LSM Ingatkan Dominasi Elite
Oleh SIMON SARAGIH
Singapura, Kompas - Kelompok nonpemerintah mengingatkan bahaya dominasi kapitalis ASEAN. Kelompok ini mengingatkan ancaman di sektor perikanan, pertambangan, dan kehutanan di luar transportasi udara yang masuk dalam prioritas liberalisasi.
Tidak tertutup kemungkinan, usaha asing atau kapitalis dari sesama anggota ASEAN mendominasi bidang ini. Di pihak lain, nasib pekerja migran tidak mendapatkan perlindungan cukup.
"Program ASEAN hanya menguntungkan segelintir elite dan kapitalis kawasan. Manfaatnya tak banyak bagi kelompok marginal," demikian pernyataan Kelompok Kerja Solidarity for Asian People Advocay.
Tuntutan mereka bukan sekadar kekhawatiran, bahwa pengusaha dari satu negara ASEAN mendominasi bisnis di negara ASEAN lainnya. Hal yang dikhawatirkan, kapitalis dan elite ASEAN makin merajalela dengan meminggirkan warganya yang sudah ada di pinggiran, seperti buruh migran, nelayan, dan petani.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah juga menyatakan, belum ada inisiatif kawasan untuk membuat ASEAN sebagai kawasan yang demokratis dan respek pada hak asasi manusia. ASEAN juga masih mengabaikan penegakan hak asasi buruh migran di Asia Tenggara.
"Tak ada secuil kalimat pun dalam sejumlah deklarasi ASEAN yang mengakui peran signifikan buruh migran. Tidak terlihat komitmen perlindungan buruh migran di kawasan. Padahal, kemakmuran ASEAN ditopang juga oleh buruh migran," kata Anis.
Cetak biru 2015
Pernyataan itu, antara lain, merujuk pada cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN, yang akan menyatukan pasar dan produksi ASEAN seperti di dalam satu negara pada tahun 2015. Pada cetak biru itu banyak rencana soal penciptaan kesatuan standar, sertifikasi, dan aturan main. Hal itu terutama diarahkan pada aspek investasi, beberapa sektor jasa, dan udara terbuka untuk penerbangan, serta lainnya.
Bahkan, di dalam cetak biru diusulkan pembentukan badan untuk penyelesaian sengketa jika ada investor yang merasa dirugikan. Juga, di cetak biru itu, terlihat keleluasaan kapitalis untuk repatriasi modal, keuntungan, dan dividen.
Namun, tidak ada di dalamnya disinggung soal nasib pekerja migran yang banyak mengalami siksaan fisik, mental, dan gaji yang tidak dibayarkan. Bahkan, jika Indonesia tidak memprotes, perhatian pada pekerja migran (non-skilled labour) tidak masuk dalam cetak biru.
Lebih ironis lagi, mobilitas buruh migran tidak memiliki harmonisasi aturan.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, soal buruh sudah ada kerja sama dengan Malaysia. Untuk perlindungan buruh migran, kerja sama akan ditingkatkan.
Ia mengingatkan bahwa di dalam cetak biru juga ada upaya untuk mengembangkan usaha kecil, bahkan termasuk bidang pembinaan dan permodalan. Hal ini masih akan terus didalami.
Namun, masyarakat sipil menganggap ASEAN gagal melihat persoalan masyarakat. Sikap ini disampaikan oleh Bonnie Setiawan, Direktur Eksekutif Institute of Global Justice.
Carla June Natan, Direktur Center for Indonesian Migrant Workers, mengatakan, pemimpin ASEAN tak mencermati secara jelas persoalan rakyat. Padahal, piagam ini seharusnya menjadi perekat masyarakat ASEAN, bukan sekadar perekat pemimpin negara ASEAN. "Piagam ini gagal menempatkan masyarakat sebagai pusatnya," kata Carla.
Wahyu Susilo dari International NGO Forum on Indonesian Development mengatakan pekan lalu ada buruh migran asal Indonesia dideportasi Malaysia. "Seharusnya isu seperti itu diangkat di forum ASEAN," katanya. (A11)
No comments:
Post a Comment