Saturday, September 22, 2007

Perang Melawan Krisis Ekonomi


A Tony Prasetiantono

Perekonomian dunia belum berhenti didera ancaman krisis ekonomi. Belum usai badai kepanikan di bursa efek internasional akibat buruknya kinerja surat-surat berharga di pasar modal yang berbasiskan kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), kini harga minyak dunia memecahkan rekor baru, 80 dollar AS per barrel.

Padahal, sebenarnya panik subprime mortgage mulai ada tanda-tanda mereda, terutama setelah negara-negara maju secara kompak menyuntik likuiditas ke pasar uang. Kombinasi injeksi bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU) saja mencapai 348 miliar dollar AS. Hal ini dilakukan agar berapa pun pelaku bursa memerlukan dana—sebagai respons negatif atas panik subprime mortgage—likuiditas di pasar harus cukup tersedia. Jika likuiditas tidak tersedia, kepanikan bisa berlanjut dan berlipat-lipat, sehingga membahayakan perekonomian dunia.

Bagaimana peta ekonomi saat harga minyak ikut merunyamkan keadaan?

"Deja Vu"?

Sebagian orang percaya, kini perekonomian dunia sedang di ambang krisis ekonomi. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran bahwa perekonomian Indonesia akan terjerumus lagi ke lubang krisis ekonomi yang sama, seperti kejadian 10 tahun silam (1997), terasa traumatis. Akankah kita mengalami hal yang sama (deja vu)?

Harus diakui, ada sejumlah indikasi yang menunjukkan kesamaan ciri-ciri, antara situasi sekarang dan menjelang krisis 1997. Ciri-ciri itu, misalnya derasnya aliran modal asing jangka pendek dari luar negeri (short-term investment) ke negara tertentu yang pasarnya sedang tumbuh pesat (emerging markets). Pada Juli 1997, saat muncul pemicu kegagalan bayar (default) kewajiban luar negeri oleh lembaga-lembaga keuangan Thailand, maka terjadi koreksi kurs mata uang, baik disengaja (devaluasi baht) maupun dipaksa oleh pasar (depresiasi rupiah).

Lalu terjadilah arus modal keluar (capital outflow), menyebabkan harga dollar AS di Indonesia menjadi amat mahal. Inilah ciri awal krisis 1997, yang kini sering dibandingkan dengan situasi sekarang.

Menurut saya, situasi sekarang cukup berbeda. Utang-utang luar negeri pemerintah sudah direstrukturisasi. Jatuh tempo utang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terkonsentrasi pada tahun-tahun tertentu, misalnya 2010 (dilakukan reprofiling). Karena itu, dari sisi utang pemerintah, tidak akan terjadi jatuh tempo utang secara serentak.

Namun harus diakui, apakah reprofiling yang bisa menyebar jadwal jatuh tempo dapat efektif dilakukan di kalangan utang swasta, belum jelas. Memang pemerintah pernah memiliki lembaga yang mengurus ini, yakni Indonesian Debt Restructuring Agency (Indra) dan Jakarta Initiative Task Force (JITF). Namun, lembaga itu kini tidak ada lagi meski Bank Indonesia dan Departemen Keuangan terus memantau.

Hal lain yang membedakan tahun 2007 dari 1997 adalah kondisi neraca pembayaran. Pada 1997, keseimbangan eksternal (external balance) kita terus didera defisit transaksi berjalan, yakni defisit pada pos ekspor-impor barang dan jasa. Namun, kini situasinya berubah. Pos ini sekarang surplus. Neraca perdagangan juga surplus besar, terutama karena tingginya harga-harga komoditas primer yang terangkat akibat krisis energi.

Minyak kelapa sawit menjadi primadona sebagai energi substitusi dan mempunyai andil besar yang mendorong ekspor 2006 mencapai 100,36 miliar dollar AS, rekor baru perdagangan internasional kita. Ekspor bulanan kita juga mulai mendekati 10 miliar dollar AS, yang juga merupakan rekor baru.

Kinerja bagus perdagangan internasional yang dibarengi arus deras masuk modal asing jangka pendek yang berburu ekuitas nasional, seperti obligasi pemerintah dan obligasi korporasi swasta, menyebabkan cadangan devisa melambung ke level 51,5 miliar dollar AS (September 2007). Inilah cadangan devisa terbesar sepanjang sejarah meski masih tetap di bawah Thailand (73 miliar dollar AS), Malaysia (90 miliar dollar AS), Hongkong (137 miliar dollar AS), Singapura (147 miliar dollar AS), dan India (218 miliar dollar AS). Apalagi dibandingkan dengan negara "terpanas" di dunia, China (1.330 miliar dollar AS).

Hal lain yang berbeda adalah sikap AS menangani krisis. Tahun 1997, saat episentrum krisis terletak di Asia (Indonesia, Thailand, Korea), AS tampak tidak all out mengatasinya. AS kurang begitu berkepentingan memadamkan krisis di Asia. Lain halnya jika krisis itu terjadi di Meksiko, tetangga terdekatnya, sebagaimana ditunjukkan saat Meksiko, Brasil, dan Argentina terkena krisis pada 1984 dan 1995. AS dengan sigap cepat memasok likuditas dalam jumlah besar, 40 miliar dollar AS, untuk menanggulanginya.

Saat Indonesia terbenam krisis 1997-1998, IMF yang didukung AS cuma menyuntik dana 1 miliar dollar AS setiap bulan, itu pun dengan persyaratan persetujuan letter of intent yang ketat. Akibatnya, krisis pun berlarut-larut. Kini AS dan sekutu ekonominya tampak serius dan intens berupaya menghindari krisis yang mendalam dan meluas.

"Lesson learned"

Meski demikian, kewaspadaan harus ditingkatkan. Segala sesuatu bisa terjadi, seperti prediksi Leebs (2004, 2006), harga minyak bisa menembus 100 dollar per barrel tahun ini dan kelak 200 dollar AS pada 2010. Prediksi ini mendekati benar.

Dengan tekanan harga minyak yang kian serius, inflasi akan kembali mengancam. Konsekuensinya, bank sentral AS (Fed) belum tentu jadi menurunkan suku bunga, dari 5,25 persen menjadi 5,0 persen, pada pertemuan 18 September 2007 besok. Di satu pihak, memang urgen untuk menurunkan suku bunga agar membantu kinerja subprime mortgage. Namun di sisi lain, ancaman inflasi memerlukan suku bunga tetap, atau bahkan dinaikkan.

Dinamika perekonomian dunia yang besar ini meninggalkan pesan penting. Selama ini sektor finansial banyak menghasilkan produk-produk derivasi. Bahkan subprime mortgage yang sebenarnya kualitasnya kurang baik pun bisa disekuritisasikan menjadi surat-surat berharga yang atraktif. "Kreativitas" ini sekali tempo tentu akan terkoreksi.

Tragedi bangkrutnya perusahaan hedge fund Long-Term Capital Management (LTCM) karena krisis finansial di Rusia (1998) merupakan contoh lain, betapa sektor finansial berisiko tinggi. Kini sebuah koreksi penting telah terjadi dan amat mungkin berulang pada masa datang.

Bagi para penabung "tradisional" seperti orangtua kita dulu, mereka bakal tersenyum, dalam situasi ini, ternyata menabung dalam bentuk logam mulia (emas) selalu aman dan tidak goyah oleh terpaan rumor. Penabung tradisional juga tidak perlu mempelajari rumus matematika derivatif yang jelimet seperti dilakukan Robert C Merton dan Myron S Scholes, dua pemenang Nobel Ekonomi 1997. Keduanya memimpin LTCM, tetapi kemudian rugi hingga 6,0 miliar dollar AS, dan akhirnya bangkrut pada 2000.

Inilah realitas getir perekonomian dunia. Penuh atraksi, tetapi juga kaya ironi. Kekompakan, kebersamaan, dan konsistensi otoritas negara-negara maju akan menjadi kunci peredam krisis ekonomi kali ini. Semoga tidak berlarut.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

No comments: