Thursday, November 29, 2007

Pakistan


Setelah Melepas Seragam, Lalu Apa?


Pemerintah AS dan Inggris sama-sama menilai tindakan Musharraf melepas seragam sebagai keputusan tepat. Pernyataan serupa juga diungkapkan mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto. Namun, baik AS, Inggris, maupun Bhutto juga sama-sama menilai langkah itu tidaklah cukup. "Kini yang lebih penting itu mencabut status darurat agar pemilu dapat berjalan bebas, jujur, dan adil," kata Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice.

Padahal, melepas seragam yang dipakai sekian lama sehingga seakan-akan menjadi "kulit kedua" tidak mudah bagi Musharraf. Militer bagi Musharraf adalah keluarga yang telah membesarkannya. Karena itu, wajar jika upacara serah terima jabatan berlangsung khidmat dan penuh haru. Namun, yang berlalu biarkan saja berlalu.

Kini setelah MA menyatakan dia sah menjadi presiden, para pengamat menilai Musharraf kembali pusing menjelang pemilu. Pasalnya, Musharraf akan berhadapan dengan dua mantan PM sekaligus, yaitu Bhutto dan Nawaz Sharif.

"Posisi Musharraf sangat lemah. Bisa jadi Musharraf menghadapi parlemen yang terdiri dari kelompok oposisi yang bisa balas dendam," kata pengamat politik Pakistan di lembaga kajian Chatham House, Farsana Shaikh.

Jika parlemen tidak lagi dapat diandalkan, Musharraf mau tidak mau harus meminta bantuan militer. Setidaknya Musharraf masih memiliki pengaruh di militer, apalagi mengingat panglima militer yang baru, Jenderal Ashfaq Kayani, dikenal setia pada Musharraf. Saat menjabat sebagai kepala badan intelijen Pakistan, Kayani dikenal baik dan dihormati oleh AS.

Musharraf kenal Kayani (55) saat masih berpangkat kolonel. Berbagai pengamat berharap Kayani memfokuskan peningkatan kemampuan militer menumpas operasi kelompok perlawanan. Kayani juga diharapkan memperbaiki hubungan antara Musharraf dan para politikus sipil Pakistan. Kayani pernah bekerja di bawah kepemimpinan Bhutto akhir tahun 1980-an. Saat itu Kayani dinilai memiliki hubungan yang baik dengan para pemimpin dan tokoh politik. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

No comments: