Tuesday, May 29, 2007

Pasca-Obasanjo, Masa Depan Demokrasi Tak Jelas

Lagos, Senin - Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo akan melepas jabatannya hari Selasa (29/5) ini setelah delapan tahun berkuasa.

Pengganti Obasanjo adalah "tangan kanannya", Umaru Yar’Adua, yang memenangi pemilu yang diwarnai kerusuhan berdarah dan dianggap penuh kecurangan oleh pengamat lokal maupun internasional.

Itu sebabnya, kepergian Obasanjo menimbulkan pertanyaan, akan berjalan ke arah mana kehidupan demokrasi di Nigeria.

"Kita memiliki tradisi pemilu yang curang, namun Obasanjo telah memberikan sebuah pemilu tercurang dalam sejarah," kata Emma Ezeazu, pemimpin Aliansi Pemilu Kredibel, sebuah lembaga yang memayungi kelompok- kelompok yang mencoba mengakhiri sejarah kecurangan pemilu.

Namun dalam pernyataannya akhir pekan lalu, Obasanjo justru memuji hasil pemilu dan kinerja partainya, Partai Rakyat Demokratik.

Pemimpin sipil

Ketika Obasanjo terpilih sebagai presiden tahun 1999, ia meninggalkan latar belakang panjang dalam kepemimpinan militer Nigeria.

Setelah melakukan kudeta pada tahun 1970-an, Obasanjo menjadi pemimpin rezim militer. Namun, pada tahun 1979 ia menyerahkan kekuasaannya secara sukarela kepada pemimpin sipil.

Ketika pemimpin sipil yang menggantikannya kembali dikudeta militer, Obasanjo menjadi tokoh vokal yang mengkritik rezim militer.

Pada tahun 1995, ia dituduh berupaya menggulingkan Jenderal Sani Abacha. Atas tuduhan itu, ia dijatuhi hukuman seumur hidup, yang kemudian direduksi menjadi 15 tahun. Jenderal Abdulsalami Abubakar yang melanjutkan kepemimpinan Abacha—tewas pada 1998 dalam kudeta—membebaskan Obasanjo.

Dalam pemilu berikutnya, Obasanjo menang secara telak. Ketika menjadi presiden, ia bertekad memerangi korupsi dan mencoba menyatukan negaranya yang didera pertentangan etnis dan agama.

Menjelang akhir kekuasaannya, Obasanjo melakukan kunjungan perpisahan ke negara-negara tetangga, yaitu Sierra Leone dan Liberia, di mana ia memiliki kontribusi dalam mewujudkan perdamaian di negara yang terus didera perang saudara itu.

Di bawah Obasanjo, Nigeria juga terlibat aktif dalam pengiriman pasukan perdamaian di sejumlah "titik panas" di Afrika. Namun, kecaman terhadap dirinya tak sedikit. Obasanjo dinilai gagal memerangi korupsi dan pemerintahannya dituduh korup. "Rakyat telah banyak dibohongi," kata Wole Soyinka, pemenang Nobel Kesusastraan. Bersama 48 sastrawan lainnya, mereka menuntut pemilu ulang dan menolak kemenangan Yar’Adua.

pengamat Olisa Agbakoba menilai, Obasanjo berhasil membuahkan kemajuan di bidang ekonomi, namun di bidang politik Obasanjo dinilai cacat. Agbakoba mencatat rencana Obasanjo untuk mengubah konstitusi sehingga bisa terpilih ketiga kalinya meski upaya itu tidak berhasil. "Langkah politiknya telah menjatuhkannya," katanya. (AP/MYR)

No comments: