Thursday, August 30, 2007

Faksionalisme dan Timur Tengah

Broto Wardoyo

Pascaperistiwa 9/11, Timur Tengah menjadi korban gejala unilateralisme. AS memulai aksi itu di Afganistan, lalu Irak. Adapun Israel memaksakannya dalam penyelesaian masalah Palestina/Israel.

Kini, gejala baru muncul di Timur Tengah (Timteng), berkontribusi negatif pada perdamaian. Timteng mengalami era faksionalisme yang membelah dunia Arab.

Di Irak, perseteruan kelompok Sunni-Syiah berkembang ke arah pembantaian etnis. Di Lebanon, gejolak Sunni-Syiah dan perpecahan intra-Maronit mengancam perang saudara di Lebanon. Dipicu penarikan diri Israel dari Lebanon selatan, beberapa kelompok menghendaki aksi serupa dilakukan Suriah. Sebagian kelompok lain—dengan Hezbollah sebagai tulang punggung—menghendaki Suriah tetap dilibatkan dalam politik Lebanon.

Di Palestina, gejala serupa muncul dalam pertentangan Fatah dan Hamas. Berakhirnya koalisi Fatah-Hamas-independen sesuai mandat Kesepakatan Mekkah menegaskan kuatnya politik faksionalisme di Palestina.

Dalam ketiga kasus tersebut, kegagalan membangun tatanan politik yang seimbang menjadi akar masalah menguatnya gejala faksionalisme.

Peranan asing

Tak ada lagi pan-Arabisme, pan-Islamisme, atau nasionalisme yang bisa mengatasi spirit faksionalisme itu. Gejala faksionalisme kian mekar dengan kuatnya intervensi pemain asing di masing-masing arena.

Di Irak, peran AS, Iran, dan negara-negara Arab-Teluk dibarengi ikut bermainnya aneka kelompok yang diidentifikasikan sebagai fundamentalis, menjadikan faksionalisme beriring kekerasan. Bom menjadi keseharian di Irak.

Di Lebanon, sistem politik confessionalism yang rentan terhadap benturan antarkelompok kian kaku oleh intervensi asing. AS, Israel, Suriah, dan Iran merupakan aktor-aktor luar utama di Lebanon yang keberadaannya dimanfaatkan—selain memanfaatkan—mitra-mitra lokalnya. Hasil pemilu sela bulan ini mengingatkan akan terjadinya perang sipil jika manajemen kekuasaan tidak dilakukan dengan baik. International Crisis Group sudah mengingatkan bahaya re-confessionalism dan street-politics (Lebanon in Tripwire, Middle East Briefing, 2006).

Di Palestina terjadi kondisi serupa. Pasca-Kesepakatan Mekkah harapan yang sempat terbersit ternyata hanya fatamorgana. Penataan sistem politik internal juga direcoki kuatnya kepentingan asing, baik Israel, AS, maupun para donor, Arab dan non-Arab.

Penguatan masyarakat sipil

Sejauh ini pilihan solusi dijatuhkan dengan meminimalkan intervensi asing. Di Irak, ada tekanan kuat agar AS mengurangi domain intervensi. Di sisi lain muncul tekanan serupa terhadap Iran. Dialog tiga pihak—Irak, AS, dan Iran—yang lebih dari sekali dilakukan merupakan usaha membelokkan kepentingan asing terhadap Irak. Di Lebanon, Resolusi 1701 memaksa semua pihak asing menahan diri dan menyerahkan penyelesaian kepada PBB dan Lebanon. Di Palestina, langkah Presiden Abbas menolak bantuan penyelesaian dari luar menjadi indikasi serupa.

Selain meminimalkan intervensi asing, pilihan solusi lain dilakukan dengan membangun demokrasi. Sebagai langkah awal, dilakukan pembentukan pemerintahan transisional—atau penguatan pemerintah yang sudah ada—diikuti penguatan hukum dan HAM. Langkah ini terbukti kontraproduktif karena ketidakpercayaan satu sama lain. Yang muncul, perdebatan ihwal kompatibilitas demokrasi dan karakter masyarakat Timteng. Kebiasaan tribalisme justru meletupkan kekerasan lebih besar dalam alam demokrasi.

Hal ini terjadi karena tidak adanya penguatan masyarakat sipil lebih dulu. Penguatan ini dibutuhkan guna memantapkan kekuatan tawar publik terhadap kekuasaan. Proses ini sudah ada di Palestina dengan tingginya kesadaran berpolitik dan menyelesaikan masalah melalui jalur politik. Sayang, dicemari tekanan asing yang merecoki proses dan memunculkan politik elite yang tidak jelas juntrungannya.

Di Irak, hilangnya dialog intrasipil memunculkan politik elite. Publik diombang-ambingkan elite yang bertarung. Penolakan publik terhadap kekerasan tidak digubris. Di Lebanon, hal sama juga terbentuk. Aliansi para elite menyulitkan publik untuk berpikir rasional dalam menentukan masa depan.

Gejala faksionalisme harus dihentikan jika kita tidak ingin melihat Timteng kian membara.

Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

No comments: