Tuesday, September 4, 2007

Presiden Gul dan Redupnya Peran Militer Turki


Musthafa Abd Rahman

Abdullah Gul (57) akhirnya terpilih sebagai Presiden Turki, Selasa (28/8), dengan meraih dukungan suara 337 dari 550 anggota parlemen. Proses terpilihnya Gul sebagai Presiden Turki itu dinilai peristiwa luar biasa karena didahului oleh gonjang-ganjing politik selama hampir enam bulan.

Dominasi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di parlemen yang memberi payung politik kepada Gul, ternyata belum cukup mengantarkan Gul dengan mudah menuju kursi presiden. Pasalnya, Gul yang berasal dari AKP yang berbasis Islam dan istrinya mengenakan jilbab, ditentang keras oleh militer dan kubu sekuler. Lembaga militer khususnya, selama ini bertindak sebagai pengawas dan pelindung ajaran sekuler versi Mustafa Kemal Ataturk, proklamator Negara Turki modern tahun 1923, yang menjadi dasar negara tersebut.

Militer dan kaum sekuler memandang pencalonan Gul yang berlatar belakang Islami sebagai presiden merupakan pendobrakan terhadap benteng terakhir instrumen sekuler di Turki yang disimbolkan lewat jabatan presiden itu. Militer dan kaum sekuler juga tidak rela melihat istri Gul yang berjilbab masuk ke istana presiden yang dipandang sebagai simbol sekulerisme di Turki.

Tak pelak lagi, muncullah krisis politik. Perdana Menteri (PM) Turki Tayyip Recep Erdogan yang juga Ketua AKP terpaksa menggelar pemilu dini legislatif pada akhir Juli lalu yang akhirnya juga dimenangi secara signifikan oleh AKP.

Hasil pemilu itulah yang membuat PM Erdogan berani meminta militer secara terang-terangan tidak ikut campur urusan politik dan tetap mencalonkan Gul sebagai presiden. PM Erdogan tidak menggubris saran dari berbagai pihak agar mencalonkan figur netral yang bisa diterima militer, kaum sekuler, dan Islamis.

Militer pun yang pernah empat kali melakukan aksi kudeta (tahun 1961, tahun 1971, 1980, dan 1997) tidak berkutik menghadapi manuver politik PM Erdogan itu.

Pada masa pemerintahan AKP selama lima tahun terakhir ini, peran militer terus merosot dan aksi kudeta militer sangat sulit terulang lagi. Maka, militer kini menjadi lembaga yang melaksanakan kebijakan yang telah digariskan, bukan lagi lembaga yang merancang dan mendikte kebijakan.

Perubahan sikap dan cara berpikir militer yang semakin reformis mendapat sambutan hangat dan kian mendapat simpati dari rakyat Turki. Media massa dan pengamat Turki menyebut bintang militer sudah mulai meredup. Sikap militer yang melemah itu ditengarai sebagai harga yang harus dibayar untuk memuluskan jalan Turki menjadi anggota penuh Uni Eropa.

Uni Eropa yang berpijak pada filosofi sekuler sipil tentu tidak akan menerima anggota baru dengan tipikal Turki yang menganut faham sekuler militeristik. Karena itu, Uni Eropa memberi syarat utama mundurnya militer Turki dari kehidupan politik untuk bisa maju ke meja perundingan keanggotaannya.

Empat faktor

Ada empat faktor yang membuat militer Turki tidak memiliki pilihan kecuali menciutkan perannya di pentas politik. Pertama, dukungan rakyat sangat kuat atas upaya Turki menjadi anggota Uni Eropa. Hal itu memaksa militer menyiapkan dirinya mundur dari dunia politik sebagai harga yang harus dibayar untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedua, pemerintah yang berasal dari AKP dengan basis dukungan parlemen yang kuat, ikut mendorong militer mundur dari pentas politik.

Ketiga, wacana politik moderat pemerintah AKP yang selalu menegaskan tetap memelihara sistem sekuler, penegakan demokrasi, menampilkan Islam moderat dan terbuka yang sesuai dengan tuntutan modern.

Presiden Gul ketika melakukan sumpah jabatan kembali berjanji tetap memelihara sistem sekuler, demokrasi, dan perluasan kebebasan. Ia menyebut sistem sekuler merupakan proyek perdamaian sosial yang harus dijalankan oleh semua masyarakat, termasuk masyarakat beragama.

Keempat, keberhasilan pemerintah AKP di dalam negeri, regional, dan internasional. Di dalam negeri, pemerintah AKP berhasil melakukan reformasi ekonomi fantastis hingga mencapai pertumbuhan 7 persen per tahun, mampu memberantas praktik korupsi, dan bisa menunjukkan kebersihan pemerintahannya.

Di tingkat regional, pemerintah AKP berhasil menjalin hubungan yang seimbang dengan Iran, dunia Arab, dan Israel. Di tingkat internasional, pemerintah AKP merupakan Pemerintah Turki pertama yang berhasil melobi Uni Eropa bersedia berunding sejak tahun 2005 tentang masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa.

Pemerintah AKP juga berhasil membangun hubungan yang kuat dengan AS. Dalam konteks keberhasilan AKP yang luar biasa itu, parlemen yang didominasi AKP mulai berani melakukan amandemen atas konstitusi sesuai dengan permintaan Uni Eropa yang mengantarkan militer harus mundur dari panggung politik secara bertahap dan terhormat.

Akibatnya, sejumlah nyali militer pun hilang, seperti pertama, makin ciutnya pengaruh militer dalam dewan keamanan nasional dengan cara mengurangi jumlah anggota militer dalam lembaga itu.

Selama ini dewan keamanan nasional menjadi semacam pemerintah dalam pemerintah di Turki.

Posisi sekjen dewan keamanan nasional itu kini dipercayakan kepada pejabat tinggi departemen luar negeri. Sebelumnya, posisi sekjen dewan itu selalu dijabat militer dengan pangkat jenderal.

Kinerja dewan keamanan nasional tidak lagi tertutup seperti sebelum ini, tetapi sudah boleh diliput media massa. Bahkan, setiap akhir sidang, selalu digelar konferensi pers untuk menyampaikan hasil sidang tersebut.

Lalu, anggaran belanja militer kini di bawah pengawasan parlemen, akuntan, dan lembaga hukum. Sebelumnya, lembaga militer semacam negara dalam negara, bahkan di atas negara, di mana anggaran belanja dan pengeluarannya tidak dikontrol oleh siapa pun.

Kemudian, panglima militer kini telah mengeluarkan instruksi untuk memulai melawan korupsi dan praktik ilegal lainnya. Puluhan perwira telah ditangkap dan diajukan ke mahkamah militer karena tuduhan korupsi itu.

Reformasi Turki

Jika tidak aral melintang, proses reformasi di Turki pada masa mendatang akan semakin mendasar.

Turki dikatakan mulai menghadapi era baru yang berbeda dari realitas sosial dan politik yang menghinggapi negara itu sekitar selama lebih dari 80 tahun terakhir ini, yakni sejak Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan Negara Turki modern pada tahun 1923.

Era Kemal Ataturk ditandai oleh penerapan sistem sekuler secara ketat yang sarat dengan warna militeristik. Namun, era baru ini yang dinamakan era Partai Keadilan dan Pembangunan diwarnai oleh semakin luasnya ruang kebebasan beragama dan melaksanakan simbol keagamaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Penyebutan sebagai era baru Turki itu memang bukan sekadar isapan jempol. AKP kini sedang mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) yang rencananya akan digulirkan pada bulan September ini.

Di antara isi RUU itu adalah penghapusan larangan pemakaian jilbab pada sekolah dan kantor pemerintah, penciutan otoritas presiden, pembubaran Dewan Hakim Agung, kementerian peradilan membawahi lembaga yudikatif, lembaga yudikatif punya hak otonomi mengurusi lembaganya tanpa campur tangan luar, dewan pengajar memilih sendiri rektor universitas tanpa campur tangan presiden seperti yang terjadi selama ini, diperbolehkan pengajaran bahasa Kurdi di sekolah-sekolah Turki.

Namun, Lembaga Kajian Internasional Turki pada laporannya tahun 2003 memperingatkan, jika AKP terlalu radikal melakukan reformasi, tidak menutup kemungkinan militer menjadi ibarat singa yang dibangunkan dari tidurnya, yakni melakukan kudeta lagi, karena bagaimanapun militer tetap punya tempat tersendiri di negara Turki modern.

No comments: