Thursday, November 29, 2007

Timur Tengah


Dari Oslo ke Annapolis

Trias Kuncahyono


Di hadapan para diplomat dari 40 lebih negara dan sejumlah perwakilan lembaga internasional, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas berjabatan tangan disaksikan Presiden AS George W Bush yang berdiri di antara keduanya. Inilah jabatan perdamaian di ruang perundingan.

Peristiwa seperti yang terjadi di Annapolis, Maryland, AS, kemarin itu pernah terjadi 29 tahun silam di Camp David, AS. Di hadapan Presiden AS Jimmy Carter, Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat berdamai, 17 September 1978. Perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir yang isinya, antara lain, pengembalian Gurun Sinai dari Israel kepada Mesir ditandatangani pada tahun 1979.

Empat belas tahun silam, di Oslo, Norwegia, peristiwa itu berulang. Saat itu, 13 September 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjabatan tangan dengan Pemimpin Palestina Yasser Arafat di hadapan Presiden AS Bill Clinton. Hasil dari jabatan tangan itu adalah disepakatinya Deklarasi Prinsip-prinsip.

Dua tahun kemudian, Wye River, Maryland, AS, Presiden AS Bill Clinton kembali menjadi pemrakarsa pertemuan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Pemimpin PLO Yasser Arafat. Keduanya bersepakat untuk melaksanakan kesepakatan politik menyangkut masa depan Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti yang sudah mereka sepakati pada tanggal 28 September 1995.

Saat itu, 1995, kedua pemimpin, PM Israel Yitzhak Rabin dan Pemimpin PLO Yasser Arafat, disaksikan Presiden AS Bill Clinton dan para wakil dari Rusia, Mesir, Yordania, Norwegia, dan Uni Eropa, menandatangani kesepakatan mengenai masa depan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kesepakatan itu dicapai dalam perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Oslo II (karena sebagai kelanjutan Perundingan Oslo) atau Taba (karena dilaksanakan di Taba, Semenanjung Sinai, Mesir).

Lima tahun kemudian di Camp David, kembali dua pemimpin negara bermusuhan itu dipertemukan. Presiden AS Bill Clinton yang memprakarsai pertemuan itu, yaitu antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat. Inilah perundingan terakhir antara Israel-Palestina dalam usaha mencari perdamaian di Timur Tengah.

Perundingan yang dimulai 11 Juli dan berakhir 25 Juli 2000 itu berakhir tanpa ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Ada tiga persoalan penting yang tidak dapat disepakati oleh keduanya. Pertama, menyangkut status Jerusalem. Kedua, berkaitan dengan masalah perbatasan. Dan, ketiga masalah pengungsi. Masalah Jerusalem menjadi masalah yang paling rumit untuk dipecahkan.

Kegagalan Perundingan Camp David 2000 masih berusaha dikejar dengan menggelar perundingan di Taba, Semenanjung Sinai, Mesir, mulai 21 Januari hingga 27 Januari 2001. Israel diwakili Menteri Luar Negeri Shlomo Ben-Ami dan Palestina diwakili Pemimpin PLO Yasser Arafat. Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, tidak bersedia bertemu dengan Arafat.

Upaya untuk menghidupkan proses perdamaian Timur Tengah terus dilakukan. Di Aqaba, Yordania. Presiden AS George W Bush mempertemukan Perdana Menteri Palestina Mahmoud Abbas dengan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Di tempat itu, mereka berusaha mengakhiri konflik yang telah berkali-kali mereka usahakan, tetapi gagal. Kesepakatan dicapai kedua belah pihak untuk merundingkan "status final" persoalan yang ada di antara mereka.

Rangkaian perundingan proses perdamaian Timur Tengah terakhir kali dilaksanakan—sebelum Annapolis—lewat konsep "peta jalan damai" 2002. Rencana perdamaian lewat "peta jalan damai" untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina itu kini disodorkan oleh empat pihak, tidak lagi didominasi oleh AS. Mereka adalah AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB.

Prinsip-prinsip rencana perdamaian lewat "peta jalan damai" itu pertama kali digagas oleh Presiden AS George W Bush dalam pidatonya tanggal 24 Juni 2004. Pada saat itu, ia menyerukan adanya negara Palestina yang independen, yang hidup berdampingan dengan Israel dalam damai. Sebenarnya ini menegaskan gagasan yang sebelumnya pernah muncul, yakni berdirinya dua negara—Israel dan Palestina—yang saling mengakui dan menghormati.

Rencana perdamaian ini belum bisa dilaksanakan secara penuh hingga saat ini, sampai kemudian digelar pertemuan Annapolis.

Terus berulang

Perundingan perdamaian untuk mencari penyelesaian konflik Israel-Palestina seakan menjadi sebuah ritual; sebuah ritual yang diulang-ulang oleh setiap presiden AS. Setiap kali usaha itu dilakukan, setiap kali gagal pula. Kedua belah pihak yang berseteru memberikan andil terhadap kegagalan pelaksanaan setiap kesepakatan atau bahkan kegagalan perundingan damai.

Tentang status Jerusalem, misalnya, yang merupakan isu paling sensitif dan pelik, serangkaian perundingan telah dilakukan kedua belah pihak, tetapi belum memberikan hasil. Bahkan, sudah begitu banyak resolusi yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan masalah ini.

Antara tahun 1967-1989, misalnya, Dewan Keamanan PBB sudah menerbitkan 131 resolusi tentang Jerusalem. Sementara itu, Majelis Umum PBB dalam kurun waktu yang sama telah menerbitkan 429 resolusi. Hal ini memberikan gambaran betapa sulitnya menyelesaikan masalah Jerusalem.

Kegagalan Perundingan Camp David II (2000), yang dilaksanakan tujuh tahun silam, misalnya, ditimpakan kepada pihak Palestina. Dore Gold dalam bukunya The Fight for Jerusalem menulis, Arafat menolak gagasan pembagian Jerusalem sebagai jalan pemecahan konflik. "Saya tidak akan menyetujui kedaulatan Israel atas Jerusalem, baik di wilayah Armenia maupun di Masjid Al Aqsha, baik atas Via Dolorosa maupun atas Gereja Makam Kristus. Mereka dapat menduduki kami dengan menggunakan kekuatan militer karena kami sekarang lemah, tetapi dalam dua tahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun, akan ada seseorang yang akan membebaskan Jerusalem."

Perundingan Camp David 2000 gagal dan meninggalkan tiga persoalan pelik, yaitu Jerusalem, masalah perbatasan, dan masalah pengungsi. Persoalan-persoalan itu akan terus "menghantui" setiap kali perundingan perdamaian dilakukan antara Israel dan Palestina. Dan, persoalan-persoalan itu akan terus menuntut penyelesaikan. Kiranya, masalah tersebut juga muncul di Annapolis ketika begitu banyak negara makin peduli, realistis, dan mendorong terciptanya perdamaian di Timur Tengah.

Perundingan perdamaian terus dilakukan. Setiap kali perundingan berakhir dengan kegagalan, setiap kali pula rasa frustrasi makin menjadi dan melahirkan radikalisasi. Sebab, jabat tangan saja tidak mewakili perdamaian. Dari Oslo ke Annapolis, mereka mencari perdamaian....

No comments: