PERANG
Pelajaran Berharga bagi Dunia
Tidak ada perang yang tidak meninggalkan korban dan kisah sedih, dan oleh karena itu sebisa mungkin memang perang harus dihindari. Untuk perang yang telah terjadi, sebagaimana Perang Malvinas/Falkland, dunia harus bisa menangkap pelajaran darinya. Ini diperlukan justru ketika dunia masih terus terperangkap dalam potensi konflik akibat perbedaan kepentingan antarbangsa yang sulit diselesaikan secara damai.
Di antara yang digugat oleh Perang di Atlantik Selatan ini adalah benarkah yang selalu terjadi adalah perang dipicu oleh serangan pihak yang "lebih kuat" terhadap "pihak lebih lemah". Argentina, negara terpencil yang sejarahnya tidak mencatat adanya perang nyata semenjak pertengahan abad ke-19, ternyata berani menyerang negara yang lebih kuat, bahkan bersenjata nuklir lagi.
Argentina ternyata juga bisa menyerang Inggris, negara yang menjadi konsumen terbesar ekspor pertaniannya. Terus siapa yang menyangka bahwa Inggris, anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), akan berperang untuk mempertahankan kepulauan berbatu terpencil di Samudra Atlantik Selatan yang sebagian besar penghuninya penggembala biri-biri? Juga siapa yang mengira bahwa Inggris akan pergi berperang untuk mempertahankan sisa-sisa imperiumnya 37 tahun setelah Perang Dunia II?
Rezim militer tergusur
Kalau semula dimunculkan alasan bahwa motif rezim junta militer Jenderal Leopoldo Galtieri ketika menginvasi Kepulauan Malvinas/Falkland adalah untuk mengalihkan kesulitan ekonomi, maka yang lebih benar adalah setelah perang ekonomi Argentina semakin morat-marit.
Rakyat Argentina pun semakin tidak percaya pada rezim yang selain tidak becus menjalankan perang juga dinilai banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi. Terus mendapat tekanan rakyat, rezim militer pun mau tak mau harus memulihkan demokrasi bagi rakyat Argentina. Berikutnya dalam transisi damai, Carlos Menem terpilih sebagai presiden dari kalangan sipil pada tahun 1989.
Yang juga baik, antara Argentina dan Inggris pun terjadi rekonsiliasi dan keduanya memulihkan hubungan diplomatik. Pada tahun 1995, kedua negara menandatangani sebuah kesepakatan untuk mempromosikan eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Baratdaya, mencairkan isu yang sensitif sekaligus membuka peluang kerja sama lebih lanjut.
Tahun 1998, Presiden Carlos Menem melawat ke Inggris, kunjungan resmi pertama Presiden Argentina sejak tahun 1960-an.
Jadi, siapa bilang bahwa kebekuan di antara kedua bangsa yang pernah terlilit dalam permusuhan tidak bisa diterobos.
Terus jadi perbandingan
Meski telah lama berakhir, Pemerintah Inggris pada tahun 2005 menerbitkan sejarah resmi mengenai Perang Falkland. Tentu saja buku versi pemerintah Inggris ini membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa sesungguhnya makna perang tersebut. Seperti dikutip di awal tulisan pertama, penulis Jorge Luis Borges menyebut perang tersebut sebagai "dua orang botak yang memperebutkan sisir". Sementara dari Inggris—dan juga banyak tempat lain—tidak sedikit yang menyebut perang tersebut sebagai sikap imperialisme ketinggalan zaman.
Meski demikian, tulis William Pfaff di International Herald Tribune (2/10/2005), orang harus melihat satu sisi penting yang dulu maupun sekarang jarang dilihat orang, yakni Perang Malvinas/Falkland adalah perang untuk membela hukum internasional dan ketertiban antarbangsa.
Dari segi aksi, tindakan jun- ta militer Argentina, menurut Pfaff, bisa dibandingkan dengan invasi Saddam Hussein ke Kuwait tahun 1990. Pada kasus Kuwait, Amerika Serikat membentuk koalisi internasional yang dikukuhkan DK PBB untuk membebaskan Kuwait. Ini pun aksi untuk menciptakan ketertiban.
Lebih dari itu, dampak jatuhnya pemerintahan diktator di Argentina juga berimbas ke negara yang semula sejalan dengan rezim militer Argentina, yakni Cile dan Brasil. Di kedua negara ini rezim pun beralih ke pemerintahan demokratis.
Pfaff mencoba melihat, mungkin saja Presiden George W Bush mencoba menerapkan Perang Irak untuk menciptakan demokratisasi di Timur Tengah. Namun, hasil yang dicapai, karena sejumlah alasan, ternyata beda jauh dari keinginan awal. AS justru dengan invasi ke Irak kini dikenal sebagai pencipta ketidaktertiban dan ketidakadilan, bukan pencipta ketertiban dan keadilan.
Seperti itulah bahwa setelah 25 tahun Perang Malvinas masih terus dikaji dampak dan pengaruhnya. Namun, satu hal yang menarik adalah komentar yang muncul di situs online Daily Telegraph London. Satu dari 196 komentar yang masuk mengatakan bahwa satu hari nanti, cepat atau lambat, Malvinas akan kembali ke kedaulatan Argentina. Ini hanya masalah waktu. Namun, jelas itu hanya pandangan dari satu sisi, yaitu dari warga Argentina. Dari sisi Inggris, muncul komentar "Falkland milik Inggris, sekarang dan selamanya!
Biarlah waktu terus berjalan dan sejarah masa depan yang akan memutuskan.
Wajah perang berubah
Sementara itu, wajah peperangan sendiri telah berubah banyak sejak Malvinas/Falkland. Setelah perang di Atlantik Selatan ini, dunia mencatat pecahnya Perang Teluk 1991. Berbeda dengan Perang Malvinas/Falkland yang masih bercorak perang laut dan pendaratan amfibi, Perang Teluk 1991 mencatat pameran senjata teknologi tinggi, seperti jet stealth, rudal jelajah Tomahawk, sistem antirudal Patriot, dan juga gempuran rudal balistik Scud dari pihak Irak.
Terjadinya serangan 11 September 2001 di AS memunculkan perang corak baru yang dikenal sebagai perang asimetri meski perang konvensional dengan dukungan teknologi tinggi masih dipamerkan AS dan Inggris dalam invasi ke Irak, Maret 2003.
Dalam perang asimetri, yang secara spektakuler diperlihatkan dalam konflik antara Israel dan Hezbollah di Lebanon pertengahan tahun 2006, kekuatan di antara pihak yang bermusuhan tidak selalu harus seimbang, demikian pula persenjataan yang dipergunakan. Bisa saja Perang Malvinas/Falkland dimasukkan sebagai perang asimetri karena kekuatan Argentina yang jauh di bawah kekuatan Inggris, tetapi praksis pertempuran di medan laga tetap berciri konvensional. Ini jelas jauh berbeda dibandingkan dengan pihak Hezbollah yang bergerilya dan menembakkan roket Katyusha untuk meneror penduduk sipil Israel, sementara Israel mengerahkan jet tempur F-16 Sufa yang ultramodern untuk memburu pejuang Hezbollah dan peluncur roketnya. Inikah yang disebut sebagai perang Generasi Keempat itu? (Lihat misalnya Context, September 2006). (NIN)
No comments:
Post a Comment