Friday, November 23, 2007

Dampak Pemilu Australia bagi RI


M Wahid Supriyadi

Hari Sabtu (24/11) ini Australia memiliki pemimpin baru. Dari jajak pendapat, Partai Buruh atau ALP pimpinan Kevin Rudd diunggulkan daripada Koalisi Liberal-Nasional pimpinan John Howard.

Jajak pendapat Age/Nelson minggu lalu menunjukkan, dalam kategori two preferred party, Partai Buruh unggul 54 persen dibandingkan Partai Koalisi (46 persen). Newspoll juga mengunggulkan Partai Buruh 55 persen, sedangkan Koalisi 45 persen.

Tiga pekan sebelumnya, Partai Liberal gagal meyakinkan rakyat Australia. Jika Partai Buruh menang, Serikat Buruh (The Unions) akan menguasai negara. Age/Nelson mencatat, Partai Koalisi didukung 45 persen dan Partai Buruh ditopang 55 persen.

Dibandingkan dengan Pemilu 2004—dalam dua jajak pendapat Age/Nelson 10 hari sebelum pemilu—Partai Buruh hanya didukung 36 persen dan 39 persen. Dalam Pemilu 2004, Partai Buruh akhirnya didukung 47,3 persen (60 kursi) dan Partai Koalisi mendapat 52,7 persen suara (87 kursi). Logika politik menunjukkan, tidak sulit bagi Partai Buruh untuk menambah 16 kursi dan memenangi pemilu kali ini.

Media di Australia pun kini umumnya mengunggulkan Partai Buruh, kecuali The Herald Sun yang berhaluan kanan. Dalam editorialnya (18/11/2007), koran ini mengingatkan pembacanya untuk tidak memilih Kevin Rudd. Alasannya, di bawah John Howard, Australia mengalami angka pengangguran terendah. IMF pun memuji manajemen perekonomian Australia, "the forefront of world’s best practice".

Memang, dalam politik bisa terjadi kejutan. Banyak pengamat di Australia menilai PM John Howard bertahan 11 tahun karena faktor keberuntungan. Terjadinya serangan ke World Trade Center di AS dan Bom Bali diyakini ikut mendongkrak popularitas John Howard. Meski demikian, hal ini tidak dapat dijadikan kesimpulan. Keberhasilan ekonomi, sikap egaliter, terus terang, dan jujur merupakan kekuatan lain John Howard.

Dampak bagi Indonesia

Dalam hubungan bilateral RI-Australia, tampaknya tidak akan ada perubahan mendasar. Jika Kevin Rudd menjadi perdana menteri baru, Indonesia akan tetap ditempatkan sebagai negara paling penting bagi Australia. Dalam wawancara dengan koran ternama di Australia, Kevin Rudd mengatakan, "Indonesia amat penting bagi Australia. Kita akan teringat era Perdana Menteri Paul Keating, 1991-1996, yang dianggap masa keemasan hubungan RI-Australia."

Paul Keating ataupun Kevin Rudd berasal dari faksi kanan yang cenderung lebih liberal dan bersikap positif terhadap RI.

Keunggulan Kevin Rudd, dia pernah menjadi diplomat muda di Beijing, dapat berbahasa Mandarin, dan cermin generasi baru Australia yang tidak canggung terhadap Asia. Ini tidak berarti pada masa Howard, hubungan RI-Australia memburuk. Memang semula Howard tampak canggung menghadapi Indonesia, tetapi lambat laun "diplomasi megafon" ditinggalkan, bersikap hati-hati, dan membina hubungan pribadi lebih baik. Bahkan Howard yang sudah 12 kali ke Indonesia merupakan satu-satunya pemimpin dunia yang hadir pada pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, pada 14 November 2006, RI-Australia menandatangani perjanjian Kerja Sama Kerangka Keamanan, dan merupakan tonggak baru hubungan kedua negara.

Mengharapkan Australia segera mencabut travel warning juga tidak realistis. Kematian 86 warga Australia dalam Bom Bali 2002 adalah korban terbesar di masa damai, disusul bom di depan Kedubes Australia dan Bom Bali II 2004. Masalahnya bukan pada ketidakpercayaan Australia terhadap keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.

Pada Bom Bali I pemerintah banyak disalahkan karena tidak mengeluarkan peringatan sebelumnya. Kenyataan ini ironis dengan meningkatnya kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia, ditandai dibukanya penerbangan budget airline, Jet Star, ke Bali beberapa waktu lalu.

Hubungan bilateral

Masalah klasik seputar tewasnya lima wartawan Australia ("Balibo Five") dan isu Papua akan selalu muncul. Ada beberapa pihak di Australia yang dikenal anti-Indonesia karena faktor historis. Mereka tidak akan pernah menyerah untuk mengganggu hubungan RI-Australia, memanfaatkan berbagai momentum, seperti kunjungan Gubernur Sutiyoso dan pengadilan Glebe Coroners tentang "Balibo Five" di Negara Bagian New South Wales.

Kedua negara juga harus siap menghadapi tantangan baru jika sebagian dari warga Australia yang terlibat jaringan narkoba (Bali 9) dieksekusi.

Kondisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Kedua negara kini memiliki fondasi kuat di tingkat pemerintahan, selain hubungan antarmasyarakat yang kian membaik.

M Wahid Supriyadi Mantan Konsul Jenderal RI di Melbourne; Pendapat Pribadi

No comments: