Wednesday, May 23, 2007

Pelajaran Berharga dari Kosovo

Oleh :

Hajriyanto Y Thohari
Anggota Komisi Pertahanan dan Politik Luar Negeri DPR RI

Sejak lama Kosovo memang telah menjadi kawasan yang secara politik strategis dan bersejarah. Daerah ini sejak dulu selalu menjadi ajang perang besar antarkekuatan adidaya pada zamannya. Roger Crowly dalam bukunya 1453: The Holy War For Canstantinople and Clash of Islam and the West (2000) mengatakan bahwa pada Abad 14 Kosovo telah menjadi ajang peperangan besar yang sengit antara Serbia dan Ottoman. Itulah yang dalam sejarah dikenal dengan the first battle at Kosovo in 1389 dan juga the second battle of Kosovo in 1448.

Novel sejarah Elegy for Kosovo karya Ismael Kadare (2000) memerikan dengan getir akar kekerasan dan kebrutalan Serbia di Kosovo pada dasawarsa 90-an melalui kilas balik ke masa silam di Abad ke-14 tersebut. Novel sejarah ini berkisah tentang peperangan dahsyat di sana antara Ottoman dan Serbia dengan sekutunya di Semenanjung Balkan yang notabene berkelindan dengan polarisasi etnik, agama, dan politik yang terus terbawa sampai saat ini. Peristiwa di penghujung tahun 2000 itu laksana sebuah repetisi dan sekaligus replika masa lalu yang sangat getir.

Sejak pecahnya federasi Yugoslavia, Kosovo termasuk salah satu negara bagian yang ingin merdeka sebagaimana negara Slavia, Bosnia Herzegovina, Montenegro, dan lain-lainnya. Hanya, saja nasib bangsa Albania di Kosovo tidak sebaik negara-negara tersebut yang sudah berhasil memerdekakan dirinya sekitar delapan tahun yang lalu. Padahal pembersihan etnis dan agama yang dialami bangsa Kosovo di bawah Serbia jauh lebih berat dan dahsyat daripada yang terjadi di Bosnia. Nasib memang belum berpihak pada bangsa Kosovo yang kebetulan mayoritas Muslim itu.

Presiden Serbia, Slobodan Milosevic (waktu itu), ingin mempertahankan gagasan Serbia Raya dengan segala cara. Pada pertengahan 1990-an dia melakukan tindakan kejam yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, yaitu pembersihan etnis yang dilakukan secara sangat sistematis. Pelanggaran HAM berat ini bukanlah sebuah tuduhan belaka, apalagi fitnah politik, melainkan telah menjadi fakta hukum. Sebab, Milosevic dan kawan-kawannya kemudian diseret oleh NATO ke International Tribunal (Pengadilan Internasional) di Den Haag dengan vonis sebagai penjahat perang.

Pelanggaran HAM berat tersebut dilukiskan dengan baik sekali oleh Alice Mead dalam novelnya Girl of Kosovo. Meski Zana Dugolli, gadis Muslim Albania, dan Lena Goran yang Serbia begitu tetap bersahabat dan saling membela satu sama lain, tapi keluarga keduanya, terutama pamannya, Vizar, Ilir, dan keluarganya yang lain tidak bisa menerima itu semua. Ayah Zana sendiri dibunuh secara bengis --seperti juga halnya banyak laki-laki Albania lainnya-- oleh pasukan Serbia. Sulit membayangkan bangsa Albania lepas dari trauma kolektif tersebut. Dari sudut kesalahan dan tindakan brutal yang berskala massif dan berdimensi panjang tersebut opsi kemerdekaan memang yang paling realistis. Sulit membayangkan bangsa Albania tetap berada di bawah kekuasaan Serbia sebagai minoritas tertindas!

Pembersihan etnis tersebut baru berhenti setelah tentara NATO di bawah pimpinan Amerika Serikat melakukan pengeboman pada Maret 1999 dan masuk ke Kosovo. Tentara Serbia diusir keluar dari Kosovo oleh tentara NATO, dan sejak 12 Juni 1999 kekuasaan Serbia di Kosovo secara de facto berakhir. Meski secara de jure Serbia masih mengklaim Kosovo sebagai bagian integral dari wilayah Serbia tetapi terhitung sejak itu Kosovo menjadi sebuah negara di bawah protektorat PBB.

Opsi merdeka: mungkinkah?
Nasib dan masa depan Kosovo tampaknya kini sepenuhnya di tangan PBB. Apakah Kosovo akan berhasil menjadi negara merdeka lepas dari Serbia yang telah menganiayanya ataukah tetap terkatung-katung seperti sekarang ini. DK PBB pada bulan Juni 2007 ini akan menggelar sidangnya bagi penentuan nasib Kosovo.

Satu hal yang pasti adalah bahwa sebagai akibat dari pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh pasukan Serbia, orang-orang Kosovo telah patah arang untuk berada di bawah kekuasaan bangsa Serbia. Mereka nampaknya sudah berada pada situasi ketidakpercayaan dan dendam yang sangat mendalam sehingga opsi otonomi khusus sebagaimana yang diinginkan Perdana Menteri Serbia, Vojislav Kostunica, rasanya sulit untuk diterima bangsa Albania. Sebab, trauma pembersihan etnis tersebut telah menghantui kehidupan bangsa Albania di Kosovo secara kolektif.

Utusan khusus PBB Martii Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, dengan dukungan Uni Eropa telah menyatakan tidak adanya opsi lain kecuali kemerdekaan bagi Kosovo. DK PBB, kecuali Rusia, tampaknya juga cenderung untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Kosovo. Maka dari itu oleh karena Inggris dan Amerika Serikat sepenuhnya berada di belakang langkah diplomasi Martii Ahtisaari, peta di DK PBB sudah dapat diduga. Satu-satunya sandungan berat adalah Rusia, yang notabene merupakan salah satu negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB.

Indonesia dan Qatar yang kini menjadi anggota DK PBB rasanya aneh kalau tidak mendukung opsi kemerdekaan Kosovo yang telah hampir pasti didukung Uni Eropa dan Amerika Serikat itu. Pertanyaannya adalah apakah opsi mendukung kemerdekaan Kosovo ini tidak akan membawa efek domino atau setidaknya resonansi sampai ke Indonesia? Kekhawatiran ini bisa dimengerti karena kita juga memiliki problem separatisme.

Hanya, satu hal yang pasti adalah bahwa di Indonesia tidak terjadi pemusnahan etnik atau pelanggaran HAM berat lainnya terhadap daerah-daerah yang potensial memisahkan diri. Yang mungkin terjadi adalah soal pemerataan pembangunan dan keadilan semata yang memang masih sangat memprihatinkan. Maka sulit dibayangkan jika Indonesia dan Qatar sebagai anggota tidak tetap DK PBB bersikap pasif, apalagi tidak menyetujui atau menentang opsi kemerdekaan bagi Kosovo.

Posisi untuk memilih opsi mendukung kemerdekaan Kosovo dalam DK PBB ini penting dan strategis bagi Indonesia. Bukan hanya karena Pembukaan UUD 1945, melainkan juga kita telah mengadopsi ketentuan-ketentuan HAM secara utuh dalam UUD 1945. Bahkan Indonesia telah meratifikasi banyak kovenan dan konvensi internasional tentang HAM, serta pernah menjadi Ketua Komisi HAM PBB.

Pelajaran bagi kita
Bagi bangsa Indonesia, kasus Kosovo memberikan pelajaran yang sangat besar dan berarti. Bangsa ini hendaknya mempunyai nurani dan empati terhadap kelompok minoritas. Bangsa dan negara harus menghormati dan atau melindungi, dan juga berempati, betapa berat dan sulitnya menjadi minoritas (etnik, agama, politik, dan sebagainya) itu. Kelompok mayoritas harus berempati, bernurani, dan tidak semena-mena atau sewenang-wenang terhadap minoritas.

Kasus Kosovo memberikan pelajaran kepada mayoritas agar semua pihak memiliki kesantunan sebagai mayoritas. Dan juga jangan sampai negara melakukan diskriminasi, apalagi pelanggaran HAM berat seperti pemusnahan etnik dan agama yang semena-mena terhadap kaum minoritas seperti yang terjadi di Kosovo.

Ikhtisar
- Sudah sangat panjang penderitaan yang dialami warga Kosovo akibat kekejaman Serbia
- Tidak ada pilihan lain yang layak diberikan kepada Kosovo selain kemerdekaan.
- Dukungan bagi kemerdekaan Kosovo yang diberikan lewat DK PBB, memiliki makna yang sangat strategis bagi Indonesia.
- Kasus Kosovo memberi pelajaran soal pentingnya menghapus dikotomi

No comments: