Lebanon
Pertikaian Fatah al-Islam Versus Militer
Musthafa Abd Rahman
Seorang teman, wartawan Mesir yang bekerja di sebuah majalah mingguan terkemuka Lebanon, menuturkan, rekan-rekannya di Beirut mulai cemas. Pasalnya, mulai ada sinyal soal pihak-pihak yang menggerakkan kamp-kamp pengungsi Palestina di Lebanon untuk menyulut perang saudara. Dikhawatirkan, hal itu bisa menyeret Hezbollah masuk ke perangkap perang saudara.
Ada tangan-tangan tersembunyi yang membuat skenario semacam itu. Provokasi terbaru tersebut diduga merupakan bagian dari rangkaian aksi kekerasan yang terjadi sebelum sekarang ini. Misalnya, adanya aksi pembunuhan, peledakan, unjuk rasa, dan bentrok senjata terbatas.
Skenario soal perang saudara terbaru itu akan dimulai dari kamp pengungsi Palestina di Lebanon Utara (Nahr al Bared). Aksi itu akan dilakukan juga di kamp pengungsi di Lebanon Selatan, di mana terdapat basis Syiah. Dalam hal ini, Hezbollah tidak mungkin berdiam diri jika kaum Syiah mendapat sasaran serangan.
Kecemasan itu muncul setelah terjadi pertempuran sengit antara militer Lebanon dan kelompok bersenjata Palestina, yang menamakan diri Fatah al-Islam, sejak hari Minggu (20/5). Pertempuran tersebut dilukiskan sebagai yang terburuk sejak berakhirnya perang saudara tahun 1990.
Militer Lebanon dan Fatah al-Islam masing-masing telah kehilangan lebih dari 30 anggotanya. Korban dari penduduk sipil tentu jauh lebih banyak.
Secara strategi, membaranya kembali pertumpahan darah di Lebanon adalah akibat gagalnya proses perdamaian Timur Tengah. Hal itu juga dipicu oleh kegagalan pemberian solusi yang adil terhadap isu pengungsi Palestina di Lebanon.
Ada 12 kamp pengungsi Palestina di Lebanon yang dihuni hampir 400.000 pengungsi Palestina. Sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan penuh dengan rasa keputusasaan dalam menatap masa depannya. Kondisi pengungsi Palestina di Lebanon dikenal sebagai yang terburuk dibandingkan dengan pengungsi Palestina di negara Arab lain.
Awal pertempuran
Awal dari pertempuran di Lebanon itu dimulai saat sekelompok polisi Lebanon hanya mau mendobrak sebuah gedung tempat persembunyian aktivis Fatah al-Islam. Aktivis ini dituduh merampok uang sebanyak 100.000 dollar AS dari sebuah bank.
Akan tetapi, di luar dugaan, ternyata masalahnya jauh lebih besar dari sekadar memburu sekelompok perampok. Kota Tripoli pun tiba-tiba berada di luar kontrol aparat keamanan.
Pemerintah Lebanon tampak kecolongan akibat kurangnya informasi intelijen tentang posisi, kesiapan, dan tujuan strategi dari Fatah al-Islam. Aparat keamanan dan militer Lebanon juga terlihat kurang koordinasi.
Sebaliknya, Fatah al-Islam telah melakukan persiapan dan perencanaan yang matang. Mereka menguasai jalan-jalan dan perkampungan di kota Tripoli.
Fatah al-Islam membentuk satuan-satuan tempur kecil dengan bergerak dari satu jalan ke jalan lain. Jika sebuah satuan kehabisan peluru, mereka segera pindah ke jalan lain dan di sana sudah menunggu satuan lain yang siap menyuplai peluru dan senjata.
Militer Lebanon akhirnya juga terlibat dalam pertempuran setelah Fatah al-Islam menyerang pos pemeriksaan militer. Pihak militer berhasil membebaskan kota Tripoli dari Fatah al-Islam.
Pertempuran pun lalu terbatas hanya terjadi di sekitar kamp pengungsi Nahr al Bared, pangkalan Fatah al-Islam.
Diperkirakan ada 200-300 aktivis bersenjata Fatah al-Islam yang terlatih dengan baik, yang masih bertahan di kamp Nahr al Bared. Namun, militer Lebanon tidak bisa masuk ke kamp pengungsi itu untuk memburu sisa-sisa aktivis Fatah al-Islam karena status otonomi semua kamp pengungsi Palestina di Lebanon sesuai dengan kesepakatan Cairo tahun 1969.
Tiga dimensi persoalan
Dari pertempuran Nahr al Bared itu terkuak adanya tiga dimensi persoalan. Pertama, adanya jaringan Tanzim Al Qaeda di Lebanon. Pemimpin Fatah al-Islam Shaker al Abssi dalam wawancara dengan harian Asharq Al Awsat bulan Maret lalu mengakui simpati kepada perjuangan Tanzim Al Qaeda dan Osama Bin Laden. Ia menyatakan mendukung dasar pemikiran Tanzim Al Qaeda dan berdirinya negara Islam.
Al Abssi adalah warga negara Yordania yang berasal dari Palestina. Ia keluar dari gerakan induknya, Fatah Intifadah pimpinan Abu Musa. Bersama Abu Musab Zarqawi, ia telah dijatuhi hukum mati in absentia oleh pengadilan Yordania karena dituduh terlibat pembunuhan terhadap seorang diplomat AS, Laurence Foley, di Amman tahun 2002.
Fatah al-Islam muncul pertama kali ke permukaan pada akhir Oktober tahun 2006. Ketika itu, sejumlah aktivis bersenjata menyatakan hengkang dari gerakan Fatah al-Intifadah. Hal ini bermula dari sebuah bentrok bersenjata di kamp pengungsi Beddawi, Lebanon Utara, antara aparat keamanan dan 19 aktivis bersenjata yang belum dikenal loyalitasnya.
Mereka tinggal di dua apartemen di dekat mesjid Al Quds di kamp pengungsi Beddawi. Pada saat itu, keluar pernyataan soal lahirnya gerakan Fatah al-Islam. Para pendirinya pun lalu pindah dari kamp Beddawi ke kamp Nahr al Bared.
Gerakan Fatah al-Islam semula hanya beranggotakan para pemuda Palestina dengan jumlah sekitar 15 aktivis dan kemudian bertambah hingga 300-400 aktivis setelah sejumlah aktivis dari kamp pengungsi Ain Hilweh di Lebanon Selatan dan kamp lainnya ikut bergabung.
Kini Fatah al-Islam beranggotakan berbagai warga negara, yakni Palestina, Lebanon, Suriah, dan Arab Saudi.
Dimensi kedua adalah munculnya kembali isu senjata Palestina di kamp-kamp pengungsinya di mata opini Lebanon. Opini Lebanon juga melihat gerakan Fatah al-Islam, Ansar Allah, dan tentara Syam hanya berbeda nama, tetapi satu substansi, yakni punya hubungan kuat dengan Tanzim Al Qaeda. Mereka menuduh gerakan-gerakan tersebut berada di balik aksi sejumlah ledakan di Lebanon akhir-akhir ini.
Hezbollah juga melihat dengan penuh curiga terhadap opini tersebut karena bisa jadi bidikan sasaran mereka adalah pada kepemilikan senjata Hezbollah juga.
Hal itu diperburuk lagi oleh pandangan diplomat Barat di Beirut yang sering kali berkomentar. Para diplomat itu pada intinya mengatakan tidak akan melihat dalam waktu dekat keberadaan negara dan Pemerintah Lebanon yang kuat selama senjata belum sepenuhnya berada di bawah otoritasnya.
Hezbollah dan faksi-faksi Palestina di kamp-kamp pengungsi masih menyandang senjata.
Dimensi ketiga, muncul teka-teki soal siapa di balik aksi Fatah al-Islam. Kubu pro dan kontra Suriah kini saling tuduh.
Para analis menyebut, tumbuh dan berkembangnya Fatah al-Islam tidak terlepas dari konteks krisis hubungan antara Suriah dan Pemerintah Lebanon saat ini. Fatah al-Islam berhasil mendapat perhatian opini Lebanon menyusul sikap Pemerintah Lebanon yang menuduh gerakan tersebut juga berada di balik peledakan Ain Alaq. Fatah al-Islam pun menentang keberadaan pasukan PBB di Lebanon Selatan, UNIFIL.
Sejumlah politisi Lebanon propemerintahan Perdana Menteri Fuad Siniora menuduh Fatah al-Islam bergerak untuk kepentingan Suriah di Lebanon. Kelompok ini dituduh melakukan aksi pengacauan untuk mencegah terbentuknya mahkamah internasional yang akan mengadili para pembunuh almarhum mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri.
