Arah perkembangan politik Pakistan belum jelas sekalipun Presiden Pervez Musharraf meletakkan jabatan panglima militer sebagai kompromi politik.
Dengan berat hati, Musharraf hari Rabu 28 November kemarin menyerahkan tongkat komando panglima militer kepada penggantinya, Jenderal Ashfaq Kayani.
Konsentrasi kekuasaan pada tangan Musharraf pun mulai terpecah. Sejak mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 1999, seluruh kekuasaan praktis berada dalam genggaman Jenderal Musharraf.
Penyerahan jabatan panglima dianggap sebagai kompensasi atas jabatan presiden periode kedua yang secara resmi dimulai hari Kamis 29 November ini. Jabatan rangkap presiden dan panglima telah menimbulkan gelombang protes selama ini.
Peletakan jabatan panglima oleh Musharraf memberikan angin segar kepada oposisi, tetapi tidak dengan sendirinya melapangkan jalan bagi transisi menuju demokrasi. Bahaya yang menghadang masih besar.
Tentu saja, dua tokoh oposisi, Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif, menyambut gembira atas penyerahan jabatan panglima oleh Musharraf. Bhutto dan Sharif sedang menjajaki kerja sama untuk melawan kubu Presiden Musharraf dalam pemilihan parlemen, yang dijadwalkan tanggal 8 Januari 2008.
Namun segera terlihat kerepotan yang bakal terjadi di panggung politik negeri berpenduduk 160 juta jiwa itu. Sekiranya kolaborasi oposisi memenangi pemilu, krisis politik akan bertambah karena pemerintahan Musharraf harus berhadapan dengan kekuatan legislatif yang dikuasai oposisi.
Persoalan lain bakal muncul pula tentang kelanggengan kerja sama kubu oposisi. Semua menyadari, Bhutto dan Sharif kini bersatu atas dasar kepentingan jangka pendek untuk menggeser Musharraf. Bukankah Bhutto dan Sharif juga bersaing dan berupaya saling menjatuhkan?
Persaingan politik yang keras dan penuh intrik merupakan ciri perpolitikan di Pakistan. Sulit sekali tercapai kompromi politik. Tarik-menarik kekuatan dan kekuasaan berlangsung keras dan kasar. Sejak merdeka tahun 1947, Pakistan beberapa kali diguncang kudeta, termasuk oleh Musharraf tahun 1990.
Perpecahan di kalangan elite secara langsung berdampak langsung pada friksi di kalangan masyarakat, bahkan sebagian berjalan sendiri-sendiri seperti terlihat dengan bermunculannya kelompok ekstremis dan radikal.
Upaya menghentikan ancaman radikalisme dan ekstremis, termasuk bahaya terorisme, menjadi sulit karena elite politik tidak kompak dan kurang solid.
Kasus Narkoba dan Polisi
Pada saat kita riuh membicarakan kasus Roy Marten, polisi menangkap Ahmad Albar. Keduanya dicokok dalam kasus sama: narkoba.
Kaget? Awalnya ya, seterusnya terenyuh.
Bangsa ini mengidap penyakit. Kita cukup puas dijejali pernyataan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang ibarat gunung es. Sejak 2005 Indonesia masuk dalam tiga besar pasar narkoba dunia, terutama sabu, setelah China dan AS. Sekitar 15.000 orang mati karena kasus narkoba. Sekitar 3,2 juta penyalah guna narkoba.
Kita baru serius memberikan perhatian ketika yang terkena adalah saudara, rekan, atau tetangga. Kaget-terenyuh-serius ketika yang terkena kasus, sebagai penyalah guna bahkan pengedar, adalah figur publik, seperti Roy Marten dan Ahmad Albar. Selebihnya cuek, tidak peduli.
Gejala tidak peduli antara lain terlihat pula dari kurang konsistennya menerapkan aturan hukum. Istilah penyalah guna sebagai korban secara tidak langsung menunjukkan sikap lembek, membenarkan pernyataan klasik Gunnar Myrdal tentang bangsa ini sebagai bangsa lembek.
Proses peradilan di Pengadilan Negeri Tangerang tegas menjatuhkan vonis kasus narkoba, tetapi ketegasan itu tidak diimbangi instansi dan penegak hukum lain di tingkat eksekusi. Keadaan ini diperparah sikap, penyalah guna sebagai aib yang berakibat semakin suburnya penyalahgunaan narkoba.
Narkoba menjadi ladang subur meraup uang. Ketika di negeri ini ada 3,2 juta penyalah guna dan setiap orang menghasilkan Rp 300.000 per hari, misalnya, tidak kurang dari Rp 960 miliar uang belanja untuk narkoba per hari. Kasus-kasus pabrik sabu dan pengedar dengan jumlah triliun rupiah menunjukkan narkoba beraroma bisnis yang dekat dengan urusan kekerasan, sindikat plus mafia.
Aparat kepolisian menjadi ujung tombak menangani segala hal, mulai dari maling ayam, kejahatan ekonomi, sampai terorisme, termasuk narkoba. Kita hargai gebrakan mereka, termasuk pemberantasan judi, terorisme, dan pembalakan liar.
Awalnya Polri terlihat tertatih-tatih dan disikapi skeptis. Kemudian ternyata polisi menunjukkan kemampuan. Sebagai penegak hukum, posisi polisi berbeda dengan yang lain, misalnya jaksa. Polisi adalah penegak hukum yang progresif. Tak ada waktu bagi mereka untuk membuka buku sebelum mengambil keputusan. Dalam hitungan detik keputusan harus diambil.
Benar kata Prof Satjipto Rahardjo. Polisi disebutnya penegak hukum jalanan, jaksa sebagai penegak hukum gedongan. Mereka berada langsung di medan perang.
Kita apresiasi pengungkapan kasus-kasus narkoba. Kejadian-kejadian itu hendaknya mengentakkan perasaan dan perubahan sikap tegas dalam menangani kasus-kasus narkoba; keluar dari sikap cuek terhadap penyakit kronis dan masa depan bangsa ini.
No comments:
Post a Comment