Tuesday, September 4, 2007

Malaysia yang Fenomenal


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak tahu persis apakah Malaysia sebagai bangsa sudah terbentuk atau belum, tetapi sebagai negara pada 31 Agustus 2007 ini telah berusia setengah abad. Newsweek, 20-27 Agustus ini, sepanjang 5,5 halaman telah membedah negeri jiran ini dalam format laporan khusus via tulisan Mathtew Bellotti dengan pengantar Abdullah Ahmad Badawi, perdana menteri sekarang.

Tulisan ini bersumber dari mingguan ini plus pengalaman saya sebagai dosen Sejarah Asia Tenggara di UNY tahun 1970-an dan sebagai pensyarah kanan pada Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990-1992. Malaysia sebagai negara berbilang bangsa (Melayu, Cina, dan India) sungguh fenomenal dilihat dari sudut pandang pembangunan ekonomi, ilmu, teknologi, infrastruktur, dan turisme. Pada saat pekik merdeka dikumandangkan 50 tahun yang lalu, tingkat kemiskinan di sana sangat dahsyat, yaitu 60 persen.

Inggris tidak pernah berpikir untuk memakmurkan tanah jajahannya. Sekarang angka kemiskinan itu, menurut Badawi, tinggal 5,7 persen dari total penduduk 24 juta. Berdasarkan konstitusi dan kenyataan sejarah sejak merdeka, Malaysia selalu dipimpin oleh perdana menteri suku Melayu yang pasti Muslim. Di negara itu seorang Melayu mestilah Muslim. Tak terbayangkan seorang Melayu adalah non-Muslim.

Di pucuk kekuasaan simbolik duduklah seorang Yang Di Pertuan Agung, yang dipilih secara bergilir dari dan oleh sembilan sultan negara bagian di Semenanjung sekali dalam lima tahun. Jika ada sebuah negara dengan sembilan raja, maka Malaysia adalah satu-satunya contoh di muka bumi. Sedangkan kekuasaan riil terpegang di tangan perdana menteri yang sejak merdeka berasal dari UMNO, sebuah partai nasionalis Melayu yang dibentuk tahun 1946.

Tengku Abdul Rahman Putera adalah bapak negara Malaysia yang juga perdana menteri pertama. Akibat kerusuhan Mei 1969, pamor kekuasaannya mulai merosot untuk kemudian diserahkan kepada pewarisnya Tun Abdul Razak, Melayu keturunan Bugis. Mahathir Mohamad yang pernah ditahan Tengku Abdul Rahman adalah perdana menteri terbesar, peletak batu fondasi Malaysia modern.

Sesuai visi 2020, dalam tenggang waktu 13 tahun lagi, Malaysia diharapkan sudah muncul sebagai negara industri penuh. Karena Malaysia tidak mau didikte IMF saat krisis moneter di Asia Timur tahun 1997/1998, tidak sampai enam tahun ekonomi negara ini telah pulih.

Rombongan turis mancanegara sangat digalakkan untuk berkunjung demi menguatkan posisi pundi-pundi devisa negara. Dibandingkan Indonesia yang sangat kaya dengan objek turisme, sebenarnya Malaysia jauh di bawah, tetapi mengapa lebih diminati orang? Jawabannya sederhana: negeri jiran itu lebih aman dan secara ekonomi dan politik sangat stabil. Kekuatan teror hampir tidak punya ruang gerak di sana, dienyahkan dengan pembangunan ekonomi.

Kemerdekaan telah mereka isi dengan membangun infrastruktur modern bagi kemajuan negara dan masyarakat. Ketimpangan ekonomi antara tiga suku bangsa secara berangsur tetapi pasti telah semakin menciut. Tragedi Mei memberi pelajaran sangat berharga untuk pemerataan kemakmuran.

Selain itu Malaysia adalah sebuah negara baru yang sadar betul betapa strategisnya makna pendidikan sebagai pilar terpenting bagi kemajuan masyarakat. Maka, tidaklah mengherankan jika di suatu fakultas perguruan tinggi akan ditemukan puluhan pemegang gelar Ph.D. atau doktor sebagai staf pengajar.

Namun, di sisi perkembangan pemikiran keislaman, Malaysia masih ketinggalan oleh Indonesia. Penghasilan yang tinggi seorang profesor belum tentu dengan sendirinya melahirkan karya-karya intelektual kritikal untuk kepentingan jangka jauh sebuah masyarakat yang belum terlalu lama bebas dari penjajahan.

Pragmatisme sebagian besar staf pengajar universitas di sana adalah penghalang utama bagi munculnya pemikiran keislaman yang berkualitas tinggi. Selain itu, faktor ulama konservatif yang terlalu terpukau oleh mazhab fikih al-Syafii juga menjadi penghambat lahirnya pemikiran keislaman yang bersifat terobosan untuk memberi solusi bagi masalah-masalah kontemporer yang dihadapi masyarakat Melayu.

Akhirnya di atas itu semua, kesimpulan Bellotti tentang betapa nyamannya orang bekerja di Malaysia memang didukung oleh kenyataan empirik. Kita kutip: "Malaysia adalah salah satu tempat yang sangat bersahabat dan ramah di muka bumi untuk bekerja dan tinggal.

" Penaka semut mencari gula, ke sanalah TKI-TKW Indonesia berduyun-duyun mencari penghidupan, dan telah turut menyumbang pembangunan negara itu secara signifikan, sekalipun di antaranya ada yang bernasib buruk: dikejar aparat atau dianiaya majikan. Lantaran desakan kemiskinanlah warga kita harus menyabung nyawa di tanah rantau. Malaysia adalah yang terdekat dengan kultur yang mirip untuk didatangi, sebab lapangan kerja di tanah airnya sendiri belum memberi harapan yang cerah setelah 62 tahun merdeka. Selamat Ultah ke-50, semoga tetap aman, damai, dan kerusuhan rasial jangan sampai terulang lagi. Dirgahayu Malaysia.

No comments: