak layak bagi perubahan Australia.

Tokoh Kevin Rudd adalah cerminan regenerasi dalam dunia politik di Negeri Kanguru. Sejak kepemimpinan ALP beralih dari Kim Beazley ke Kevin Rudd pada 4 Desember 2006, kehadirannya dianggap sebagai tokoh alternatif yang layak menggantikan PM Howard. Tampil dengan gaya low profile dan teknokratik, Rudd ingin membuka catatan baru bagi proses pembuatan kebijakan publik yang berpihak pada kaum pekerja.

Terpilih pertama kali sebagai anggota parlemen untuk daerah pemilihan Griffith, Queensland, pada 1998, karier politik Rudd ternyata tidak jauh dari lingkaran urusan hubungan luar negeri dan keamanan internasional. Pada periode 2001-2006 Rudd dipercaya sebagai menteri bayangan yang membawahi urusan luar negeri, keamanan internasional, dan perdagangan. Ia selalu tampil mengkritisi kebijakan Menteri Luar Negeri Alexander Downer.

Visi baru

Seiring dengan slogan New Leadership, ALP menawarkan visi alternatif dengan enam kebijakan baru yang kental keberpihakannya kepada keluarga pekerja.

Pertama, revolusi pendidikan. Kecewa dengan sistem pendidikan yang tak ramah dengan keluarga pekerja, ALP menghendaki pembenahan dilakukan sejak pendidikan usia dini (pre-school) hingga mencapai perguruan tinggi. Kedua, memperbaiki rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan. Pelbagai keluhan yang dilontarkan oleh para pasien dan para pekerja menjadi perhatian kubu oposisi. Ketiga, perhatian terhadap perubahan iklim. Dalam berbagai kesempatan, Rudd dan Partai Buruh menjanjikan untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Ini menandakan bahwa isu lingkungan dan iklim dinomorsatukan ketimbang urusan politik ekonomi kaum bisnis.

Keempat, menata kembali hubungan kerja yang adil dan seimbang. Pilihannya adalah merombak regulasi sistem kerja yang merugikan kaum pekerja, sambil memberikan perlindungan terhadap usaha kecil.

Kelima, mempertahankan eko- nomi Australia yang kuat. Sesuai dengan platform partai, sejak awal, Kevin Rudd menegaskan bahwa dirinya adalah penganut aliran ekonomi konservatif yang menghendaki surplus dalam anggaran negara dan pentingnya peran pemerintah. Ia menghendaki agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dinikmati dan ditujukan kepada keluarga pekerja dan pengusaha kecil. Keenam, menguatkan keamanan nasional.

Isu penting yang dilontarkannya adalah menarik pasukan di Irak secara bertahap dengan tetap konsultasi dengan Amerika Serikat. Untuk tingkat regional, hubungan dengan negara-negara tetangga, seperti Indonesia, dianggap sebagai faktor penting dalam memelihara keamanan domestik Australia. Kevin Rudd pernah menegaskan dukungan ALP bagi keutuhan NKRI. Terkait dengan urusan Papua, Rudd sangat mendukung kebijakan otonomi khusus.

Dari keenam kebijakan baru tersebut, tampaknya Kevin Rudd sadar untuk kembali ke platform dan karakter asli Partai Buruh. Mereka berjuang dengan kemasan kebijakan yang cantik untuk membela kelas pekerja, sambil meraup kekecewaan publik Australia atas kekeliruan PM John Howard di Perang Irak. Rudd dan pendukungnya berani menampilkan karakter ideologi buruh yang sesungguhnya, yaitu kapitalisme yang beradab (Parkin, Summers & Woodward edt, 1994).

Sekali lagi bahwa Pemilu Australia memberikan pelajaran berharga bagi kita. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, calon PM incumbent dapat kalah secara dramatis di tangan tokoh muda yang menjanjikan visi alternatif bagi masa depan Australia. Slogan New Leadership dan New vision for Australia’s future ternyata menjadi rangkaian kalimat ampuh untuk mengantarkan Kevin Rudd sebagai PM baru Australia.

Velix V Wanggai, Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional di The Australian National University, Canberra, Australia, dan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia Periode 2004-2006

Sunday, November 25, 2007

Skenario 2015


RI Terjebak di ASEAN

Simon Saragih


Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu meminta agar sosialisasi pengintegrasian ekonomi Indonesia ke ASEAN terus dilakukan. Tujuannya, agar RI siap dan bertindak sejak sekarang. Sebagai salah satu tokoh sentral dalam pengintegrasian ekonomi ASEAN, Mari sudah berbicara dengan sejumlah departemen terkait soal rencana itu.

