caracas, minggu - Ribuan demonstran turun ke jalan, Minggu (27/5), menentang keputusan Presiden Hugo Chavez yang menolak perpanjangan izin siaran stasiun televisi independen RCTV. Chavez menuduh RCTV mendukung kudeta yang gagal terhadap dirinya pada 2002, melanggar undang-undang penyiaran, dan menayangkan program berisi kekerasan dan seksualitas.
Izin siaran RCTV atau Radio Caracas Television habis pada Minggu tengah malam waktu setempat setelah 53 tahun siaran. Namun, para karyawan berkeras menduduki studio semalaman untuk menghalang-halangi pengambilalihan oleh pemerintah.
Para demonstran, termasuk wartawan, penyiar, dan bintang opera sabun, berkumpul di depan gedung RCTV. Mereka meneriakkan, "Kebebasan!Kebebasan!" dan membawa poster dan spanduk bertuliskan "Tidak untuk Pembungkaman".
Mereka mengatakan, dengan tidak memperpanjang izin siaran RCTV, Chavez berusaha membungkam kritik terhadap pemerintahannya. "Presiden kami ingin mengontrol semuanya, bahkan apa yang kami lihat di televisi sehingga suara dia adalah satu-satunya suara di radio dan televisi," kata Roger Montoya, seorang mahasiswa. "Ini totalitarianisme," tambahnya.
Dalam pidato yang disiarkan stasiun-stasiun televisi swasta, Chavez mengatakan, keputusan itu merupakan langkah legal untuk mendemokratisasikan siaran radio dan televisi. RCTV akan diubah menjadi stasiun radio publik, Senin, kemudian pemerintah akan mengontrol dua dari empat saluran penyiaran nasional di Venezuela, yaitu Televen dan Venevision.
"Stasiun televisi itu (RCTV) menjadi ancaman bagi negara sehingga saya memutuskan untuk tidak memperbarui izin siaran karena itu adalah tanggung jawab saya," kata Chavez saat berpidato di Barquisimeto, 300 kilometer sebelah barat Caracas.
Chavez juga memperingatkan, tindakan keras akan dilakukan militer jika demonstrasi berubah menjadi kekerasan. "Saya meminta kepada semua agar tidak terprovokasi dan kelompok mana pun agar tidak memicu kekacauan," ujarnya.
"Angkatan bersenjata Venezuela telah siap. Siapa pun yang menimbulkan kekacauan akan menyesal," kata Chavez.
Menteri Telekomunikasi Jesse Chacon mengatakan, staf RCTV mengetahui bahwa izin mereka habis. Dia menambahkan, Pemerintah Venezuela memerlukan spektrum penyiaran RCTV untuk saluran televisi pemerintah yang baru karena RCTV memiliki jangkauan paling luas di seluruh penjuru negeri.
Mahkamah Agung Venezuela, Jumat, telah memerintahkan semua perangkat penyiaran RCTV harus siap bagi TVES, stasiun televisi yang dibiayai pemerintah yang menggantikan RCTV. Mahkamah Agung juga memerintahkan militer untuk mengambil alih semua antena, perangkat penyiaran, dan menara transmisi. RCTV menilai langkah itu ilegal dan cacat hukum.
Wakil Presiden RCTV Oswaldo Quintana mengatakan, RCTV telah mengajukan gugatan kepada Komisi Hak Asasi Manusia Inter Amerika, Sabtu. "Kami telah mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Venezuela karena telah melanggar kebebasan berbicara," katanya.
Oksigen demokrasi
Langkah Chavez itu memicu kritik dunia. Presiden Peru Alan Garcia mengatakan, "Kami menghormati kebebasan berekspresi, dan pers kami rasakan sebagai oksigen demokrasi."
Resolusi Senat Amerika Serikat yang disetujui dengan suara bulat menyatakan "penyesalan mendalam" atas keputusan Chavez. Parlemen Eropa mengeluarkan pernyataan yang mengecam tindakan Chavez. Kelompok Human Rights Watch dan Wartawan Lintas Batas menyebut langkah Pemerintah Venezuela sebagai upaya membungkam kritik terhadap pemerintahannya.
Selama bertahun-tahun, stasiun-stasiun televisi Venezuela bersikap anti-Chavez dan secara terbuka mendukung upaya kudeta menentang dirinya pada 2002. Namun, belakangan ini media perlahan-lahan mulai berjatuhan karena kekuasaan pemerintah yang semakin kuat.
Saat ini, stasiun televisi Globovision merupakan satu-satunya saluran televisi oposisi. Chavez juga mengancam akan menutup Globovision karena siaran mereka yang sarat kritik.
Selama ini, RCTV merupakan stasiun televisi yang paling banyak ditonton melalui acara bincang-bincang, olahraga, opera sabun, dan program komedi populer, Radio Rochela, yang sering mengolok-olok Chavez. (ap/afp/reuters/fro)
No comments:
Post a Comment