Saturday, September 22, 2007

Pakistan


Elite yang Haus akan Kekuasaan

Luki Aulia

Sungguh tidak enak posisi Presiden Pakistan Pervez Musharraf beberapa bulan terakhir ini. Betapa tidak, belum tuntas upaya Musharraf memperbaiki popularitasnya yang memudar, sudah diterjang pula dengan masalah deportasi mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif ke Arab Saudi. Popularitas Musharraf mulai pudar sejak dia berusaha memecat hakim ketua di Mahkamah Agung, Maret 2006 lalu.

Musharraf yang sadar akan posisinya itu berusaha memulihkan popularitasnya dengan bekerja sama—tepatnya bernegosiasi— dengan mantan PM Benazir Bhutto yang mengasingkan diri di London, Inggris.

Namun, negosiasi pembagian kekuasaan dengan Bhutto itu belum menemukan titik terang. Sebaliknya, justru buntu karena Musharraf bersikeras tidak mau menanggalkan jabatannya sebagai kepala staf Angkatan Darat. Padahal, hal itu sudah sesuai dengan konstitusi Pakistan yang mengharuskan presiden meletakkan jabatan militernya. Itu pula yang menjadi tuntutan Bhutto yang berencana kembali ke Pakistan, 18 Oktober 2007.

Bhutto juga meminta agar dakwaan korupsi terhadap dirinya dicabut. Majalah Newsweek, 31 Agustus 2007, menyebutkan, Bhutto dan Musharraf sama-sama untung dari proses negosiasi ini. Pada satu sisi, Musharraf akan lebih tenang. Dengan merangkul, Bhutto tidak akan mengganggu upaya Musharraf menjadi presiden lagi.

Sementara Bhutto juga menyodorkan tawaran. Bhutto bersedia membantu Musharraf hanya jika dia diperbolehkan pulang ke Pakistan dan dakwaan korupsi yang dikenakan kepadanya dihapuskan. Tak hanya itu. Bhutto juga meminta kembali menjadi PM untuk ketiga kalinya. Menurut Newsweek, skenario kedua tokoh itu tampak ideal, tetapi sulit terwujud. Pasalnya, baik Musharraf maupun Bhutto tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari partai masing-masing. Tokoh-tokoh di Partai Rakyat Pakistan (PPP)-Bhutto dan Partai Liga Muslim Pakistan (PML)-Musharraf sama-sama tidak mendukung. "Orang-orang penting PML sudah mengancam Musharraf. Kalau sampai dia tanda tangan hasil kesepakatan, dipastikan ada revolusi," kata pengamat politik Hasan Askari Rizvi.

Tiap-tiap partai tidak saling percaya dan khawatir akan dikhianati. Kubu Musharraf keberatan karena permintaan Bhutto dianggap terlalu berat. Bhutto meminta parlemen menyetujui perubahan konstitusi sebelum pemilihan presiden. Ada dua hal yang harus diubah. Pertama, aturan yang memperbolehkan seseorang menjadi PM untuk ketiga kalinya. Kedua, aturan yang menghapuskan kekuasaan presiden untuk membubarkan parlemen. Awalnya kubu Musharraf keberatan, tetapi kemudian mengiyakan asalkan parlemen terlebih dahulu memilih Musharraf sebagai presiden sebelum tuntutan Bhutto dipenuhi. Namun, giliran Bhutto yang keberatan khawatir jika Musharraf ditunjuk kembali menjadi presiden, segala hasil kesepakatan tak akan terwujud.

Jika negosiasi dengan Bhutto belum juga menemukan titik terang, Pakistan dikhawatirkan akan mengalami krisis politik. Apalagi pemilihan presiden akan segera digelar kurang dari lima pekan lagi. Musharraf kian terdesak waktu. Jika tidak ada kesepakatan dengan Bhutto, melayanglah peluang Musharraf kembali duduk di kursi kepresidenan. Pengamat politik Ayaz Amir menilai negosiasi Musharraf-Bhutto tidak akan menghasilkan dan menjamin apa pun. Begitu Musharraf menjadi calon presiden, kelompok anti-Musharraf akan beramai-ramai protes ke jalan. Belum lagi Mahkamah Agung (MA) yang diyakini akan mengeluarkan beberapa petisi yang menentang pemilihan kembali Musharraf. Di sela-sela kekacauan itu, mantan PM Nawaz Sharif (58) akan melenggang kembali ke Pakistan.

Sodok kiri kanan

Ada atau tidak ada keputusan negosiasi, Bhutto sudah bertekad pulang ke tanah air untuk terjun lagi ke panggung politik dengan menjadi PM. Tidak ada yang bisa memperkirakan apakah nasib Bhutto akan berakhir seperti Sharif atau lebih beruntung begitu menginjakkan kaki di Pakistan. Jika pemerintah kembali panik mendeportasi Bhutto—seperti saat mendeportasi Sharif—bisa dipastikan popularitas Musharraf tak tersisa.

Posisi Musharraf semakin tidak nyaman karena kini dia berhadapan dengan MA. Keputusan mendeportasi Sharif dituding tidak menghormati MA yang sudah memperbolehkan Sharif pulang. Berbagai pihak, termasuk komunitas internasional, menyesalkan itu dan meminta Musharraf menghormati putusan MA. Atas tindakan semena-mena itu, Musharraf dituding jelas-jelas bertindak tak ubahnya seorang diktator.

Akibat keputusan deportasi itu, popularitas Sharif justru meningkat. Sharif kini dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap Musharraf. Padahal, sikap dan perilaku Sharif tidak jauh berbeda dengan Musharraf saat ini. Sharif pernah memaksa parlemen menyetujui pelaksanaan syariah Islam. Akibatnya, dia kehilangan dua pertiga mayoritas dukungan di parlemen. "Kita semua melakukan kesalahan. Kita harus belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi," kata Sharif yang yakin memenangi pemilu jika ada kesempatan.

Banyak pihak yakin Sharif akan sangat mungkin menang jika ikut mencalonkan diri dalam pemilu. Apalagi mengingat partai Musharraf, PML, sebagian besar berisi orang-orang pindahan dari partainya Sharif. Dari hasil jajak pendapat, lebih dari 60 persen warga Pakistan tidak mau Musharraf menjadi presiden lagi. "Sentimen antimiliter makin tinggi. Rakyat ingin ada penegakan hukum. Militer juga diminta untuk kembali ke barak. Persis seperti apa yang sedang dikampanyekan Sharif. Militer harus dibatasi pada fungsi pertahanan saja," kata Letnan Jenderal (veteran) Talat Masood.

Menjadi Musharraf saat ini memang tampak tidak menyenangkan sama sekali. Di dalam negeri, Musharraf disodok kiri kanan. Musharraf makin terpojok karena tidak juga berhasil menangani gejolak kekerasan yang dilakukan kelompok pro-Taliban di perbatasan Pakistan-Afganistan. Padahal Pakistan menjadi sekutu setia AS dalam kampanye menumpas terorisme.

Dengan kondisi keamanan morat-marit dan tidak jelas arah tujuan, Musharraf telah mengambil langkah yang terburu-buru dan keliru berulang kali. Keputusan Musharraf yang sembrono dan terkesan panik akan menyeret Pakistan ke krisis politik yang lebih parah. Atau karena itu rakus kekuasaan?

No comments: