Keberadaannya Tidak Diperlukan Lagi karena Tak Netral
Jakarta, Kompas - Mantan PM Timor Leste, Mari Alkatiri, menegaskan, pasukan Australia yang bertugas di Timor Leste sejak Mei 2006 adalah ilegal karena tidak pernah mendapat persetujuan dari parlemen. Kehadiran pasukan Australia itu juga tidak dibutuhkan karena tidak lagi bersikap netral di Timor Leste.
Alkatiri mengemukakan hal itu dalam wawancara dengan Kompas, Senin malam lalu di Jakarta. Karena ilegal dan tidak netral, Alkatiri menghendaki sekitar 1.100 tentara dan polisi Australia agar ditarik dari Timor Leste.
Sementara dalam kuliah umum di FISIP Universitas Indonesia, Rabu (12/9), Alkatiri mengatakan, tantangan besar yang dihadapi negara muda seperti Timor Leste dalam era globalisasi adalah kepercayaan diri dan kemandirian.
"Hal itu hanya bisa dicapai dengan penguasaan teknologi, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Dengan begitu, kami bisa duduk di kursi pengemudi dan mengemudikan mobil kami sendiri, tidak sekadar menjadi sopir taksi yang keuntungannya dinikmati pihak lain," papar Alkatiri.
Belum diratifikasi
Alkatiri dalam wawancara mengakui, saat menjadi PM Timor Leste (Mei 2002-Juni 2006), dia yang meminta tentara Australia mengatasi kerusuhan pada Mei 2006. "Saya ikut menandatangani itu. Namun, bulan Juni saya dijatuhkan dan kehadiran pasukan Australia itu belum diratifikasi parlemen yang saat itu tak bisa berfungsi karena kerusuhan," tutur Alkatiri. Oleh karena itu, kehadiran mereka ilegal.
Apalagi, lanjut Alkatiri, kehadiran pasukan Australia juga tak netral. "Hal ini bisa membawa Timor Leste ke jurang perpecahan," ujarnya. Menurut Alkatiri, pasukan Australia punya opsi khusus. Bahkan, saat krisis mencapai puncak, pasukan Australia terlihat membela kelompok tertentu dan menentang Fretilin pimpinan Alkatiri.
Sikap ini pun dilakukan di depan pendukung Fretilin. Bendera Fretilin dicopot dan dicampakkan di depan pendukungnya. "Saya juga melihat sendiri kejadian itu. Namun, mereka berargumen semuanya perbuatan oknum," kata Alkatiri.
Ada fakta ketika pasukan Australia juga mengatakan bahwa pihak Xanana (PM Xanana Gusmao) sebagai yang baik dan Fretilin jahat. "Begitu pula saat pemilihan presiden lalu, Xanana itu baik dan calon presiden dari Fretilin itu jahat," ujar Alkatiri.
Saat diprotes, pasukan Australia selalu berargumen bahwa itu tindakan oknum, bukan perintah. Namun, kejadian itu selalu terulang.
Alkatiri yang berseteru dengan PM Xanana Gusmao seusai pemilu Juni lalu juga mengecam operasi militer tentara Australia yang menewaskan sejumlah warga Timor Leste. Operasi militer ini atas perintah Xanana yang saat itu menjabat presiden. "Ini berarti pemerintahan ini juga ilegal dan mereka harus bertanggung jawab di depan publik," ujarnya.
Menurut Alkatiri, masalah keberadaan pasukan Australia ini bisa saja dibawa ke parlemen sekarang ini untuk diratifikasi, tetapi bakal menghadapi perdebatan sengit. Dari 65 kursi parlemen Timor Leste, 21 kursi dikuasai Fretilin, sementara aliansi empat partai pimpinan CNRT yang dipimpin Xanana menguasai 37 kursi. Sisa kursi dikuasai beberapa partai kecil.
Alkatiri menegaskan, Presiden Jose Ramos Horta telah meminta pasukan Australia bertugas sampai tahun 2008 karena ia ingin mempertahankan kekuasaannya. Seharusnya, mereka berkuasa tanpa perlu mendapat perlindungan pasukan asing. Namun, mereka melakukan itu dan sama saja mereka membuka konflik baru antara penguasa dan masyarakat. Konflik seperti ini akan panjang dan menyakitkan.
"Lagi pula, jika kedaulatan negara ini terus didukung kekuatan asing, sia-sia saja 24 tahun perjuangan yang ada. Karena sama saja kita membuat sebuah kolonialisme baru," ujar Alkatiri. Ia menegaskan, Timor Leste memerlukan pasukan asing, tetapi yang berada di bawah misi penjaga perdamaian PBB. Pasukan Australia di luar misi ini.
Alkatiri mengiyakan, sikap tak netral Australia ini bisa saja erat berkaitan dengan sikapnya yang keras dan tanpa kompromi saat berunding dengan Australia soal eksplorasi migas di Celah Timor. "Saya melakukan semua itu karena saya menjadi PM dari Timor Leste. Jadi, saya harus membela kepentingan bangsa dan negara Timor Leste," ujarnya.
Atas upaya perundingannya itu, tawaran 50 persen pembagian hasil eksplorasi di area pengembangan bersama (joint development area) naik menjadi 90 persen bagi Timor Leste. Di area Sun Rise, tawaran naik dari 18 persen menjadi 50 persen.
"Kami bersama dengan badan internasional melakukan tender transparan, tender terbuka bagi eksplorasi di zona ekonomi eksklusif. Semua sudah disetujui parlemen," ujarnya. (ppg/fro)
No comments:
Post a Comment