Bukhara
Penuh Monumen Kejayaan Masa Lalu
Retno Bintarti
Waktu menunjukkan pukul 06.30 ketika pesawat kami mendarat di Bandara Bukhara setelah menempuh perjalanan satu jam dari Tashkent, ibu kota Uzbekistan.
Penumpang langsung diarahkan ke luar pagar bandara, tempat penjemput sudah menunggu. Masih bingung mencari mobil Nexia putih yang katanya akan menjemput, tiba-tiba seorang pria tinggi besar menghampiri. "Selamat pagi, selamat datang di Bukhara," kata pria bernama Muzafar.
Beberapa saat kemudian, pria lain bergigi emas, yang kemudian memperkenalkan diri bernama Boter, mengatakan siap mengantar. Ternyata Muzafar hanya menjemput, Boter yang selanjutnya akan mengantar keliling Bukhara.
Persoalan muncul karena Boter hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Uzbek dan sedikit bahasa Rusia. Sementara pemandu berbahasa Inggris, katanya, baru akan bergabung pukul 08.30.
Sambil menunggu, kami minum teh panas dan roti di sebuah warung terbuka di kawasan kota tua Lyabi Hauz.
Tempat ini dibangun tahun 1620, mengelilingi kolam. Di bagian utara Lyabi Hauz terletak bekas madrasah Kukeldash, yang pernah menjadi perguruan terbesar di Asia Tengah. Di antara rimbunan pohon-pohon murbei, terdapat patung pria di atas keledai. Dialah Nasrudin Hoja, tokoh penutur dalam cerita-cerita ajaran sufisme yang sangat terkenal.
Untungnya pemandu yang dinanti datang lebih awal dari yang dijanjikan. "Kami mempunyai banyak program. Sebaiknya saya ingin tahu, apa yang Anda minati, tempat-tempat mana yang ingin Anda lihat," kata Zinnat Ashurova, menawarkan.
"Setiap orang mempunyai minat sendiri-sendiri. Saya perlu menanyakan ini supaya Anda puas, kami pun senang," ujar Zinnat Ashurova menambahkan.
Sebenarnya saya maunya pasrah saja karena tak punya pengetahuan cukup detail tentang Bukhara, kecuali bahwa di kota ini merupakan salah satu kota tertua di Asia Tengah, berusia sekitar 2.500 tahun. Bahwa Bukhara merupakan kota penting yang dilewati rute jalan sutra, tempat kelahiran imam besar, Imam al-Buchory, ahli hadis ternama.
Setelah berdiskusi, kami akhirnya menyusun program bersama, menetapkan tempat-tempat yang akan kami datangi sampai sore hari.
Sisa kejayaan
Bukhara ternyata begitu memesona. Menyesal saya hanya menyisihkan waktu sehari saja. Ditemani oleh Zinnat yang tak pernah berhenti bercerita, saya seperti dibawa ke masa lalu, ketika kota ini menjadi salah satu saksi kejayaan Islam. Memiliki lebih dari 400 monumen, kota ini mempunyai museum terbuka terbanyak.
Madrasah atau tempat para pemuda menuntut ilmu sebagian kini digunakan untuk tempat kunjungan wisata. Di kawasan Lyabi Hauz, misalnya, ruang yang dulu digunakan untuk mahasiswa belajar, kini digunakan untuk toko-toko cendera mata. Sementara ruang terbuka di bagian tengah kini digunakan untuk restoran sekaligus pagelaran seni musik pada malam hari.
Sambil membayangkan suasana belajar dulu dalam gedung yang cantik, konsentrasi terpecah dengan tawaran bermacam cendera mata yang memenuhi sekeliling eks madrasah-madrasah di Lyabi Hauz.
Jika saja saya membawa banyak uang, niscaya banyak tentengan yang akan dibawa dari sini. Sayangnya, Bukhara dan juga tempat-tempat lain di Uzbekistan, kartu kredit nyaris belum menjadi alat pembayar yang diterima. Semua harus serba kontan. Maka, keinginan untuk belanja terpaksa harus ditahan.
Padahal, suzana—begitu sulaman khas Uzbek dinamakan— karpet sutra, boneka, lukisan, dan aksesori benar-benar menggiurkan.
Belum lagi pernik-pernik serba cantik yang ditawarkan oleh para pemilik toko yang ramah.
No comments:
Post a Comment