Pada hari Selasa (20/11), para pemimpin ASEAN sudah menandatangani cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Tujuannya, pada 2015 ASEAN akan menjadi satu negara dalam hal perekonomian. ASEAN akan menjadi basis produksi yang menyatu. Mobilitas barang, jasa, investasi, dan modal akan relatif lebih bebas.

Pertanyaannya, siapkah kita? Punyakah kita sebuah perencanaan skenario tentang bagaimana kira-kira posisi Indonesia pada 2015 mendatang?

Sebelum ke sana, simaklah kisah singkat di balik kemajuan Royal Ducth/Shell, raksasa minyak Inggris/Belanda.

Pada awal 1973, Kepala Perencanaan Royal Dutch/Shell Pierre Wack gelisah, bahkan frustrasi. Ia frustrasi karena Shell, salah satu raksasa minyak dunia, dan bahkan seluruh dunia tetap menjalankan strategi bisnis dengan asumsi bahwa pasokan minyak dunia tetap berlimpah. Asumsi lain, harga minyak dunia akan tetap bertahan rendah.

Kesimpulannya, tidak akan ada yang berubah dalam industri minyak. Wack berpikiran, keadaan tidak akan seperti itu. Ia pun mengembangkan sebuah pendekatan, yang kini dikenal sebagai scenario planning (perencanaan skenario).

Perencanaan skenario ini bukan berisi satu prediksi saja tentang apa yang kemungkinan akan terjadi di masa depan. Perencanaan Wack itu berisi beberapa skenario dan diajukan ke manajemen senior Shell saat itu.

Salah satu isi skenario, yaitu tadi, tak akan ada perubahan drastis pada industri perminyakan. Skenario lain yang diajukan Wack menyebutkan, sebuah kecelakaan pipa minyak di Arab Saudi mungkin akan terjadi. Ini akan mengurangi produksi dan selanjutnya pasokan minyak ke pasar dunia. Akibatnya, harga minyak dunia akan meroket.

Manajer senior Shell menggugat asumsi Wack. Namun, skenario Wack itu didalami lebih lanjut. Kemudian disimpulkan, gangguan pasokan minyak memang akan terjadi. OPEC saat itu sedang mempersiapkan kenaikan harga minyak. OPEC merasa, raksasa minyak dunia adalah pihak yang paling diuntungkan dengan keberadaan minyak.

Shell lalu menumpuk minyak di tangki-tangki yang dibangun. Pada 1973, harga minyak terbukti naik dari 3 dollar AS menjadi 11,65 dollar AS per barrel. Hal ini terjadi juga karena embargo ekspor minyak ke Barat atas prakarsa Arab Saudi. Arab marah karena Barat mendukung Israel dalam Perang Arab 1973.

Ketika dunia sangat terkejut dengan kenaikan harga minyak, Shell menikmati rezeki besar. Posisinya naik dari urutan kedelapan menjadi kedua, hanya dalam dua tahun. Inti yang hendak disampaikan adalah pentingnya sebuah scenario planning, sebagaimana ditulis di sebuah situs BNET Research Center. Skenario itu akan mendorong antisipasi tindakan, yang membuat kita terhindar dari malapetaka.

Evolusi integrasi

Kita kembali ke isu komunitas ekonomi ASEAN pada 2015. Apa kata para pengamat? "Rencana itu agak ambisius. Karena tahap pembangunan yang begitu senjang, kecil harapan ekonomi ASEAN akan terintegrasi," kata Chris Roberts dari S Rajaratnam School of International Studies, Singapura, kepada kantor berita Jerman, Deuctsche Presse-Agentur (DPA).

Betul! Terintegrasi secara sempurna seperti isi cetak biru itu mungkin tidak akan tercapai. Menteri Perdagangan Filipina Peter Pavila mengatakan, cetak biru adalah langkah maju, tetapi buka sebuah magic. Artinya, belum tentu akan efektif sepanjang ada pihak di ASEAN yang diam- diam tak memenuhi janjinya soal liberalisasi.

Namun, mesin evolusi sudah bergerak mengintegrasikan perekonomian, lambat atau cepat, sempurna atau tidak sempurna.

Pada 17 November 2007, di hadapan para pebisnis ASEAN, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong secara implisit menuturkan sejarah yang akan terulang kembali.

PM Lee bertutur. Pada abad VIII, petani China sepanjang Sungai Yangtze dari Dinasti Tang sudah menanam padi dengan benih asal Vietnam. Komunitas asing sebanyak 5.000 orang sudah tinggal di Chang- an, titik awal Jalur Sutra di wilayah China, termasuk orang Turki, Persia, Jepang, Korea, dan Melayu.

Pada Abad XVI sudah terjadi perdagangan porselin dan sutra, dari China ke dunia. India sudah menjual tekstil dan rempah- rempah, dan Pulau Jawa menjajakan produk-produk tropis ke Asia dan dunia.

Hal itu akan terjadi lagi dalam konteks sejarah modern. Dewan Riset Australia sudah memprediksi sebuah Uni Asia di masa depan, secara de facto atau de jure. Ini hanya soal waktu. Perusahaan Australia sudah mempersiapkan diri untuk itu.

India, sebagaimana sudah sering ditekankan PM Manmohan Singh, sudah mengadopsi look east policy. Jepang-China, yang secara politik masih saling bersikap sengit, justru sudah memiliki hubungan ekonomi yang makin terintegrasi. Korporasi Jepang sudah ada di China. Ekonomi China, berdasarkan kekuatan daya beli, kini sudah nomor dua di dunia setelah AS. China sudah menjadi mesin penggerak ekonomi dunia dan Asia.

Fakta lain, Asia kini sudah menjadi sumber investasi global, juga salah satu sumber utama investasi di ASEAN. Investasi yang dilakukan perusahaan multinasional (MNC) Asia dan juga MNC dunia sudah bertindak sendiri mengatur pasar, yang secara tak sadar telah membuat terjadinya integrasi ekonomi Asia, termasuk ASEAN.

Laporan World Investment Report, PBB, pernah mengeluarkan laporan. Keberadaan MNC makin membuat semua negara di dunia seperti lokasi dari produksi yang saling terkait dan menyatu. Aktivitasnya mirip ban berjalan. Ketika Asia sedang tidur, produksi dilanjutkan di Eropa. Saat Eropa tidur, AS dan Amerika Latin melanjutkan produksi, yang semuanya menciptakan global suply chain (mata rantai pasokan dan produksi global).

MNC itu telah pula menggerakkan ASEAN. Namun ada kendala, ASEAN belum menjadi lirikan utama MNC seperti dekade 1980-an dan awal 1990-an. India, China, Amerika Latin, dan Rusia kini menjadi lirikan dan darling-nya MNC.

Skenario terburuk

ASEAN sadar, ekonomi harus diintegrasikan agar MNC memilihnya sebagai lokasi investasi dengan sebuah pasar tunggal.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ada tiga skenario yang bisa diajukan akan terjadi dan menimpa. Pertama, RI siap menjadi pemain. Kedua, RI tak akan mengalami perubahan signifikan. Ketiga, RI makin diserbu produk asing, pekerja asing, investasi asing, dan warganya menjadi penonton.

Skenario pertama, mungkinkah terjadi? Andi Mallarangeng, Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan, kita harus siap dan mengambil manfaat positif dari globalisasi. "Ini sudah menjadi perhatian pemerintah," kata Andi.

Waktu tinggal sedikit, hanya delapan tahun (2007-2015). Namun, pemilu 2009 sudah menyibukkan para elite. DPR sedang dihebohkan aliran dana dari BI. Sistem peradilan memiliki jaringan mafia, seperti diutarakan Anwar Nasution. Prasarana darat, laut, dan udara RI masih keteter. Warga RI belum terlalu siap dengan ilmu menuju globalisasi, dengan sistem pendidikan yang makin berorientasi pasar, di mana anak pintar tetapi miskin akan tersisih.

Skenario kedua, juga mustahil karena kita tak bisa menghambat evolusi integrasi yang akan mengubah ASEAN dan Indonesia.

Skenario ketiga adalah yang paling mungkin terjadi.

Haruskah kita salahkan para pejabat dan diplomat yang menyatakan komitmen untuk peciptaan Komunitas Ekonomi 2015? Tidak bisa! Mesin evolusi global sudah menderu-menderu. Dengan atau tanpa cetak biru itu, integrasi akan terjadi. Bahkan cetak biru itu sebenarnya tidak berisi hal signifikan, walau didengung-dengungkan sebagai langkah maju.

Isinya tak lebih dari sekadar perintah untuk melakukan liberalisasi, yang memang sudah menjadi program setiap negara anggota ASEAN. Buktinya, tak ada isi cetak biru yang melangkahi program nasional di setiap anggota ASEAN

Lagi, ASEAN bisa menghindar dengan formula ASEAN minus X. Artinya, jika tak siap, salah satu anggota bisa mundur. Namun mesin MNC telah eksis. Integrasi, suka atau tidak suka, sudah terjadi secara ekonomi di ASEAN. Cetak biru hanya sekadar pemercepat. Kualitasnya integrasi akan meningkat.

Untuk membuat kita makin terpacu untuk bergerak, skenario ketiga inilah yang harus diambil sekarang. Hal terpahit harus diskenariokan. Anda yang sejak sekarang mempersiapkan ilmu secara pribadi dan secara organisasi, akan selamat dan bahkan diuntungkan dengan adanya pasar tunggal ASEAN pada 2015. Namun secara negara, RI akan terbenam atau hanya tinggal nama formal. Eksistensi dan kiprah bisnis akan dikuasai kapitalis kawasan dan dunia, dan segelintir pebisnis lokal yang piawai dan siap sejak dini.

Bisakah negara mengubah posisi agar tidak terjebak di ASEAN pada 2015? Maaf, ini rasanya sulit. Visi ekonomi masih sekadar enak diucapkan. Politisi masih berkutat pada kepentingan inner cirle mereka. Politisi belum merencanakan secara serius, dan belum bisa memetakan strategi agar Indonesia eksis secara ekonomi di tingkat kawasan, apalagi dunia.

Mengapa politisi? Ekonom dunia asal Peru, Hernando de Soto, kepada Kompas pernah mengatakan, "Adalah visi dan tindakan nyata politikus yang berperan menggerakkan dan mengarahkan negara."

Namun jangan lupa, di Piagam ASEAN juga sudah direncanakan akan adanya ASEAN sebagai satu kesatuan dalam hal keamanan (ASEAN Security Community), dan satu dalam budaya dan sosial (ASEAN Socio-Cultural Community).

Harapannya, tentu tidak akan jadi masalah siapa pun yang menguasai ASEAN. Jangan lupa, tiga jenis komunitas itu sudah dinyatakan dalam deklarasi pemimpin ASEAN tahun 2003.

Entahlah, apa bisa semua kesatuan itu bisa diterima di tengah kesenjangan sosial ekonomi.

Australia


Rudd: Saya Hanya Menatap Masa Depan


Para pemilih Australia hanya ingin menatap ke depan. "Saya tidak ingin kembali ke masa lalu. Saya hanya mau menatap masa depan," ujar Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh, dalam kampanye. Dan, Rudd hari Sabtu (24/11) dipastikan menjadi perdana menteri Australia mendatang setelah meraih suara mayoritas dalam pemilihan parlemen.

Rudd, kelahiran Nambour, Queensland, 21 September 1957, meraih kemenangan mutlak. Partai Buruh memenangi sedikitnya 83 dari 150 kursi parlemen Australia. Rudd pun menumbangkan John Howard dari Partai Liberal yang sudah 11,5 tahun berkuasa di Australia.

Mantan diplomat yang bisa berbicara dalam bahasa Mandarin ini belum lebih setahun memimpin Partai Buruh. Setelah dalam empat pemilu selalu kalah dari Partai Liberal, Rudd yang baru berusia 50 tahun lantas membawa isu perlunya perubahan generasi dan "ide-ide segar" pada Australia. Maklum, lebih dari satu dekade ini Australia hanya mengenal Howard yang sudah berusia 68 tahun.

"Setelah 11 tahun, maka kini saatnya mengganti halaman dari pemerintahan ini. Ini saatnya memulai babak baru dalam sejarah bangsa ini," ujar Rudd.

Suami dari Therese Rein, rekan kuliahnya yang dinikahinya tahun 1981, ini pandai membaca apa keinginan yang ada di hati banyak keluarga di Australia.

Ayah tiga anak ini menjanjikan perbaikan pelayanan rumah sakit dan sekolah. Dia akan membawa nuansa "digital" di setiap kelas dengan menghadirkan komputer bagi setiap siswa. Soal kaum buruh, dia juga akan meninjau berbagai peraturan soal buruh yang kontroversial.

Keluarga miskin

Soal kebutuhan keluarga Australia, Rudd memang punya pengalaman empiris. Bungsu dari empat bersaudara ini tumbuh dalam kemiskinan di Nambour, Negara Bagian Queensland. Hidupnya kian sulit saat berusia 11 tahun setelah ayahnya tewas dalam kecelakaan mobil.

Keluarganya dipaksa melepaskan lahan pertaniannya. Pengalaman ini membentuk pandangan politik Rudd soal nilai kesejahteraan. "Saat ayah tewas dan ibu saya seperti ribuan lainnya harus memperoleh bantuan untuk menghidupkan keluarga, semuanya membentuk pikiran," ujarnya dalam pidato pertama di parlemen tahun 1998.

Meraih gelar dalam politik, budaya, dan bahasa China di Universitas Nasional Australia di Canberra, dia lantas menjadi diplomat. Dia bertugas di Stockholm (Swedia) dan Beijing (China) sebelum bergabung dalam pemerintahan Partai Buruh di Negara Bagian Queensland. Dia meraih kursi parlemen Australia tahun 1988.

Sejak itu, ambisi politiknya demikian kental. Empat kata pertama pidatonya di parlemen yang menunjukkan ambisinya adalah "Politik adalah soal kekuasaan". Dia pun dipromosikan memegang urusan luar negeri Partai Buruh di parlemen tahun 2001. Rudd mulai membangun reputasi kerja keras dan sukses menarik perhatian media.

Dia secara reguler menelepon wartawan seusai jam kerja dan setiap akhir pekan mengemukakan pandangannya soal isu yang ada setiap hari. Dia mulai menampilkan sosoknya secara nasional pada acara televisi pagi hari, di mana dia bersama menteri-menteri muda di pemerintahan membahas isu-isu politik yang panas hari itu.

Kehebatannya membaca isu, termasuk isu luar negeri, antara lain yang membuatnya sukses menggusur Howard. Dosennya di universitas mengakui Rudd sangat serius dan punya disiplin diri yang tinggi.

Misalnya soal Irak, Rudd segera menegaskan akan menarik pulang sekitar 500 personel militer Australia dari Irak. Dalam kampanyenya, dia berulang bilang bahwa hubungan Australia dengan Amerika Serikat akan dipertahankan. Namun dia juga mengatakan bahwa Australia juga harus memiliki kebijakan luar negeri yang lebih independen.

Rudd melihat sikap Howard yang selalu didikte AS merupakan hal buruk bagi citra Australia. Menekankan penarikan mundur pasukan Australia secara bertahap dari Irak membuat 13,5 juta pemilih dari 21 juta warga Australia melihat sosok Australia yang berwibawa dan bercitra pada diri Rudd.

Rudd, saat tampil menyampaikan pidato kemenangannya di Brisbane, kembali menegaskan, kini saatnya Australia menatap ke depan. Begitu pentingnya masa depan, karena itu perlu dicapai secara bersama-sama.

"Saya akan menjadi perdana menteri bagi semua warga Australia," ujarnya. Istrinya, Therese, dan anak-anaknya berada di dekatnya.

Rudd dikenal sangat menjunjung tinggi moral hidup berkeluarga. Dia pernah mengakui sewaktu ke New York mampir sebentar di sebuah kelab malam. "Tetapi saya terlalu banyak minum sehingga lupa kejadian rincinya," ujarnya. Sejak itu, jajak pendapat yang mendukungnya terus meningkat.

Kemenangan Rudd oleh banyak pihak diyakini akan semakin membuat Australia akrab dengan negara-negara tetangganya di Asia, termasuk Indonesia. Suatu hal yang pernah diperlihatkan Paul Keating, PM Australia dari Partai Buruh yang dikalahkan Howard.

"Saya akan menjadi perdana menteri yang mengutamakan kepentingan nasional," ujarnya. Tidak heran mengapa Rudd segera menarik pasukan Australia di Irak. Wajar juga Rudd berniat menandatangani Protokol Kyoto yang selama ini ditampik Howard. Maklum, iklim yang baik perlu untuk menjamin kehidupan manusia Australia yang baik.

Saat menunggu kiprah PM Australia Kevin Rudd. (Reuters/AFP/ppg)


Kevin Rudd PM Australia
Partai Buruh Meraih Sedikitnya 83 dari 150 Kursi Parlemen


Sydney, Sabtu - Masa pemerintahan PM John Howard dari Partai Liberal selama 11,5 tahun di Australia berakhir sudah. Hasil pemilu parlemen yang berlangsung Sabtu (24/11) memberi kemenangan telak bagi Partai Buruh pimpinan Kevin Rudd, yang sedikitnya akan meraih 83 dari 150 kursi parlemen.

Partai Buruh sudah mengklaim kemenangan setelah televisi nasional, Australian Broadcasting Corp (ABC), dari perhitungan awal memastikan Partai Buruh meraih mayoritas kursi. "Saat ini Australia akan menatap ke depan," kata Kevin Rudd.

"Saya akan menjadi perdana menteri untuk seluruh warga Australia," ujarnya di Brisbane. Istrinya, Therese Rein, dan anak- anaknya mendampinginya di mimbar.

Mantan diplomat berusia 50 tahun ini berjanji segera menarik pulang sekitar 500 tentara Australia di Irak dan menandatangani Protokol Kyoto tentang perubahan iklim. "Saya akan memerintah dengan mengutamakan kepentingan nasional," tegasnya, yang disambut pendukungnya.

Dari perhitungan komputer ABC, Partai Buruh akan meraih 52,9 persen suara dibandingkan dengan 47,1 persen yang diraih koalisi pemerintahan Howard. Ada sekitar 13,5 juta pemilih dari 21 juta penduduk. "Partai Buruh akan membentuk pemerintahan berdasarkan jumlah suara yang sudah kami peroleh hingga malam," ujar ABC.

Analis pemilu ABC, Antony Green, menyebutkan, Partai Buruh meraih kursi tambahan di atas persentase yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai Buruh memerlukan keunggulan kemenangan sekitar 4,8 persen untuk meraih mayoritas di parlemen. Dalam hitungan kursi, Partai Buruh hanya memerlukan tambahan 16 kursi guna menumbangkan Howard.

Kemenangan telak ini juga memastikan kekuasaan Partai Buruh di seluruh enam negara bagian dan dua teritori yang ada.

John Howard (68), yang tercatat sebagai PM Australia terlama setelah Sir Robert Menzies yang juga pendiri Partai Buruh, semalam mengakui kekalahannya. "Saya sudah menelepon dan menyampaikan selamat kepada Rudd atas kemenangan mutlak Partai Buruh," ujar Howard di depan pendukungnya di Sydney.

"Ini demokrasi dan saya menginginkan Rudd baik adanya," ujar Howard yang didampingi istrinya, Janette, serta dua putranya.

Dia juga menyampaikan terima kasih kepada koalisi atas dukungannya selama 11,5 tahun pemerintahannya yang membuat Australia kuat dan hebat.

Howard, yang mengukir kemenangan berturut-turut dalam empat pemilu, juga kalah dalam mempertahankan kursi parlemen di Sydney yang sudah 33 tahun dipegangnya. Howard tercatat sebagai PM yang kehilangan kursi parlemen sejak tahun 1929. (Reuters/AFP/ppg)

Friday, November 23, 2007

Dampak Pemilu Australia bagi RI


M Wahid Supriyadi

Hari Sabtu (24/11) ini Australia memiliki pemimpin baru. Dari jajak pendapat, Partai Buruh atau ALP pimpinan Kevin Rudd diunggulkan daripada Koalisi Liberal-Nasional pimpinan John Howard.

Jajak pendapat Age/Nelson minggu lalu menunjukkan, dalam kategori two preferred party, Partai Buruh unggul 54 persen dibandingkan Partai Koalisi (46 persen). Newspoll juga mengunggulkan Partai Buruh 55 persen, sedangkan Koalisi 45 persen.

Tiga pekan sebelumnya, Partai Liberal gagal meyakinkan rakyat Australia. Jika Partai Buruh menang, Serikat Buruh (The Unions) akan menguasai negara. Age/Nelson mencatat, Partai Koalisi didukung 45 persen dan Partai Buruh ditopang 55 persen.

Dibandingkan dengan Pemilu 2004—dalam dua jajak pendapat Age/Nelson 10 hari sebelum pemilu—Partai Buruh hanya didukung 36 persen dan 39 persen. Dalam Pemilu 2004, Partai Buruh akhirnya didukung 47,3 persen (60 kursi) dan Partai Koalisi mendapat 52,7 persen suara (87 kursi). Logika politik menunjukkan, tidak sulit bagi Partai Buruh untuk menambah 16 kursi dan memenangi pemilu kali ini.

Media di Australia pun kini umumnya mengunggulkan Partai Buruh, kecuali The Herald Sun yang berhaluan kanan. Dalam editorialnya (18/11/2007), koran ini mengingatkan pembacanya untuk tidak memilih Kevin Rudd. Alasannya, di bawah John Howard, Australia mengalami angka pengangguran terendah. IMF pun memuji manajemen perekonomian Australia, "the forefront of world’s best practice".

Memang, dalam politik bisa terjadi kejutan. Banyak pengamat di Australia menilai PM John Howard bertahan 11 tahun karena faktor keberuntungan. Terjadinya serangan ke World Trade Center di AS dan Bom Bali diyakini ikut mendongkrak popularitas John Howard. Meski demikian, hal ini tidak dapat dijadikan kesimpulan. Keberhasilan ekonomi, sikap egaliter, terus terang, dan jujur merupakan kekuatan lain John Howard.

Dampak bagi Indonesia

Dalam hubungan bilateral RI-Australia, tampaknya tidak akan ada perubahan mendasar. Jika Kevin Rudd menjadi perdana menteri baru, Indonesia akan tetap ditempatkan sebagai negara paling penting bagi Australia. Dalam wawancara dengan koran ternama di Australia, Kevin Rudd mengatakan, "Indonesia amat penting bagi Australia. Kita akan teringat era Perdana Menteri Paul Keating, 1991-1996, yang dianggap masa keemasan hubungan RI-Australia."

Paul Keating ataupun Kevin Rudd berasal dari faksi kanan yang cenderung lebih liberal dan bersikap positif terhadap RI.

Keunggulan Kevin Rudd, dia pernah menjadi diplomat muda di Beijing, dapat berbahasa Mandarin, dan cermin generasi baru Australia yang tidak canggung terhadap Asia. Ini tidak berarti pada masa Howard, hubungan RI-Australia memburuk. Memang semula Howard tampak canggung menghadapi Indonesia, tetapi lambat laun "diplomasi megafon" ditinggalkan, bersikap hati-hati, dan membina hubungan pribadi lebih baik. Bahkan Howard yang sudah 12 kali ke Indonesia merupakan satu-satunya pemimpin dunia yang hadir pada pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, pada 14 November 2006, RI-Australia menandatangani perjanjian Kerja Sama Kerangka Keamanan, dan merupakan tonggak baru hubungan kedua negara.

Mengharapkan Australia segera mencabut travel warning juga tidak realistis. Kematian 86 warga Australia dalam Bom Bali 2002 adalah korban terbesar di masa damai, disusul bom di depan Kedubes Australia dan Bom Bali II 2004. Masalahnya bukan pada ketidakpercayaan Australia terhadap keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.

Pada Bom Bali I pemerintah banyak disalahkan karena tidak mengeluarkan peringatan sebelumnya. Kenyataan ini ironis dengan meningkatnya kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia, ditandai dibukanya penerbangan budget airline, Jet Star, ke Bali beberapa waktu lalu.

Hubungan bilateral

Masalah klasik seputar tewasnya lima wartawan Australia ("Balibo Five") dan isu Papua akan selalu muncul. Ada beberapa pihak di Australia yang dikenal anti-Indonesia karena faktor historis. Mereka tidak akan pernah menyerah untuk mengganggu hubungan RI-Australia, memanfaatkan berbagai momentum, seperti kunjungan Gubernur Sutiyoso dan pengadilan Glebe Coroners tentang "Balibo Five" di Negara Bagian New South Wales.

Kedua negara juga harus siap menghadapi tantangan baru jika sebagian dari warga Australia yang terlibat jaringan narkoba (Bali 9) dieksekusi.

Kondisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Kedua negara kini memiliki fondasi kuat di tingkat pemerintahan, selain hubungan antarmasyarakat yang kian membaik.

M Wahid Supriyadi Mantan Konsul Jenderal RI di Melbourne; Pendapat Pribadi