Pemimpin Druze Walid Jumblatt yang anti-Suriah mengatakan, Fatah al-Islam adalah gerakan antek-antek Suriah. Deputi Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Tengah David Welch dalam kunjungannya ke Lebanon dua pekan lalu telah memberi peringatan kepada Pemerintah Lebanon soal fenomena berkembangnya Islam radikal di Lebanon.
AS secara khusus mulai memberi perhatian kepada gerakan Islam Sunni radikal di Lebanon utara yang bisa jadi merupakan jaringan yang memanjang dari Irak ke Lebanon.
Akhir-akhir ini muncul berbagai nama gerakan radikal, seperti tentara Syam, Partai Kemerdekaan, Usbah al-Ansar, dan Fatah al-Islam.
Kolumnis di harian Asharq Al Awsat, Huda Al Husseini, dalam artikelnya hari Kamis (24/5) menuduh Suriah berada di balik Fatah al-Islam. Ia menyitir editorial harian setengah resmi Suriah, Thisreen, edisi hari Sabtu (19/5) yang memberi peringatan keras kepada Pemerintah Lebanon menyusul tindakan PM Fuad Siniora yang melayangkan surat ke Dewan Keamanan PBB yang berisikan pembentukan mahkamah internasional untuk menangani kasus tewasnya mantan PM Rafik Hariri.
Ia juga menyebut harian terkemuka Lebanon, Safir, edisi di hari yang sama. Menurut harian Safir, tindakan PM Siniora mengirim surat ke DK PBB tentang pembentukan mahkamah internasional membawa Lebanon masuk ke terowongan gelap dan, jika DK PBB menetapkan pembentukan mahkamah internasional sesuai dengan Pasal VII, bencana besar akan melanda Lebanon.
Sebaliknya, Hezbollah yang pro-Suriah juga menuduh Fatah al-Islam berusaha membunuh pimpinannya. Al Abssi sendiri menegaskan, ia datang ke Lebanon guna menggagalkan resolusi DK PBB Nomor 1559 yang bertujuan melucuti senjata Palestina di kamp-kamp pengungsi.
Kubu oposisi yang pro-Suriah dikenal sangat menolak resolusi DK PBB Nomor 1559 itu. Kubu oposisi Lebanon menuduh pemerintah membesar-besarkan krisis ini untuk meyakinkan opini umum tentang keharusan meminta bantuan pasukan internasional untuk menjaga perbatasan Suriah-Lebanon.
Konspirasi Barat
Oposisi juga melihat anarkisme keamanan di Lebanon akibat konspirasi Barat yang membawa persoalan Lebanon ke panggung internasional dengan dalih Pemerintah Lebanon belum mampu mengendalikan negara.
Oposisi juga menyebut bahwa ada proyek AS dan Israel untuk menyulut konflik internal karena mereka tidak mampu menumpas gerakan perlawanan Hezbollah.
Oposisi juga menuduh pemerintah menyeret militer Lebanon ke dalam pertempuran yang tidak mungkin bisa dimenangi. Masalahnya, militer Lebanon juga terpecah. Militer Lebanon di wilayah selatan, yang sebagian besar anggotanya dari Syiah, dikenal lebih loyal kepada Presiden Emile Lahoud yang pro-Suriah. Militer Lebanon juga lemah karena tidak punya kekuatan politik dan moral untuk memasuki dan mendobrak kamp pengungsi Palestina.
Menurut kubu oposisi, terkurasnya kekuatan militer Lebanon melalui perangkap pertempuran dengan Palestina yang tidak bisa dimenangkannya dapat dijadikan dalil bahwa militer Lebanon tidak mampu melindungi negara. Karena itu, pemerintah akan meminta bantuan pasukan internasional untuk menjaga perbatasan Suriah-Lebanon.
Oposisi juga menuduh pemerintah ingin merusak doktrin militer Lebanon yang bersandar pada ideologi nasionalisme, di mana Israel dianggap sebagai satu-satunya musuh. Karena itu, menurut oposisi, terseretnya militer ke dalam pertempuran dengan Palestina bisa menyusutkan popularitas militer karena telah jadi bagian dari konflik internal. Militer tidak bisa berdiri secara obyektif di antara berbagai faksi dan kekuatan sektarian yang ada di Lebanon.
Hal ini juga bisa menggagalkan Panglima Angkatan Bersenjata Lebanon Michel Sulaiman untuk menjadi kandidat kuat dalam pemilihan presiden mendatang. Pemerintahan PM Siniora ditengarai kurang senang jika Michel Sulaiman menjadi presiden.
No comments:
Post a Comment