Wednesday, August 8, 2007

Presiden Musharraf dan Kekuasaan Militer

Maruli Tobing

Apakah Presiden Pakistan Pervez Musharraf akan tetap bertahan?

Pertanyaan ini muncul setelah krisis Lal Masjid (Masjid Merah) beralih menjadi aneka serangan bom bunuh diri dan konflik bersenjata di Waziristan. Krisis konstitusi akibat pencopotan Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Mohammad Chaudhry berujung pada kemenangan oposisi yang menuntut pembatalan pencopotan tersebut.

Sejauh ini belum ada tanda- tanda eskalasi gejolak politik dalam negeri. Namun, Frederic Grare berpendapat, kekuasaan Presiden Musharraf menjelang tamat.

Dalam analisanya, Musharraf in the Twilight di surat kabar Washington Post, Selasa (10/7), pakar Asia Selatan ini menulis, terlepas dari apa pun bentuk penyelesaian krisis Masjid Merah tetap tidak akan dapat menyelamatkan Musharraf, yang citranya telanjur buruk di dalam dan luar negeri.

Grare berpendapat, Musharraf tidak populer di mata rakyat Pakistan dan bermuka dua dalam perang melawan teror. Dukungan Washington kepada Musharraf hanya akan memperdalam sentimen anti-Amerika Serikat di Pakistan.

Ketergantungan pada AS Seperti halnya rezim militer di muka bumi, Jenderal Musharraf yang berkuasa melalui kudeta (1999) bergantung pada dukungan AS. Khususnya dalam bentuk bantuan ekonomi dan militer.

Dalam persepsi Gedung Putih, Musharraf masih tetap yang terbaik hingga saat ini. Sehari setelah penyerbuan Masjid Merah, misalnya, Presiden George W Bush mengatakan, "Musharraf adalah sekutu penting dalam perang melawan ekstremis dan mitra dalam mempromosikan demokrasi.’’ (AP, 11/7)

Memang, pekan berikutnya Gedung Putih merilis laporan National Intelligence Estimate, Selasa (17/7). Isinya antara lain menyebut, setelah rontok oleh serangan AS tahun 2001, Al Qaeda bangkit kembali karena mendapat tempat berlindung di Pakistan. Laporan hasil konsensus 13 badan intelijen AS itu secara implisit menyebut Musharraf gagal dalam perang melawan teror.

Laporan itu menjadi basi karena Gedung Putih justru memuji keputusan Presiden Musharraf, yang sejak pertengahan Juli lalu mengerahkan ribuan prajurit ke Waziristan, basis pendukung Taliban. AS berjanji akan mengucurkan 350 juta dollar AS untuk membantu membiayai operasi itu dan 750 juta dollar AS bagi pembangunan Waziristan.

Di dalam negeri, oposisi menentang Musharraf makin membesar. Khususnya setelah pencopotan Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Mohammad Chaudhry, Maret lalu. Sementara penyerbuan Masjid Merah melahirkan tekad kelompok militan mengakhiri kekuasaan Presiden Musharraf, termasuk dengan menggunakan aneka bom bunuh diri.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa oposisi parlemen atau jalanan, pemilu, konstitusi, gerakan sipil, parpol, pers, aksi- aksi kelompok militan, sektarian, dan etnis, hanyalah faktor pelengkap dalam politik. Yakni, kemasan yang dibutuhkan sebagai prasyarat suatu negara modern.

Di atas semua itu berdiri kokoh institusi militer, yang menentukan arah dan dinamika hampir semua sektor kehidupan sosial. Termasuk agama, pendidikan, dan ekonomi. Lagi pula, hampir semua jabatan penting dipegang oleh militer dan purnawirawan. Termasuk di lingkungan badan usaha milik negara.

Intelijen

Melalui jaringan intelijennya, militer membangun kekuatan politik dan melemahkan atau memprovokasi parpol, gerakan sipil, menyulut konflik sektarianisme, fundamentalisme, etnik, dan ideologi.

Sebagai kekuatan ekonomi, militer membangun kerajaan bisnis yang bergerak di sektor perbankan, asuransi, real estat, konstruksi, pendidikan, ritel, stasiun televisi, surat kabar, industri, hotel, dan lain sebagainya.

Dengan organisasi yang kuat dan berdisiplin, sumber dana yang besar, kekuasaan, senjata, dan teknologi, militer tampil sebagai kekuatan yang tidak tertandingi. Bahkan oleh pemerintah sekalipun.

Dengan kekuatan sedemikian besar, setiap saat militer dapat menggoyang pemerintahan sipil. Maka bukanlah hal aneh jika Pakistan yang terbentuk tahun 1947, baru 9 tahun kemudian mempunyai konstitusi. Itu pun masih berubah-ubah lagi, mengikuti selera rezim yang melakukan kudeta.

Perang dan "perang’’ Dominasi militer bukanlah fenomena perang melawan teror. Ia adalah produk historis yang ditanamkan sejak terbentuknya Pakistan, 14 Agustus 1947. Saat itu kerusuhan komunal memorak- porandakan kota-kota Pakistan. Dua bulan kemudian pecah perang Pakistan-India memperebutkan Kashmir.

Perang tidak berhenti di situ saja. Perang Pakistan-India ternyata berkesinambungan, kemudian muncul perang saudara yang melahirkan Banglades, perang Afganistan, perang mujahidin, perang rahasia di Kashmir, perang sektarian, perang etnis, dan beragam perang lainnya. Termasuk "perang’’ di Masjid Merah yang berlangsung 9 hari dan dilanjutkan di Waziristan.

Perang di kompleks Masjid Merah merupakan contoh menarik. Menurut pengakuan Maulana Abdul Aziz, Pemimpin Masjid Merah, ia ternyata ditipu pejabat intel yang sejak lama membinanya. Pejabat intel itu menghubungi Abdul Aziz melalui telepon seluler untuk bertemu di luar kompleks masjid. Abdul Aziz diminta mengenakan burkah sebagai samaran.

Ketika Abdul Aziz melangkah keluar kompleks menuju tempat pertemuan, aparat keamanan langsung menyergap. Esok harinya, media massa memberitakan Abdul Aziz ditangkap ketika berusaha melarikan diri. Ia ditayangkan di layar televisi, lengkap dengan burkahnya. (Asia Times Online, 7/7).

"Perang’’ demikian menghasilkan sedikitnya 1,1 miliar dollar AS bantuan AS. Selain itu, AS terpaksa menyerahkan 12 dari 28 pesawat F16, yang selama beberapa tahun ditunda penyerahannya.

Lantas, soal apakah kekuasaan Presiden Musharraf akan tamat atau tidak, tergantung pada sejauh mana militer, khsususnya Angkatan Darat, mendukungnya. Pertemuan dengan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto untuk menjajaki kemungkinan koalisi menyongsong pemilu akhir tahun hanyalah pelengkap.

Kunci terakhir yang menentukan adalah Kepala Staf Angkatan Darat, yang hingga kini masih dipegang oleh Musharraf sejak ia melancarkan kudeta tahun 1999. Maka, meskipun jabatan rangkap ini bertentangan dengan konstitusi, Musharraf tetap presiden dan berkuasa.

No comments: