Thursday, August 30, 2007

Pakistan


Musharraf Bersepakat dengan Benazir Bhutto

Islamabad, Rabu - Presiden Pakistan Pervez Musharraf, Rabu (29/8), bersepakat dan bersedia mengikuti tuntutan mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto untuk mundur dari jabatan kepala staf Angkatan Darat. Kesepakatan antara Bhutto dan Musharraf itu termasuk perkembangan dari langkah maju negosiasi pembagian kekuasaan. "Kedua belah pihak telah sepakat soal itu," kata Menteri Perhubungan Sheikh Rashid Ahmed.

Namun, pernyataan Ahmed itu tidak senada dengan Bhutto yang sampai sekarang masih tidak jelas menyatakan apakah Musharraf telah benar-benar bersedia mundur dari jabatan di militer itu. Bahkan, disebutkan, utusan Musharraf sedang berusaha menyelesaikan semacam pakta dengan Bhutto. Kesepakatan atau pakta itu diharapkan bisa membantu Musharraf mempertahankan kekuasaan sebagai presiden hingga lima tahun mendatang.

Di harian Daily Telegraph, Rabu, Bhutto hanya disebutkan mengatakan bahwa masalah seragam sudah diselesaikan. "Isu seragam ini amat penting dan ada banyak perkembangan dalam negosiasi kami beberapa hari terakhir," ujarnya. Selain persoalan jabatan Musharraf, masih ada beberapa isu yang akan dibahas kedua belah pihak.

Negosiasi di antara Musharraf dan Bhutto itu dianggap penting karena keduanya memiliki pandangan relatif liberal, pro-Barat, dan sama-sama berusaha mengantisipasi krisis politik yang akan dapat melumpuhkan Pakistan.

Tuntutan Bhutto itu sesuai dengan konstitusi yang ada. Bhutto dan pemimpin kelompok oposisi lainnya menyatakan, dalam konstitusi disebutkan, Musharraf harus melepaskan posisi sebagai kepala staf AD sebelum meminta mandat baru dari parlemen pada September atau Oktober mendatang. Musharraf mulai berkuasa sejak terjadi kudeta pada tahun 1999. Meski sudah jelas tercantum di dalam konstitusi, Musharraf tetap bersikeras untuk tetap menjabat kepala staf AD hingga akhir tahun 2007.

Popularitas redup

Bekerja sama dengan Bhutto menjadi satu-satunya pilihan bagi Musharraf jika ingin tetap mempertahankan kekuasaan. Apalagi mengingat sejak Maret lalu popularitas Musharraf mulai turun. Ketika itu Musharraf berusaha mengganti hakim ketua di Mahkamah Agung. Tindakan itu langsung menuai protes, yang kemudian menuntut Musharraf segera mundur dari jabatannya sebagai presiden.

Pengadilan kemudian kembali mengaktifkan hakim ketua Mahkamah Agung bulan Juli lalu. Tindakan itu diharapkan akan dapat menguatkan gugatan hukum terhadap pemilihan kembali Musharraf. Pengadilan mengaku telah menerima petisi dari Kepala Partai Islam Jamaat-e-Islami Qazi Hussain Ahmad, yang menentang peran ganda Musharraf sebagai presiden sekaligus sebagai kepala staf AD.

Pekan lalu pengadilan juga memutuskan, mantan PM Pakistan yang terguling dari kekuasaan di tahun 1999 dan kini juga mengungsi, Nawaz Sharif, diperbolehkan pulang ke Pakistan saat menjelang pemilu parlemen, Januari mendatang. Sharif lantas menuding Musharraf sebagai diktator yang harus disingkirkan dari politik. Para pendukung Sharif menyatakan akan menyambut kembalinya Sharif sebelum pemilihan presiden. Padahal, pemerintah telah mengancam akan menangkap Sharif dengan tuduhan akan merencanakan kudeta.

Musharraf pernah bertekad tidak akan memperbolehkan Bhutto atau Sharif kembali masuk ke Pakistan. Dua mantan PM itu dituding korupsi dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang nyaris saja membangkrutkan Pakistan pada tahun 1990-an. Namun, kini keduanya boleh kembali pulang untuk mengikuti rekonsiliasi politik. (AP/LUK)

No comments: