Berakhirnya Era Kaum Neo-Cons?
Bara Hasibuan
Setelah ditekan bertubi-tubi, akhirnya Paul Wolfowitz memutuskan untuk mundur dari jabatan Presiden Bank Dunia, Jumat 18 Mei.
Secara kasatmata apa yang terjadi pada Wolfowitz mungkin hanya dilihat sebagai manifestasi pelanggaran kode etik internal organisasi. Namun, kasus ini sebenarnya memiliki arti lebih signifikan, yaitu jatuhnya korban dari proses public humiliation yang dialami kaum neo-conservatives atau sering disebut neo- cons, di mana Wolfowitz merupakan simbol intelektualnya.
Amat berpengaruh
Kaum neo-cons sering disebut "cabal" (bisa diartikan kelompok yang mempunyai tujuan khusus) yang amat berpengaruh dalam Pemerintahan Bush dan berperan penting mendorong perubahan gaya kebijakan luar negeri AS menjadi assertive dan unilateral. Mereka dinilai berperan besar di balik keputusan untuk menyerang Irak. Seiring kian buruknya situasi di Irak, kaum neo-cons juga mengalami perubahan nasib, dari ditakuti dan di-respect menjadi termarjinalisasi.
Sebelum ini, L Lewis Libby, sesama neo-cons, orang dekat Wolfowitz dan pernah menjabat Kepala Staf Kantor Wakil Presiden, dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena terbukti berbohong di bawah sumpah saat diperiksa dalam kasus pembocoran agen CIA, Valerie Pamel.
Sementara itu, Donald Rumsfeld, patron neo-cons, dipecat dari jabatan Menteri Pertahanan setelah kekacauan di Irak dianggap sebagai penyebab utama kekalahan Partai Republik di pemilihan sela November 2006.
Namun, humiliation yang paling menyakitkan bagi kaum neo- cons adalah kian kacaunya proyek ambisius mereka di Irak yang sudah salah besar dari awalnya.
Dari masa sebelum perang, misalnya, kelihatan sekali alasan untuk menyerang Irak amat dipaksakan. Pemerintahan Bush tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Irak masih menyimpan senjata pemusnah massal. Bahkan, sebetulnya, saat itu Dr Hans Blinx, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Irak, sudah menyimpulkan, Irak sudah menghancurkan senjata pemusnah massalnya di akhir 1990-an. Kini, ketika tidak ditemukan senjata pemusnah massal di Irak, susah untuk tidak menyimpulkan bahwa pemerintahan Bush memanipulasi laporan intelijen atas Irak saat itu.
Demi menguatkan rationale untuk menyerang Irak, dari berbagai retorika Bush dan Cheney, pemerintahan Bush juga kelihatan memanipulasi rakyat Amerika untuk percaya bahwa Saddam Hussein mempunyai peran di balik peristiwa 11 September. Usaha itu terbukti efektif karena mayoritas rakyat Amerika saat itu percaya Saddam ikut bertanggung jawab atas serangan 11 September itu.
Bukan hanya soal justifikasi, eksekusi dari perang itu sendiri juga sudah salah dari awal. Rumsfeld dan Wolfowitz percaya, untuk mematahkan perlawanan pasukan Irak tidak dibutuhkan jumlah tentara yang banyak. (Rumsfeld, khususnya, memang ingin menggunakan invasi ke Irak sebagai eksperimen pertama atas proyeknya untuk membuat pasukan AS lebih ramping).
Ketika Kepala Staf Angkatan Darat Erick Shinseki mengatakan di depan Kongres, dibutuhkan sedikitnya 300.000 tentara untuk invasi awal, Wolfowitz merespons dengan mengatakan, jumlah itu wildly off the mark (amat melenceng). Tidak lama setelah itu, Shinseki pun dicopot.
Memang betul, dengan jumlah tentara yang minim, pasukan AS berhasil melumpuhkan pasukan Saddam Hussein dalam waktu relatif singkat yang kemudian mendorong Bush secara prematur mengumumkan, mission accomplished (misi tercapai).
Namun, ternyata misi sama sekali tidak tercapai karena kemenangan militer AS diikuti kekacauan dan perang saudara yang berlangsung hingga kini. Kaum neo-cons menemukan keterbatasan dari kekuasaan Amerika. Winning the peace tidak semudah winning the war.
Didiskreditkan
Ketidakbecusan dari eksekusi Perang Irak ini bukan hanya membuat kaum neo-cons didiskreditkan orang-orang luar, tetapi mereka juga diserang sesama mereka sendiri.
Richard Perle, tokoh neo-cons yang pernah duduk di dewan penasihat Departemen Pertahanan, mengatakan, jika dia tahu bahwa invasi akan sekacau itu, mungkin ia akan menentangnya. Tokoh neo-con lain bahkan lebih keras mengatakan kepada majalah Vanity Fair, tim yang mengeksekusi Perang Irak merupakan salah satu yang paling tak kompeten dalam sejarah kontemporer AS.
Yang juga cukup mengejutkan, tokoh neo-con yang juga intelektual ternama penulis buku The End of History and the Last Man, Francis Fukuyama (yang juga pernah menjadi rekan di Wolfowitz di School of Advanced International Studies, Johns Hopkins University), mengkritik habis-habisan Perang Irak di bukunya yang berjudul America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy.
Dalam buku itu Fukuyama mengatakan bahwa dua kesalahan utama pemerintahan Bush adalah meng-underestimate level kebencian rakyat Irak atas benevolent hegemony AS dan sikap optimistis yang berlebihan bahwa social engineering dari nilai-nilai Barat dapat diterapkan di Irak dan Timur Tengah secara keseluruhan.
Poin terakhir yang diungkap Fukuyama inilah yang sebetulnya merupakan pukulan terbesar bagi kaum neo-cons. Selain sebagai manifestasi dari keharusan AS untuk menggunakan preemptive strike terhadap suatu ancaman, bagi mereka Perang Irak juga memiliki nilai lebih strategis: awal dari usaha mentransformasi seluruh kawasan Timur Tengah menjadi demokratis.
Berujung kehancuran
Di sini lagi-lagi mereka menemukan keterbatasan dari kekuasaan Amerika. Bukan hanya menanamkan demokrasi ala Barat terbukti amat sulit karena karakter dari masyarakat di sana yang tidak siap. Seperti dikatakan Fukuyama, Irak setelah Saddam Hussein ternyata mengandung kebencian yang dalam atas AS.
Pada akhirnya, kaum neo-cons menemukan kenyataan, tindakan preemptive untuk menghadapi ancaman dan misi penyebaran demokrasi merupakan dua hal yang amat berbeda dan susah untuk direkonsiliasikan.
Yang jelas, tragedi di Irak serta berakhirnya era neo-cons merupakan pelajaran bahwa penggunaan kekuasaan secara berlebihan dan berdasarkan hubris atau arogansi yang berlebihan akhirnya hanya akan membawa kehancuran.
Apa yang terjadi pada Wolfowitz ini sangat disayangkan karena selain ia merupakan a great friend of Indonesia, ia juga mempunyai intensi tulus untuk memberantas korupsi dan memerangi kemiskinan.
No comments:
Post a Comment