RI Terjebak di ASEAN
Simon Saragih
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu meminta agar sosialisasi pengintegrasian ekonomi Indonesia ke ASEAN terus dilakukan. Tujuannya, agar RI siap dan bertindak sejak sekarang. Sebagai salah satu tokoh sentral dalam pengintegrasian ekonomi ASEAN, Mari sudah berbicara dengan sejumlah departemen terkait soal rencana itu.
Pada hari Selasa (20/11), para pemimpin ASEAN sudah menandatangani cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Tujuannya, pada 2015 ASEAN akan menjadi satu negara dalam hal perekonomian. ASEAN akan menjadi basis produksi yang menyatu. Mobilitas barang, jasa, investasi, dan modal akan relatif lebih bebas.
Pertanyaannya, siapkah kita? Punyakah kita sebuah perencanaan skenario tentang bagaimana kira-kira posisi Indonesia pada 2015 mendatang?
Sebelum ke sana, simaklah kisah singkat di balik kemajuan Royal Ducth/Shell, raksasa minyak Inggris/Belanda.
Pada awal 1973, Kepala Perencanaan Royal Dutch/Shell Pierre Wack gelisah, bahkan frustrasi. Ia frustrasi karena Shell, salah satu raksasa minyak dunia, dan bahkan seluruh dunia tetap menjalankan strategi bisnis dengan asumsi bahwa pasokan minyak dunia tetap berlimpah. Asumsi lain, harga minyak dunia akan tetap bertahan rendah.
Kesimpulannya, tidak akan ada yang berubah dalam industri minyak. Wack berpikiran, keadaan tidak akan seperti itu. Ia pun mengembangkan sebuah pendekatan, yang kini dikenal sebagai scenario planning (perencanaan skenario).
Perencanaan skenario ini bukan berisi satu prediksi saja tentang apa yang kemungkinan akan terjadi di masa depan. Perencanaan Wack itu berisi beberapa skenario dan diajukan ke manajemen senior Shell saat itu.
Salah satu isi skenario, yaitu tadi, tak akan ada perubahan drastis pada industri perminyakan. Skenario lain yang diajukan Wack menyebutkan, sebuah kecelakaan pipa minyak di Arab Saudi mungkin akan terjadi. Ini akan mengurangi produksi dan selanjutnya pasokan minyak ke pasar dunia. Akibatnya, harga minyak dunia akan meroket.
Manajer senior Shell menggugat asumsi Wack. Namun, skenario Wack itu didalami lebih lanjut. Kemudian disimpulkan, gangguan pasokan minyak memang akan terjadi. OPEC saat itu sedang mempersiapkan kenaikan harga minyak. OPEC merasa, raksasa minyak dunia adalah pihak yang paling diuntungkan dengan keberadaan minyak.
Shell lalu menumpuk minyak di tangki-tangki yang dibangun. Pada 1973, harga minyak terbukti naik dari 3 dollar AS menjadi 11,65 dollar AS per barrel. Hal ini terjadi juga karena embargo ekspor minyak ke Barat atas prakarsa Arab Saudi. Arab marah karena Barat mendukung Israel dalam Perang Arab 1973.
Ketika dunia sangat terkejut dengan kenaikan harga minyak, Shell menikmati rezeki besar. Posisinya naik dari urutan kedelapan menjadi kedua, hanya dalam dua tahun. Inti yang hendak disampaikan adalah pentingnya sebuah scenario planning, sebagaimana ditulis di sebuah situs BNET Research Center. Skenario itu akan mendorong antisipasi tindakan, yang membuat kita terhindar dari malapetaka.
Evolusi integrasi
Kita kembali ke isu komunitas ekonomi ASEAN pada 2015. Apa kata para pengamat? "Rencana itu agak ambisius. Karena tahap pembangunan yang begitu senjang, kecil harapan ekonomi ASEAN akan terintegrasi," kata Chris Roberts dari S Rajaratnam School of International Studies, Singapura, kepada kantor berita Jerman, Deuctsche Presse-Agentur (DPA).
Betul! Terintegrasi secara sempurna seperti isi cetak biru itu mungkin tidak akan tercapai. Menteri Perdagangan Filipina Peter Pavila mengatakan, cetak biru adalah langkah maju, tetapi buka sebuah magic. Artinya, belum tentu akan efektif sepanjang ada pihak di ASEAN yang diam- diam tak memenuhi janjinya soal liberalisasi.
Namun, mesin evolusi sudah bergerak mengintegrasikan perekonomian, lambat atau cepat, sempurna atau tidak sempurna.
Pada 17 November 2007, di hadapan para pebisnis ASEAN, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong secara implisit menuturkan sejarah yang akan terulang kembali.
PM Lee bertutur. Pada abad VIII, petani China sepanjang Sungai Yangtze dari Dinasti Tang sudah menanam padi dengan benih asal Vietnam. Komunitas asing sebanyak 5.000 orang sudah tinggal di Chang- an, titik awal Jalur Sutra di wilayah China, termasuk orang Turki, Persia, Jepang, Korea, dan Melayu.
Pada Abad XVI sudah terjadi perdagangan porselin dan sutra, dari China ke dunia. India sudah menjual tekstil dan rempah- rempah, dan Pulau Jawa menjajakan produk-produk tropis ke Asia dan dunia.
Hal itu akan terjadi lagi dalam konteks sejarah modern. Dewan Riset Australia sudah memprediksi sebuah Uni Asia di masa depan, secara de facto atau de jure. Ini hanya soal waktu. Perusahaan Australia sudah mempersiapkan diri untuk itu.
