Monday, May 28, 2007

KENANGAN 25 TAHUN
Perang Malvinas

ninok leksono

Karena meremehkan ”Wanita Besi” dan Rudal Exocet,
”Perang (Malvinas/Falkland) itu ibarat dua orang gundul
yang memperebutkan sisir.”

(Jorge Luis Borges, penulis Argentina)

Mungkin saja pernyataan pengarang Argentina tersebut benar. Artinya, lebih-lebih dalam konteks sekarang, orang bisa bertanya, "Untuk apa sih sebenarnya Inggris dan Argentina sampai harus berperang memperebutkan Kepulauan Falkland (menurut Inggris) atau Malvinas (menurut Argentina).

Akan tetapi, terhadap sejarah kita diingatkan, tidak ada kata "seandainya". Faktanya, perang ini akan dikenang sebagai perang yang mengandung pertempuran laut paling besar dan paling panjang semenjak kampanye Pasifik di masa Perang Dunia II.

Perang yang oleh Inggris disebut dengan nama Operation Corporate ini juga melibatkan operasi amfibi paling besar semenjak pendaratan Inchon pada tahun 1950. Juga penyelenggaraan logistik sejauh 11.000 km dari Inggris ke Atlantik Selatan, medan tempur musim dingin yang jauhnya sekitar 5.000 km dari pangkalan sahabat terdekat di Pulau Ascension.

Argentina menyerbu Malvinas/Falkland karena mengklaim kepulauan ini sebagai miliknya. Selain dekat dengan wilayah utama (mainland), juga karena merasa pihaknya merupakan pewaris kedaulatan dari Pemerintah Spanyol yang gagal pada tahun 1810 dan menyebabkan kepulauan itu lalu dikuasai Inggris. Klaim ini merasuk ke dalam sanubari rakyat Argentina dan masuk dalam kurikulum sejarah di sekolah dari generasi ke generasi.

Ini sebenarnya juga isu yang umum semenjak berakhirnya Perang Dunia II, yaitu satu negara berkembang mengajukan klaim teritorial yang sudah lama diyakini terhadap bagian dari bekas negara si penjajah.

Namun, sejumlah pihak melihatnya dari sisi lain. Motivasi utama Argentina melancarkan perang ini adalah untuk mengalihkan ancaman terhadap rezim Jenderal Leopoldo Galtieri yang sedang mendapat tekanan dari berbagai penjuru karena dituduh melancarkan "perang kotor", di mana 15.000 sampai 30.000 rakyat sipil Argentina dibunuh atau "hilang", selain karena ekonomi buruk.

Dengan adanya faktor terakhir, ide merebut kembali Kepulauan Malvinas yang terletak sekitar 500 km dari pantainya diperkirakan bisa menggalang dukungan kalangan nasionalis.

Salah duga

Pada 19 Maret 1982 Argentina memulai konflik dengan mendaratkan perlengkapan di Pulau Georgia Selatan dan menaikkan bendera Argentina. Hari berikutnya Inggris mengirimkan kapal HMS Endurance dari Stanley dengan separuh garnisun yang terdiri atas 22 Royal Marine dan seorang letnan. Mereka diperintahkan untuk mendeportasi perlengkapan Argentina, tetapi harus menghadapi 100 tentara Argentina yang dikirim untuk mempertahankan kapal- kapalnya.

Dari Georgia Selatan, Argentina lalu melancarkan serangan ke Pulau Malvinas/Falkland Timur dan menduduki Stanley pada 2 April 1982. Argentina juga terus menambah pasukan sehingga dalam tempo singkat sudah 4.000 personel Argentina yang ada di pulau-pulau tersebut (GlobalSecurity.org).

Inggris, yang saat itu dipimpin oleh "Wanita Besi" Margaret Thatcher dari Partai Konservatif, membela hak kedaulatannya dengan menegaskan bahwa kedaulatan didasarkan pada hak penentuan nasib sendiri bagi warga Falkland yang beretnik Inggris. Selain itu, Inggris pun saat itu juga sedang perlu alat pemersatu ketika negara tersebut sedang dirundung kesulitan akibat kebijakan fiskal dan ekonomi pemerintahan Konservatif.

Tampak bahwa perang ini pecah akibat adanya salah hitung, baik di pihak Inggris maupun Argentina, ditambah adanya pengaruh AS. Argentina mengklaim bahwa AS mengisyaratkan pihaknya tidak akan ikut campur kalau Argentina mengkalim Kepulauan Malvinas.

Oleh sebab itu, adanya bantuan AS ke Inggris dalam bentuk intelijen dan material dipandang sebagai wujud pengkhianatan terhadap Argentina dan warga Amerika Latin yang berharap bisa melihat adanya persatuan sesama warga hemisfer (Selatan) di pihak AS, atau sekurang-kurangnya sikap netral.

Argentina melihat peran AS kritikal dan menegaskan bahwa perang tidak akan pecah kalau saja Inggris tidak mendapat dukungan dari AS. Organisasi Negara-negara Amerika dan Amerika Latin pada dasarnya mendukung Argentina, tetapi pengaruh AS membuat anggota organisasi tak bisa mengambil langkah konkret.

Pihak Inggris benar-benar mengharapkan bantuan AS untuk membebaskan warga Falkland dari cengkeraman rezim militer. Inggris juga mendapat dukungan dari masyarakat Eropa pada umumnya. Perancis, misalnya, mengembargo ekspor senjata ke Argentina, yang lalu secara drastis memangkas kemampuan militer Argentina (Politics of the World, Oxford, 1993).

Di medan perang, Inggris pun mencanangkan Zona Eksklusi Maritim sejauh 200 mil di sekeliling Kepulauan Falkland guna melemahkan pasokan dan penambahan pasukan Argentina. Tiga kapal selam dikerahkan untuk menegakkan zona ini hingga gugus tugas permukaan tiba tiga pekan kemudian. Pada 25 April 1982 tentara Inggris berhasil merebut kembali Georgia Selatan.

Gugus tugas Royal Navy yang tiba di timur Falkland pada 1 Mei 1982 ditugasi untuk merebut supremasi laut dan udara, menghancurkan kapal laut Argentina, serta pesawat tempur yang datang dari daratan Argentina. Tugas berikutnya adalah pendaratan di Stanley.

Inggris mengerahkan dua kapal selam untuk menghadang gugus tugas kapal induk Veinticinco De Mayo yang beroperasi di utara Kepulauan Falkland sejak 20 April 1982, sedangkan kapal selam ketiga dikerahkan di selatan untuk menghadang kapal penjelajah Belgrano yang bersenjatakan rudal antikapal Exocet. Kapal ini berikutnya ditenggelamkan oleh torpedo dari HMS Conqueror. Sementara itu, De Mayo dipulangkan dan jet Skyhawk A-4-nya pun diterbangkan dari daratan untuk menyerang kapal-kapal Inggris.

Menarik untuk dicatat bahwa serangan jet Argentina sempat membuat Inggris kewalahan meski punya sistem penangkis serangan udara maju di kapal perangnya serta kawalan pesawat jet Sea Harrier. Sekitar 75 persen kapal permukaan Inggris sempat terkena bom pesawat Argentina, tetapi hanya tiga kapal perang permukaan—satu perusak dan dua frigat—dan dua kapal pendarat yang tenggelam atau rusak parah akibat bom. Adapun kapal-kapal Inggris lain yang tenggelam—sebuah perusak dan kapal suplai—akibat kena hantaman rudal Exocet.

Selama perang, Angkatan Laut Inggris bisa menghancurkan lebih dari setengah pesawat tempur Argentina yang berjumlah 134, dan itu dilakukan dengan memanfaatkan kombinasi perang elektronik, pesawat jet Harrier, rudal permukaan-ke- udara serta artileri antipesawat.

Argentina menyerah

Perang Malvinas berakhir dengan menyerahnya Argentina pada 14 Juni 1982. Pasukan Argentina yang tertawan direpatriasi segera melalui Uruguay.

Mungkin ini memang bukan perang yang seimbang. Namun, ketika ia sudah menjadi sejarah, tentu ada yang pelajaran yang bisa disimak. Kalau tahu musuh yang akan dihadapi adalah kekuatan kolonial yang perkasa, mengapa Jenderal Galtieri berani memulai mencari perkara?

Cukup sahihkah klaim kedaulatan digunakan untuk melancarkan satu invasi yang berisiko sangat tinggi, tidak saja bagi pimpinan rezim dan bangsa. Ini sejarah yang sampai kapan pun tetap relevan untuk dikaji.

Kalau menengok wilayah lain mungkin orang bisa menemukan Presiden Soekarno dengan politik konfrontasinya, Presiden Saddam Hussein dengan invasi ke Kuwait yang lalu meletupkan Perang teluk 1991, dan bahkan berlanjut pada Invasi AS 2003.

No comments: