Wednesday, September 12, 2007

Tiba di Bandara, Sharif Langsung Dideportasi



Bulan Oktober Bhutto Kembali ke Pakistan

Islamabad, Senin - Beberapa jam setelah tiba di bandara Islamabad, Pemerintah Pakistan mendeportasi mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif (58) kembali ke Arab Saudi, Senin (10/9). Sebelum dideportasi, Sharif sempat tertahan di dalam bandara selama 90 menit karena dia menolak memberikan paspornya.

Sharif digiring naik ke pesawat yang menuju ke Arab Saudi. Tanpa perlawanan, Sharif tetap yakin kepulangannya itu akan memberi pengaruh dan kontribusi meruntuhkan kekuasaan Presiden Pervez Musharraf. Pemerintah langsung mendeportasi Sharif karena, menurut berbagai pengamat, pemerintahan Musharraf khawatir popularitas Sharif akan menandingi Musharraf. Karena itu, Sharif dideportasi ke Arab Saudi yang menjadi tempat pengasingannya sejak tahun 2000.

Sharif, yang pernah dua periode menjabat PM Pakistan, tiba di bandara lebih awal. Begitu tiba, dia langsung bersalaman dengan para pendukungnya. "Pergi, Musharraf!" "Hidup Nawaz Sharif!" Begitu teriakan-teriakan dari para pendukungnya. Sikap Sharif berubah tidak senang karena harus menyerahkan paspornya pada petugas imigrasi yang naik ke pesawat. Setelah berdebat selama 90 menit, Sharif digiring polisi turun dari pesawat. Begitu tiba di ruang tunggu VIP, Sharif ditahan. Sebelum ditahan dan dideportasi, Sharif sempat menyatakan, dirinya senang dapat kembali ke tanah airnya. "Rasanya luar biasa. Tetapi, setelah ini saya tidak tahu. Apalagi jika saya harus melewati itu," kata Sharif sambil menunjuk ke arah pintu keluar bandara.

Sebelum Sharif tiba di bandara, pemerintah menahan para aktivis Partai Liga Muslim Pakistan pimpinan Sharif untuk menghalangi upaya mereka masuk bandara Islamabad. Ketika berusaha masuk, terjadi bentrokan antara pendukung Sharif dan polisi. Sekitar lima orang dilaporkan terluka setelah terjadi baku tembak di antara kedua belah pihak.

Aparat polisi melemparkan gas air mata dan menggunakan tongkat untuk membubarkan ratusan pendukung Sharif yang berkumpul tiga kilometer dari bandara. "Sekarang status negeri ini dalam keadaan perang dan Musharraf yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini," kata juru bicara partai, Siddiq Farooq.

Siddiq menilai, langkah pemerintah untuk mendeportasi Sharif jelas salah. Karena itu, perkara ini akan diproses hukum di tingkat Mahkamah Agung (MA). Hal ini karena bulan lalu MA sudah memutuskan memperbolehkan Sharif pulang. Pemerintah juga tidak diperbolehkan menghalangi rencana kepulangan Sharif.

Ikut pulang

Kepulangan Sharif selalu akan membuat Musharraf gusar. Musharraf-lah yang mengirim Sharif ke Arab Saudi untuk mengasingkan diri selama 10 tahun. Untuk imbal baliknya, Sharif tidak akan dihukum penjara seumur hidup atas kasus korupsi. Sharif dituduh terlibat korupsi ketika menjalani dua periode PM tahun 1990-an.

Menanggapi deportasi Sharif, Uni Eropa (UE) berpendapat, seharusnya Sharif diberikan kesempatan untuk membela diri di pengadilan Pakistan. "Menurut pandangan kami, keputusan MA itu sudah jelas dan jelas harus dihormati," kata juru bicara Komisi Eksekutif UE Christiane Hohmann.

Selain Sharif, ternyata mantan PM Benazir Bhutto juga berencana pulang ke Pakistan, Oktober mendatang, agar bisa menjadi salah satu kandidat dalam pemilu. "Beliau sudah memutuskan akan kembali ke Pakistan mungkin bulan depan. Kepastian kepulangan beliau akan diumumkan 14 September mendatang. Beliau harus kembali memimpin partai agar dapat ikut pemilu dan ikut kampanye," kata juru bicara Bhutto, Wajid Hassan.

Hassan juga mengaku sangat yakin kepulangan Bhutto tak akan membawa masalah seperti yang terjadi pada Sharif. "Beliau akan kembali dan jelas akan bisa memenangi pemilu," ujarnya.

Hingga kini Bhutto sedang berunding dengan Musharraf untuk membicarakan sistem pembagian kekuasaan. Musharraf akhirnya bersedia berunding dengan Bhutto mengingat popularitas Musharraf yang semakin turun sejak Maret lalu, tepatnya ketika Musharraf berusaha memecat Ketua MA. Musharraf berharap dengan bekerja sama dengan Bhutto, dia akan dapat mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden. Namun, hingga kini belum ada titik terang dari negosiasi itu. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

No comments: