SIMON SARAGIH
Jika kita menunjuk dengan ibu jari ke satu arah, empat jari lainnya balik menunjuk ke arah kita. Nah, demikian lebih kurang posisi ASEAN terkait dengan isu Myanmar. Kita sibuk mencerca Myanmar, tetapi kita tidak sadar akan kompetensi yang kita miliki.
Terbukti, sekali gertak saja, ASEAN langsung tunduk. Perdana Menteri (PM) Myanmar Thein Sein mengatakan, urusan Myanmar adalah urusan domestik Myanmar. PM Sein pun menolak kehadiran Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Ibrahim Gambari untuk memberi keterangan di hadapan para pemimpin ASEAN, yang sudah dijadwalkan hari Rabu (21/11) ini.
Menurut PM Sein, adalah Dewan Keamanan PBB yang menjadi tempat Gambari untuk memberi laporan soal Myanmar, bukan di depan pemimpin ASEAN. Sebagai tuan rumah, PM Singapura Lee Hsien Loong pun mengatakan, ASEAN harus menghormati keputusan dan sikap Myanmar.
Mungkin bagi Myanmar, siapalah ASEAN sehingga lancang mencampuri urusan domestik Myanmar. Simpati kepada para biksu adalah keharusan. Membela hak asasi manusia di negara lain, termasuk Myanmar, adalah tanggung jawab ASEAN sebagai bagian dari komunitas internasional.
Namun, sebelum mewujudkan itu, ASEAN harus lebih mengembangkan diri agar bisa jadi teladan bagi tetangganya, termasuk dalam perekonomian, sebagaimana ditekankan Presiden Bank Pembangunan Asia Haruhiko Kuroda.
Borok yang terlupakan
Sudahkah ASEAN membuat dirinya benar? Ada berbagai fakta yang menunjukkan borok-borok ASEAN juga tidak kalah buruknya dengan apa yang dilakukan junta Myanmar. Bahkan, mungkin ada yang jauh lebih buruk dari yang terjadi di Myanmar.
Kita mulai dari negara secara acak. Adakah oposisi yang cukup berarti di Brunei Darussalam untuk menyeimbangkan kontrol kekuasaan. Untungnya, Brunei cukup pintar membuat rakyatnya makmur dengan pemasukan yang luar biasa dari minyak dan gas sehingga luput dari cercaan.
Lalu Indonesia. Sudahkah negara ini memiliki pemerintahan yang bersih dan berwibawa di mata rakyatnya? Sudahkah rakyat Indonesia ketiban rezeki karena minyak ketimbang ketiban kenaikan harga BBM di tengah timbunan sumber daya minyak, gas, emas, dan lainnya di atas tempat tidurnya?
Lihatlah juga Malaysia dengan program ekonominya yang pro-Melayu, bahkan di segala bidang, termasuk ke sosial budaya menomorduakan minoritas India dan China. Sebuah kebijakan yang sangat diskriminatif, tidak "sehat" sebagai sebuah negara.
Pertanyaan lain, adakah oposisi diterima di negara ini. Bahkan, pendukung tokoh oposisi Anwar Ibrahim pun digempur habis-habisan hanya karena memprotes kecurangan pemilu yang relatif selalu menguntungkan Barisan Nasional, koalisi partai-partai yang memerintah Malaysia.
Lihat pula Thailand yang "menghajar" warganya di bagian selatan. Bahkan, rezim militer menjadi pihak yang berkuasa sudah lebih dari setahun, padahal janji junta militer hanya berkuasa setidaknya selama setahun. Janji itu sudah lewat setahun pada September 2007 lalu. Pemilu memang dijanjikan pada bulan Desember ini.
Tengok pula keadaan di Filipina. Di negara ini tuan-tuan tanah menjadi elitis dengan kolaborasi bersama politisi dan pebisnis. Rakyatnya seperti teralienasi sehingga Filipina adalah negara yang mengalami eksodus terbesar di zaman modern.
Jangan heran jika warga Filipina selatan, kelompok komunis seperti virus yang mendapatkan habitat untuk berkembang dan bangkit meraih harga diri. Ketimbang melakukan asas persuasif dan program efektif, Filipina mengokang senjata menghadapi gerakan Filipina selatan yang menuntut eksistensi diri.
Lalu, apakah Singapura punya nyali menghadapi Chee Soon Juan, tokoh oposisi yang menentang dominasi Partai Aksi Rakyat (PAP) dan Dinasti Lee? Bagaimana pula dengan PM Kamboja Hun Sen yang "menghabisi" musuh-musuh politiknya.
Lalu, jika dominasi etnis Burma di Myanmar membasmi etnis Karen, Shan, dan lainnya, memberangus oposisi termasuk menindas aksi para biksu yang menuntut koreksi harga BBM, junta bersenang-senang dengan kemewahan, apakah ASEAN layak menuding?
No comments:
Post a Comment