India, sebagaimana sudah sering ditekankan PM Manmohan Singh, sudah mengadopsi look east policy. Jepang-China, yang secara politik masih saling bersikap sengit, justru sudah memiliki hubungan ekonomi yang makin terintegrasi. Korporasi Jepang sudah ada di China. Ekonomi China, berdasarkan kekuatan daya beli, kini sudah nomor dua di dunia setelah AS. China sudah menjadi mesin penggerak ekonomi dunia dan Asia.
Fakta lain, Asia kini sudah menjadi sumber investasi global, juga salah satu sumber utama investasi di ASEAN. Investasi yang dilakukan perusahaan multinasional (MNC) Asia dan juga MNC dunia sudah bertindak sendiri mengatur pasar, yang secara tak sadar telah membuat terjadinya integrasi ekonomi Asia, termasuk ASEAN.
Laporan World Investment Report, PBB, pernah mengeluarkan laporan. Keberadaan MNC makin membuat semua negara di dunia seperti lokasi dari produksi yang saling terkait dan menyatu. Aktivitasnya mirip ban berjalan. Ketika Asia sedang tidur, produksi dilanjutkan di Eropa. Saat Eropa tidur, AS dan Amerika Latin melanjutkan produksi, yang semuanya menciptakan global suply chain (mata rantai pasokan dan produksi global).
MNC itu telah pula menggerakkan ASEAN. Namun ada kendala, ASEAN belum menjadi lirikan utama MNC seperti dekade 1980-an dan awal 1990-an. India, China, Amerika Latin, dan Rusia kini menjadi lirikan dan darling-nya MNC.
Skenario terburuk
ASEAN sadar, ekonomi harus diintegrasikan agar MNC memilihnya sebagai lokasi investasi dengan sebuah pasar tunggal.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ada tiga skenario yang bisa diajukan akan terjadi dan menimpa. Pertama, RI siap menjadi pemain. Kedua, RI tak akan mengalami perubahan signifikan. Ketiga, RI makin diserbu produk asing, pekerja asing, investasi asing, dan warganya menjadi penonton.
Skenario pertama, mungkinkah terjadi? Andi Mallarangeng, Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan, kita harus siap dan mengambil manfaat positif dari globalisasi. "Ini sudah menjadi perhatian pemerintah," kata Andi.
Waktu tinggal sedikit, hanya delapan tahun (2007-2015). Namun, pemilu 2009 sudah menyibukkan para elite. DPR sedang dihebohkan aliran dana dari BI. Sistem peradilan memiliki jaringan mafia, seperti diutarakan Anwar Nasution. Prasarana darat, laut, dan udara RI masih keteter. Warga RI belum terlalu siap dengan ilmu menuju globalisasi, dengan sistem pendidikan yang makin berorientasi pasar, di mana anak pintar tetapi miskin akan tersisih.
Skenario kedua, juga mustahil karena kita tak bisa menghambat evolusi integrasi yang akan mengubah ASEAN dan Indonesia.
Skenario ketiga adalah yang paling mungkin terjadi.
Haruskah kita salahkan para pejabat dan diplomat yang menyatakan komitmen untuk peciptaan Komunitas Ekonomi 2015? Tidak bisa! Mesin evolusi global sudah menderu-menderu. Dengan atau tanpa cetak biru itu, integrasi akan terjadi. Bahkan cetak biru itu sebenarnya tidak berisi hal signifikan, walau didengung-dengungkan sebagai langkah maju.
Isinya tak lebih dari sekadar perintah untuk melakukan liberalisasi, yang memang sudah menjadi program setiap negara anggota ASEAN. Buktinya, tak ada isi cetak biru yang melangkahi program nasional di setiap anggota ASEAN
Lagi, ASEAN bisa menghindar dengan formula ASEAN minus X. Artinya, jika tak siap, salah satu anggota bisa mundur. Namun mesin MNC telah eksis. Integrasi, suka atau tidak suka, sudah terjadi secara ekonomi di ASEAN. Cetak biru hanya sekadar pemercepat. Kualitasnya integrasi akan meningkat.
Untuk membuat kita makin terpacu untuk bergerak, skenario ketiga inilah yang harus diambil sekarang. Hal terpahit harus diskenariokan. Anda yang sejak sekarang mempersiapkan ilmu secara pribadi dan secara organisasi, akan selamat dan bahkan diuntungkan dengan adanya pasar tunggal ASEAN pada 2015. Namun secara negara, RI akan terbenam atau hanya tinggal nama formal. Eksistensi dan kiprah bisnis akan dikuasai kapitalis kawasan dan dunia, dan segelintir pebisnis lokal yang piawai dan siap sejak dini.
Bisakah negara mengubah posisi agar tidak terjebak di ASEAN pada 2015? Maaf, ini rasanya sulit. Visi ekonomi masih sekadar enak diucapkan. Politisi masih berkutat pada kepentingan inner cirle mereka. Politisi belum merencanakan secara serius, dan belum bisa memetakan strategi agar Indonesia eksis secara ekonomi di tingkat kawasan, apalagi dunia.
Mengapa politisi? Ekonom dunia asal Peru, Hernando de Soto, kepada Kompas pernah mengatakan, "Adalah visi dan tindakan nyata politikus yang berperan menggerakkan dan mengarahkan negara."
Namun jangan lupa, di Piagam ASEAN juga sudah direncanakan akan adanya ASEAN sebagai satu kesatuan dalam hal keamanan (ASEAN Security Community), dan satu dalam budaya dan sosial (ASEAN Socio-Cultural Community).
Harapannya, tentu tidak akan jadi masalah siapa pun yang menguasai ASEAN. Jangan lupa, tiga jenis komunitas itu sudah dinyatakan dalam deklarasi pemimpin ASEAN tahun 2003.
Entahlah, apa bisa semua kesatuan itu bisa diterima di tengah kesenjangan sosial ekonomi.
No comments:
Post a Comment