Tragedi di Bumi Nineveh
Trias Kuncahyono
Pada 22 Februari 2006, Masjid Al Askaria atau Masjid Emas di Samarra diledakkan. Masjid Emas itu milik kaum Syiah meski Samarra adalah kota Sunni. Sejak saat itu, seakan anak panah konflik berbau sektarian di Irak terus berlepasan tanpa kendali. Korban pun terus berjatuhan.
Sampai kapan konflik itu akan terus bergulir? Pertanyaan itu dijawab dengan peledakan bom bunuh diri menggunakan truk di wilayah Irak utara. Empat bom bunuh diri meledak di daerah permukiman kaum Yazidi di Desa Qataniya dan Adnaniya, Provinsi Ninive (Nineveh). Paling kurang 200 orang tewas akibat bom bunuh diri itu (bahkan informasi terakhir menyatakan korban tewas mencapai 400 orang).
Peledakan bom itu mengirimkan pesan bahwa kini konflik sektarian di Irak telah semakin luas. Konflik menyentuh wilayah yang selama ini terlindungi. Selama ini, Nineveh adalah daerah bebas konflik sektarian, tidak seperti Baghdad atau kota-kota di sekitarnya. Akan tetapi, apa yang terjadi pada Selasa (14/8) telah membuat wilayah itu berdarah-darah.
Lebih dari itu, konflik sektarian kini tidak hanya antara kelompok Syiah dan Sunni, melainkan telah pula menjadikan kaum Yazidi sebagai korbannya. Kaum Yazidi Kurdi adalah kelompok minoritas yang tersebar di Suriah, Turki, Georgia, Armenia, dan Irak. Di Irak diperkirakan jumlah mereka 100.000 orang.
Mengapa kaum Yazidi Kurdi yang menjadi sasaran? Tidak jelas benar jawabannya. Yang pasti, tragedi Nineveh—di tempat itu ada kota kuno bernama Nineveh yang dahulu kala menjadi ibu kota Kerajaan Assiriah. Dan, dari Nineveh pula lahir cerita tentang Nabi Yunus yang dimakan ikan paus karena menolak perutusan Tuhan—memaksa orang untuk segera berkesimpulan: konflik sektarian di Irak tak terkontrol lagi.
Kaum Yazidi adalah kelompok yang unik. Mereka menggabungkan elemen-elemen Zoroastrianisme, Manicheisme, Yudaisme, Kristen, dan Islam menjadi agamanya. Mereka menyembah figur malaikat, Malak Ta’us atau Malaikat Burung Merak. Kaum Yazidi tidak percaya akan adanya neraka dan menyangkal adanya setan (Encyclopaedia of The Orient).
Mereka juga memiliki kitab suci, bahkan dua: Kitab Wahyu dan Buku Hitam. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab. Kaum Yazidi menyebut diri mereka Dasin, sedangkan istilah "Yazidisme" diperkirakan berasal dari bahasa Persia, yakni ized yang berarti malaikat. Karena itu, nama Yazidisme dihubungkan dengan kalifah keenam, Yazid (680-683) dari kaum Syiah.
Yang menarik lagi adalah ritual mereka berpusat pada Sheik Adii, seorang sufi Arab yang tinggal di Irak bagian utara pada abad ke-12 dan diyakini sebagai orang sucinya. Ada perziarahan tahunan ke makam Sheik Adii yang terletak di Mosul, Irak utara, selama enam hari pada akhir Agustus.
Akan tetapi, pertanyaannya tetap sama: mengapa mereka menjadi korban pengeboman bunuh diri?
Pembasmian etnis
Jawaban yang segera muncul—meski masih membutuhkan penjelasan lebih dalam—adalah tragedi Nineveh sebagai bentuk dari pembasmian etnik dan agama. John Simpson dalam tulisannya di BBC News menyatakan, hal seperti itu telah menjadi bagian dari pola yang mendasari perang saudara di Irak. Benarkah demikian?
Sementara itu, Misi Bantuan PBB di Irak menyebut serangan itu sebagai "tindak kriminal sangat jahat yang dimaksudkan untuk memperluas perpecahan sektarian dan etnik di Irak" (The Christian Science Monitor, 17/8).
Yang pertama-tama dituding oleh berbagai pihak termasuk AS adalah kelompok militan yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda. Tudingan itu antara lain didasarkan pada adanya kesamaan serangan di Nineveh dengan di Dusun Amerli, sebuah wilayah terpencil di Provinsi Salaheddin, sebulan lalu. Dalam tragedi di Amerli itu tercatat 185 orang tewas. Sebagian besar korban adalah orang-orang Syiah Turki.
Kondisi di lapangan memberikan pesan jelas bahwa perdamaian di Irak masih jauh. Bisa jadi, ini merupakan babak-babak awal dari berakhirnya Irak sebagai sebuah negara dan akan terpecah-pecah menjadi tiga negara: selatan, tengah, dan utara.
Selatan di tangan kaum Syiah, tengah di bawah kekuasaan kaum Sunni, dan utara menjadi negaranya etnik Kurdi (Peter W Galbraith, The End of Iraq, How American Incompetence Created A War Without End).
Namun, apakah menjadi setragis itu? Kalau itu terjadi, keyakinan para arsitek perang di Washington yang mendorong pecahnya perang di Irak dan penyingkiran Saddam Hussein, yakni menjadikan Irak sebagai negara demokrasi, gagal total.
Ini karena demokrasi memberi tempat bagi tumbuh berkembangnya toleransi. Atau dengan kata lain toleransi adalah salah satu nilai dari demokrasi. Tak ada toleransi, tak ada demokrasi.
Dan, inilah tragedi Nineveh.
No comments:
Post a Comment