Monday, April 14, 2008

RI-Suriah

Akar Historis Sejak 1947
Minggu, 13 April 2008 | 00:52 WIB

Indonesia tentu tidak bisa melupakan jasa diplomat senior yang juga wakil tetap Suriah di PBB tahun 1947, Faris al-Khouri. Dia lah yang secara gigih memperjuangkan agar masalah Indonesia dibawa pada forum DK PBB yang akhirnya berhasil mengeluarkan resolusi dalam bentuk instruksi agar segera dihentikan agresi militer Belanda dan harus dicapai penyelesaian damai melalui perundingan.

Peristiwa historis di gedung PBB itu, kemudian menjadi fondasi hubungan bilateral Indonesia-Suriah. Suriah pun merupakan salah satu negara Arab yang pertama memberi pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Maka, genaplah usia 60 tahun bagi terjalinnya hubungan kedua negara itu pada tahun 2007 lalu.

Bahkan menurut Dubes RI untuk Suriah, Muzammil Basyuni kepada majalah Suriah "Al AZMENAH" edisi 9 Maret 2008, hubungan Indonesia-Suriah sesungguhnya sudah terjalin sejak sebelum kedua negara meraih kemerdekaannya dan hubungan tersebut berkembang tidak hanya antara kedua pemerintah namun juga di level rakyat dan personal.

Basyuni mengakui, merasakan adanya kekuatan hubungan kedua negara itu, ketika ia berkunjung ke beberapa daerah di Suriah dan bertemu para tokohnya. Usia hubungan Indonesia-Suriah yang cukup tua itu, sudah selayaknya diwarnai oleh hiruk pikuk hubungan berbagai sektor (politik, ekonomi, perdagangan, sosial dan budaya, red) dengan segala dinamikanya selama lebih dari 60 tahun terakhir ini.

Dubes Basyuni mengakui pula, terdapat banyak tantangan untuk mempertahankan dan lalu mengembangkan hubungan kedua negara di semua sektor sehingga rakyat kedua negara bisa mengambil manfaat dari berkembangnya hubungan tersebut. Karena itu, lanjut Basyuni, Kedubes RI di Damascus selalu berpartisipasi dalam aktivitas kebudayaan dan pariwisata di Suriah, serta sebaliknya Kedubes RI itu berusaha memperkenalkan Suriah pada rakyat Indonesia agar lebih komunikatif dan hubungan lebih kuat antara pemerintah dan rakyat kedua negara ini.

Indonesia dan Suriah selama ini masing-masing saling memandang memiliki posisi strategis di kawasannya. Indonesia melihat Suriah sebagai negara yang memiliki posisi penting dan strategis, baik dalam kerangka pengembangan hubungan dan kerjasama bilateral, upaya proses perdamaian regional, serta dalam konteks pelaksanaan hubungan dan kerjasama internasional.

Suriah pun juga menghargai dan mengapresiasi posisi dan konsistensi sikap pemerintah Indonesia yang sepenuhnya mendukung perjuangan bangsa Arab serta tuntutan pengembalian Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel sejak tahun 1967.

Pada tataran regional dan internasional, hubungan RI-Suriah terjalin erat melalui berbagai forum kerjasama internasional, antara lain melalui forum OKI, GNB dan PBB. Kedua Negara mengupayakan untuk saling memberikan dukungan bagi pencalonan masing-masing pada keanggotaan badan internasional. Suriah selalu memberikan dukungan atas pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Dewan HAM, ICAO, IMO, dan External Auditor WHO.

Kedekatan politis kedua Negara itu, membantu memberikan ruang gerak dan iklim yang kondusif bagi pengembangan kerjasama ekonomi RI-Suriah. Dari sisi investasi, Suriah memang tidak termasuk negara yang menjadi tarjet promosi investasi Indonesia mengingat kondisi perekonomian Suriah yang masih berkembang dan juga tengah mengupayakan masuknya modal asing.

Namun di sektor perdagangan, hubungan kedua Negara mencatat perkembangan berarti. Selama tiga tahun terakhir ini, transaksi perdagangan RI-Suriah mengalami peningkatan berarti dengan surplus dipihak Indonesia. Pada tahun 2006, neraca perdagangan kedua Negara mencapai 62,4 juta dollar AS yang terdiri dari ekspor Indonesia sebesar 55,7 juta dollar AS dan impor 6,7 juta dollar AS. Pada tahun 2007, nilai perdagangan RI-Suriah mencapai 68 juta dollar AS dengan surplus dipihak Indonesia. Sejumlah eksportir produk Indonesia yang kompetitif selama ini telah mampu menjangkau dan memasuki pasar Suriah, antara lain produk kertas, komponen kendaraan (ban dan velg kendaraan), barang elektronik dan peralatan listrik, mi instan, serta produk kayu.

Sejumlah produk andalan Indonesia penting lainnya kini juga mulai memasuki pasar Suriah, antara lain produk bahan bangunan, peralatan rumah tangga serta produk-produk home appliance dan furniture. Sedangkan impor Indonesia dari Suriah mencakup kapas dan buah-buahan.

Sanksi ekonomi AS yang dijatuhkan kepada Suriah sejak tahun 2005, justru membuka peluang pengembangan kerjasama perdagangan secara lebih luas. Hal ini karena para pengusaha dan dunia usaha Suriah berupaya memanfaatkan hubungan bisnis dan perdagangan dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, arus kunjungan bisnis pengusaha Suriah ke Indonesia mengalami kenaikan 50 persen, baik dalam rangka transaksi dagang maupun menghadiri pameran untuk products sourcing dan pengembangan hubungan dagang.

Dibidang sosial budaya, pengiriman pelajar/mahasiswa Indonesia ke Suriah juga mengalami peningkatan. Melalui kerangka kerjasama sosial budaya yang dimulai sejak tahun 1988, Departemen Agama RI mendapatkan jatah sebanyak 15 bea siswa untuk pelatihan Imam dan Khatib pada lembaga pendidikan Islam Mujamma' Sheikh Ahmad Kaftaro selama tiga bulan. Pada tahun 2002, lembaga tersebut tidak menerima mahasiswa asing, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini kembali menerima mahasiswa dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Hingga saat ini, adasekitar 80 pelajar Indonesia di lembaga tersebut. Pada tahun 2007, tercatat 12 mahasiswa Indonesia diterima diberbagai perguruan tinggi agama di Suriah, sehingga saat ini terdapat 139 pelajar/mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Suriah, antara lain di universitas Kaftaro, Ma'had Sheikh Badaruddin, universitas Fatah al Islami, Universitas Damascus, Lembaga Bahasa Arab Ma'had Fatah, universitas Azad Islami, universitas cabang Al Azhar, Ma'had al Tahzieb dan Ma'had Mambej di Aleppo.

Di Suriah, kini juga terdapat sekitar 50.000 TKW/TKI asal Indonesia yang berstatus illegal karena masuk ke Suriah tanpa menggunakan visa kerja. TKW tersebut seluruhnya bekerja di sektor informal/penatalaksana rumah tangga. Tentu keberadaan TKW/TKI dalam jumlah cukup besar di Suriah itu, menjadi sumber devisa cukup besar pula bagi pemerintah dan negara Indonesia. Mereka mendapat gaji per bulan rata-rata 100 dollar AS.

Bisa dikalkulasikan devisa yang diraup dari TKW/TKI di Suriah itu, dengan asumsi 100 dollar AS x 50.000. Penempatan TKW ke Suriah mulai marak sejak tahun 2001, ketika pemerintah Suriah secara resmi mengizinkan tenaga kerja asing untuk bekerja di sektor informal, yang diatur dalam keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 234/ON. Meskipun demikian, keputusan tersebut hanya mengatur mengenai izin masuk tenaga kerja asing sektor informal ke Suriah dan tata cara pengurusan izin tinggal mereka, tanpa secara eksplisit menyebutkan mekanisme penempatan tenaga kerja asing itu sendiri.

Meskipun Depnakertrans RI pada saat ini belum menjadikan Suriah sebagai Negara tujuan penempatan TKI ke luar negeri, banyak PPTKI illegal yang menempatkan TKI ke Suriah melalui berbagai cara, termasuk mengatur rute pemberangkatan mereka agar tidak diketahui oleh aparat berwenang di Indonesia.

Sejalan dengan melonjaknya jumlah TKI di Suriah, maka berbagai permasalahan yang harus ditangani KBRI Damascus juga semakin meningkat. Bentuk permasalahan tersebut, juga semakin berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya masalah yang timbul hanya menyangkut soal gaji atau TKW yang tidak betah, lalu kini berkembang menjadi kasus-kasus yang lebih rumit seperti sakit fisik, sakit mental, kecelakaan, bunuh diri, pencurian, tindak asusila dan kematian.

Itulah liku-liku hubungan bilateral Indonesia-Suriah selama lebih dari 60 tahun terakhir ini.*(mth)

No comments: