Musthafa Abd Rahman
Ingatan tentu masih segar akan drama penyanderaan 23 warga Korea Selatan oleh Taliban di Afganistan yang baru dibebaskan semuanya pada hari Kamis (30/8) setelah Taliban mendapatkan uang tebusan. Tahun lalu Taliban juga menyandera seorang fotografer Italia yang juga baru dibebaskan setelah Taliban mendapatkan uang tebusan.
Kini Taliban masih menyekap seorang insinyur berkewarganegaraan Jerman dan beberapa warga Afganistan yang bekerja untuk lembaga asing. Drama peristiwa sejumlah aksi penyanderaan itu menunjukkan Taliban kembali menggeliat. Geliat kembali Taliban itu mulai dirasakan secara mencolok dalam dua tahun terakhir ini.
Semua proses politik untuk menciptakan Afganistan baru dan mengubur era Taliban ternyata belum sukses sepenuhnya. Proses politik itu seperti dituangkan dalam kesepakatan Bonn bulan Desember 2001 yang meletakkan jadwal waktu bagi proses politik di Afganistan, mulai dari penetapan konstitusi tahun 2003, pemilu presiden tahun 2004, dan pemilu legislatif tahun 2005.
Operasi militer NATO dan ISAF (pasukan internasional untuk membantu menciptakan keamanan) yang semakin intensif terakhir ini, khususnya di wilayah Afganistan timur dan selatan yang merupakan basis Taliban, tidak pula mampu meredam kekuatan Taliban.
Ada sejumlah tanda dan realita lapangan yang menunjukkan Taliban kembali mampu unjuk gigi.
Pertama, Taliban ditengarai berhasil mendapat suplai senjata baru dan menerapkan taktik baru pula. Taktik baru itu dalam bentuk serangan bunuh diri dan aksi penyanderaan terhadap warga asing atau warga Afganistan yang bekerja untuk lembaga asing. Adapun suplai senjata baru dipertunjukkan dalam bentuk Taliban mampu melancarkan banyak serangan yang membawa kerugian besar di kalangan militer dan sipil Afganistan, bahkan juga pasukan internasional yang tergabung dalam NATO atau ISAF.
Misalnya, dalam serangan di kota Kandahar oleh Taliban pada 15 Januari 2006 telah jatuh korban tewas 30 tentara dan warga sipil Afganistan. Pada masa sejak Januari hingga Oktober 2006, Taliban telah melakukan serangan sebanyak 106 kali berbanding hanya 17 serangan pada 2005. Serangan rudal yang dilakukan Taliban juga meningkat dari 196 serangan pada tahun 2004 menjadi 265 serangan pada tahun 2006.
Diperkirakan, serangan Taliban akan meningkat lagi pada masa mendatang, menyusul pernyataan sejumlah pimpinan Taliban bahwa mereka telah berhasil merekrut dalam jumlah besar para sukarelawan pelaku serangan bunuh diri.
Kedua, jumlah korban dari pihak Taliban juga semakin besar hingga mencapai 200 korban tewas dalam sejumlah peristiwa serangan. Hal itu menunjukkan keberhasilan Taliban merekrut pasukan baru. Taliban dalam hal ini berhasil mengambil kesempatan semakin kuatnya kemarahan dan kekecewaan rakyat Afganistan terhadap pemerintahan Presiden Hamid Karzai, khususnya di Afganistan selatan dan timur yang berpenduduk mayoritas etnis Pashtun, disebabkan kegagalan pemerintah memberantas pertanian narkotika dan penyediaan barang-barang kebutuhan pokok rakyat.
Ketiga, semakin luasnya cakupan serangan Taliban yang meliputi banyak wilayah di Afganistan, seperti wilayah Nouristan, Kunar, Laghman, Helmand, Ghazni, Kandahar, Kandouz, Lougar, Orgun, dan juga ibu kota Kabul.
Faktor bangkit
Mengapa Taliban tiba-tiba ternyata mampu menggoyang keamanan Afganistan? Ada sejumlah faktor yang membantu bangkitnya kembali Taliban itu.
Pertama, keberhasilan Taliban membangun koalisi longgar dengan gerakan-gerakan perlawanan lainnya yang sama-sama anti-AS dan Barat. Karena itu, aksi serangan terhadap pasukan pemerintah dan asing tidak hanya dilakukan Taliban, tetapi juga gerakan perlawanan lainnya.
Koalisi longgar itu mencakup Tanzim Al Qaedah dan faksi-faksi Islam seperti Hezbi Islami pimpinan Gulbuddin Hekmatyar dan Hezbi Islami sayap Younis Khalis. Hekmatyar punya pengaruh di Nouriztan, Qunar, dan Laghman di timur, serta Ghazni dan Lougar di selatan. Turut serta dalam koalisi itu adalah satuan kabilah atau suku dan kelompok yang membawa bendera agama.
Koalisi luas tersebut memegang peran penting dalam merekrut sukarelawan baru. Meski faksi-faksi itu antara satu dan lain berbeda, mereka disatukan oleh sikap dan prinsip yang sama-sama antikeberadaan asing di Afganistan.
Kedua, rendahnya prestasi pemerintahan Presiden Hamid Karzai dalam proses membangun kembali Afganistan pasca- invasi AS ke negara itu pada tahun 2001. Pemerintahan Karzai dianggap gagal dalam membangun kekuatan militer yang nasionalis dan profesional, gagal melucuti senjata milisi, gagal memperkuat legitimasi pemerintah pusat dalam menghadapi otoritas kekuatan lokal yang dipegang para panglima perang lokal, terus merosotnya tingkat kehidupan rakyat, serta kian meluasnya pertanian narkotika. Diperkirakan, produk narkotika di Afganistan mencapai sepertiga penghasilan negara itu dan sekitar 90 persen produk narkotika dunia.
Dalam konteks politik, pemerintahan Karzai gagal membangun sistem politik yang adil. Karzai ditengarai telah membentuk elite baru yang didominasi koalisi utara (etnis Uzbek dan Tajik) dengan mengesampingkan etnik Pashtun yang merupakan basis Taliban. Karzai juga melakukan kesalahan dengan merekrut kembali figur-figur yang berkuasa prakekuasaan Taliban. Figur-figur itu dituduh telah mengobarkan perang saudara dan gagal menciptakan stabilitas pada masa pra-Taliban. Banyak kalangan merasa kecewa atas kehadiran mereka di lingkaran elite sekitar Presiden Karzai.
Ketiga, pengaruh regional juga berandil bagi bangkitnya kembali Taliban. Meskipun tidak ada informasi jelas tentang peran langsung kekuatan regional dalam mendorong kebangkitan kembali Taliban itu, tetapi tidak bisa dilepaskan dengan situasi bergejolak di Provinsi Balushistan dan Warizistan di Pakistan. Di Balushistan kini terjadi aksi makar terhadap pemerintah pusat Pakistan. Adapun di Warizistan, partai Islam menguasai parlemen. Lingkungan itu menjadi kondusif untuk membuka jalur suplai dan dukungan terhadap Taliban dari dua wilayah Pakistan tersebut yang terletak di perbatasan dengan Afganistan.
Keempat, di tingkat internasional, ada perbedaan pendapat di dalam NATO dalam strategi menghadapi Taliban. Ada dua pendapat di dalam NATO itu.
Pendapat pertama adalah terus memperluas operasi militer hingga Taliban tumpas. Pendapat ini merupakan pendapat AS dan Inggris.
Pendapat kedua, operasi militer harus dibarengi dengan upaya solusi politik dan ekonomi. Pendapat ini berasal dari Perancis, Jerman, Spanyol, dan Italia. AS dan Inggris juga meminta ditambah jumlah pasukan NATO. Sedangkan Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol meminta peningkatan kualitas senjata pasukan NATO, bukan jumlahnya.
Menurut kubu kedua itu, penambahan jumlah pasukan NATO tidak akan bisa melemahkan atau menghentikan aktivitas Taliban, tanpa dibarengi solusi politik dan ekonomi.
Selain itu, juga ada perbedaan pendapat antara NATO serta AS di satu pihak, dan Pakistan di pihak lain soal faktor kebangkitan Taliban itu dan cara menghadapinya. NATO dan AS cenderung menyalahkan Pemerintah Pakistan dan bertanggung jawab atas bangkitnya Taliban itu, karena lalai dalam mengontrol perbatasan dengan Afganistan dan tidak mengizinkan NATO memburu aktivis Taliban yang lari ke Pakistan. Sedangkan Islamabad menyebut situasi dalam negeri di Afganistan dan kebijakan NATO di negara itu yang mendorong bangkitnya kembali Taliban.
No comments:
Post a Comment