Timur Tengah
Lebanon, Irak, dan Militer
trias kuncahyono
Irak dan Lebanon adalah dua negara di kawasan Timur Tengah yang kini menghadapi persoalan pelik. Kedua negara sama-sama terpecah belah atas dasar sekte-sekte agama, digerogoti dan diperlemah oleh peperangan, dibuat kesulitan oleh gerakan kelompok-kelompok agama berhaluan keras, dan disandera oleh pilihan-pilihan politik yang sulit untuk menentukan masa depan.
Selama ini orang selalu mengatakan, Irak terbagi atas garis sektarian dan etnis: ada Sunni, Syiah, dan Kurdi. Kadang pembagian semacam itu disanggah. Tetapi, fakta di lapangan selalu berkata lain.
Konflik sektarian yang begitu kental bermula di Samarra. Pada 22 Februari 2006, sejumlah orang bersenjata menyerbu Masjid Askariya di Samarra, sekitar 70 kilometer sebelah utara Baghdad. Para penjaga masjid disandera dan masjid yang terkenal dengan sebutan Masjid Emas itu diledakkan. Sejak saat itu, konflik sektarian itu terus bergulir hingga kini dan menelan begitu banyak korban jiwa.
Persoalan Irak bertambah rumit karena banyak yang melihat bahwa ada faksi dari kelompok mayoritas Syiah yang memiliki hubungan dengan Iran. Di Irak juga muncul berbagai kelompok bersenjata yang berhaluan keras. Di antara mereka bergerak dan berjuang sendiri-sendiri serta tidak jarang bahkan bertabrakan.
Lebanon sama seperti Irak. Negeri itu juga disandera oleh perpecahan sektarian, terbagi atas sekte-sekte agama: Syiah, Sunni, Druze, Kristen Maronit (kini bertambah antara lain Hezbollah dan Fatah al-Islam).
Lebanon juga memiliki sistem politik yang sangat kompleks, yang berdasarkan pada dasar pemikiran bahwa harus ada sebuah keseimbangan dalam semua aspek kehidupan politik di antara komunitas-komunitas religius. Apabila keseimbangan ini terganggu, harmoni kehidupan di Lebanon, dan bahkan keutuhan Lebanon sebagai sebuah entitas negara pun, terganggu.
Kini, boleh dikatakan, Lebanon dalam kondisi sangat rentan. Kondisi pemerintah di Beirut yang lemah menjelang pemilihan presiden September mendatang menciptakan ketegangan politik. Apalagi para pemimpinnya merasa terus "diusik" oleh negara tetangganya, Suriah, yang—meski sudah angkat kaki dari negeri itu—masih berkepentingan atas Lebanon.
Suriah dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan tokoh populer mantan Perdana Menteri Rafik Hariri pada 14 Februari 2005.
Konflik senjata paling mutakhir di Lebanon pada pekan lalu—antara tentara pemerintah dan kelompok Fatah al-Islam— menggambarkan rumitnya persoalan di negeri itu. Rami G Khouri dalam artikelnya di International Herald Tribune edisi Jumat, 25 Mei 2007, menulis, apa yang terjadi di Lebanon merupakan konvergensi empat konflik yang menegaskan rumitnya matriks kekerasan di Timur Tengah saat ini.
Rami G Khouri menulis, keempat konflik itu adalah: Pertama, warisan ketegangan antara berbagai kekuatan Lebanon dan kelompok-kelompok pengungsi Palestina bersenjata di negeri itu. Kedua, ketegangan antara Suriah dan Lebanon sejak pecah pergolakan rakyat menuntut penarikan pasukan Suriah dari Lebanon dua tahun lalu.
Ketiga, wilayah tersebut terimbas perang di Irak. Keempat, meluasnya "perang global terhadap terorisme" yang dicanangkan George W Bush telah menumbuh-suburkan kelompok-kelompok seperti Al Qaeda. Kenyataan itu menempatkan Lebanon pada posisi yang sulit, bahkan teramat sulit.
Tentara bersatu
Baik Irak maupun Lebanon kini memang tengah berjuang untuk keluar dari jerat kesulitan itu. Sikap tegas tentara Lebanon saat menghadapi kelompok Fatah al-Islam (faksi sempalan kelompok Fatah al-Intifada yang berpusat di Suriah, penentang kelompok pejuang Fatah yang dulu dipimpin Yasser Arafat. Selama ini, Fatah dan Hamas, kelompok organisasi utama Palestina, menentang Fatah al-Islam dan memandangnya sebagai ancaman bagi mereka sendiri—Palestina—dan stabilitas Lebanon) di kamp pengungsi Palestina dekat Tripoli merupakan modal penting untuk membangun persatuan dan kesatuan.
Angkatan Bersenjata Lebanon, yang kini diperkirakan berkekuatan 60.000 personel, memang masih lemah karena juga tidak terhindar dari gerogotan pertarungan sektarian. Akan tetapi, mereka memiliki sikap tegas, yakni tidak mau digunakan oleh kelompok apa pun untuk kepentingan mereka sehingga justru menghancurkan diri sendiri. Sikap itu menjadikan tentara sebagai simbol adanya harapan terciptanya persatuan nasional.
Setelah tentara Suriah keluar dari Lebanon dua tahun lalu, tentara pemerintah menjadi kekuatan utama. Memang, ketika pecah perang antara Hezbollah dan Israel selama 34 hari beberapa waktu lalu, tentara pemerintah tidak banyak berbuat.
Akan tetapi, kini mereka mendapat tugas berat, dengan bantuan PBB, untuk menghentikan aliran senjata ke Hezbollah dan membangun stabilitas keamanan kembali. Karena itu, tindakan tegas terhadap Fatah al-Islam merupakan salah satu upayanya untuk membangun stabilitas keamanan itu.
Jika tentara tidak melangkah cepat dan mengambil tindakan tegas terhadap Fatah al-Islam— yang secara diam-diam telah membangun kekuatan bersenjata dengan ratusan pejuang bersenjata berat di kamp pengungsi Palestina di Nahr el-Barid (The Christian Science Monitor, 23/5)—cerita Lebanon tentu akan lain.
Di Lebanon terdapat 40.000 pengungsi Palestina—bukan tidak mustahil Lebanon akan terseret kembali ke perang sektarian lagi. Tindakan tentara memang telah menelan hampir 100 korban jiwa. Tetapi, barangkali itu adalah harga yang harus dibayar untuk memadamkan api yang jika dibiarkan akan membakar seluruh negeri.
Apa yang dilakukan tentara Lebanon itu, demi terciptanya persatuan dan kesatuan negara bangsa, adalah sebuah pelajaran berharga bagi tentara Irak, yang sekarang masih mendapat dukungan pasukan AS.
Jika nanti pada akhirnya pasukan AS yang memberikan andil menciptakan khaos, ditarik dari Irak, masalah keamanan sepenuhnya jatuh ke pundak tentara Irak. Mereka harus mampu menghadapi berbagai kelompok bersenjata yang sekarang ini ada di Irak. Akan tetapi, hal pertama dan utama yang harus mereka lakukan adalah bersatu: tentara harus bersatu.
Menurut Salim Abdullah, juru bicara Iraqi Accordance Front, sebuah kelompok Arab Sunni terbesar di Parlemen, banyak milisi dan kelompok teroris di Irak yang menunggu penarikan tentara AS (International Herald Tribune, 28/5). Keinginan dan harapan milisi dan kelompok teroris untuk menghancurkan Irak tidak akan menjadi kenyataan apabila tidak terpecah belah.