Thursday, August 30, 2007

Tragedi Kemanusiaan


AS, dari Vietnam ke Irak

Trias Kuncahyono

Dua tahun silam, salah seorang arsitek Perang Vietnam, mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, ketika wawancara dengan CNN dalam acara "Late Edition with Wolf Blitzer", mengaku sudah mencium "bau" kesamaan antara Vietnam dan Irak.

Ia mengatakan, hasil yang dicapai di Vietnam tak sebanding dengan pengorbanan yang telah diberikan. Yang terjadi di lapangan telah merontokkan dukungan masyarakat terhadap keterlibatan AS di Vietnam.

Kissinger mau mengingatkan, invasi AS ke Vietnam adalah salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20. Manusia mencopot kemanusiannya dan membinasakan manusia lain. Ini adalah kesalahan besar AS yang baru diakui dua dasawarsa kemudian. Mantan Menhan Robert McNamara dalam buku In Retrospect: The Tragedy and Lessons in Vietnam menulis bahwa keterlibatan AS di Vietnam adalah sebuah kesalahan besar.

Kesalahan itu diulang lagi tahun 2003, yakni dengan menginvasi Irak. AS didukung sejumlah negara menggempur Irak, menjatuhkan Presiden Saddam Hussein dan kini, hampir lima tahun kemudian, situasi di Irak bukan bertambah baik, tetapi sebaliknya. Perang saudara, di negara yang terbelah atas dasar etnis dan religius itu tidak dapat dihindari.

Padahal, kesalahan besar yang dilakukan AS di Vietnam meminta korban demikian besar, baik dari pihak AS maupun Vietnam. Menurut catatan, hingga AS keluar dari Vietnam, Washington telah mengirim total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, sekitar 57.000 orang tewas, 300.000 cedera/cacat, sekitar 700 ditawan, dan lebih kurang 5.000 orang hilang.

Berapa banyak orang Vietnam yang tewas? Selama tahun 1968- 1969, di zaman Presiden Richard Nixon, tentara AS telah melakukan 400.000 kali pengeboman dengan menjatuhkan 1,2 juta bom. Akibatnya, 200.000 tentara Vietnam komunis tewas, 585.000 orang mengungsi, dan 130.000 rakyat Vietnam yang tak tahu-menahu soal perang juga tewas. Tentu masih banyak korban entah tewas atau cedera yang tak terdaftar. Dan, akibat- akibat lanjutan dari perang itu.

Perang ideologi

Namun, mengapa kesalahan yang sama dilakukan lagi oleh AS atas Irak? Semua alasan yang dulu dikemukakan para pejabat tinggi AS, termasuk Presiden George W Bush, tidak valid lagi. Dulu mereka mengatakan, invasi dilakukan karena Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan itu tak terbukti.

Irak juga dituduh memberi tempat dan memiliki hubungan dengan Al Qaeda. Karena itu, AS ingin mengakhiri dukungan Saddam terhadap Al Qaeda. Tak terbukti lagi. Alasan lain adalah membebaskan rakyat Irak.

Setelah semua alasan tidak terbukti, Bush pada 25 Agustus lalu mengatakan, yang ia lakukan di Irak seperti para pendahulunya mengirim tentara AS ke Korea dan Vietnam, yakni "sebuah perjuangan ideologi". Ideologi apa lagi yang diperjuangkan Bush?

Dulu, AS terjun ke Vietnam karena ingin menghadang perluasan komunisme (teori domino: bila Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis, negara-negara lainnya, seperti Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, Malaysia, dan Indonesia, akan jatuh juga). Teori ini tidak terbukti!

Akan tetapi, Bush menilai bahwa penarikan pasukan AS dari Vietnam adalah sebuah kesalahan. Harga yang harus dibayar dari penarikan mundur tentara AS dari Vietnam adalah jutaan orang tak berdosa jadi korban. Mereka menjadi manusia perahu, dimasukkan ke kamp- kamp "pendidikan", dan jadi korban "killing fields".

Apa itu berarti bahwa Bush tidak akan menarik pasukan AS dari Irak dalam waktu dekat dan secara serentak? "Selama saya menjadi panglima tertinggi, kita akan terus berjuang untuk meraih kemenangan," katanya kepada para veteran perang AS di Kansas (The Christian Science Monitor, 24 Agustus).

Bush tetap bertekad AS harus memenangi peperangan di Irak, "musuh akan dikalahkan" di Irak. Ia juga secara tegas tidak mau mengulang pengalaman pahit Perang Vietnam. AS keluar dari Vietnam dengan membawa kekalahan. Karena itu, Bush berpendapat bahwa penarikan mundur pasukan AS terlalu dini akan "menghancurkan."

"Menghancurkan" pihak mana? Apakah ada jaminan ditariknya pasukan AS dari Irak akan menimbulkan prahara kemanusiaan di negeri itu seperti ketika AS meninggalkan Vietnam?

Demikian juga sebaliknya, apakah keberadaan tentara AS di Irak dalam waktu lama akan melahirkan kedamaian di negeri itu? Sampai sekarang ini tidak! Kehadiran AS telah menjadi salah satu penyebab pecahnya perang saudara dan mengakibatkan terus terjadinya saling bunuh antara Syiah dan Sunni. Masyarakat minoritas Kurdi pun jadi korban.

Data dari Iraq Body Count menegaskan hal itu: hari Minggu, 20 Agustus, 52 orang tewas karena bom; Selasa, 21 Agustus, 394 orang tewas; Rabu, 22 Agustus, 86 orang tewas karena bom; Kamis, 23 Agustus, 54 orang tewas juga karena bom; Jumat, 24 Agustus, 42 orang tewas karena bentrokan senjata; Sabtu, 25 Agustus, 32 orang tewas karena bom; dan Minggu, 26 Agustus, 52 orang tewas.

Rekonsiliasi nasional

Bagaimana Irak keluar dari krisis tersebut? Irak tidak bisa selamanya menggantungkan nasib kepada AS. Mereka harus bangkit dan membangun dirinya sendiri. AS memang memberikan kehancuran di negeri itu dan, untuk itu, dituntut bertanggung jawab, tetapi tidak memaksakan kehendak.

Upaya para pemimpin Irak untuk mengusahakan rekonsiliasi nasional belum berhasil. Rekonsiliasi nasional merupakan syarat mutlak bagi lahirnya sebuah Irak baru, sebuah negara demokratis.

Rekonsiliasi nasional hanya bisa terwujud apabila di antara berbagai elemen masyarakat—Syiah, Sunni, dan Kurdi serta kelompok-kelompok lainnya—terbangun sikap saling percaya di satu sisi dan di sisi lain mereka harus memiliki sikap percaya terhadap institusi politik yang tengah dibangun.

Selain itu, rekonsiliasi nasional juga membutuhkan adanya toleransi, kesediaan untuk menerima perbedaan. Memang, dalam masyarakat yang pluralistik secara primordial, toleransi merupakan masalah yang sulit diwujudkan dan karenanya konflik terbuka dan sering kali berdarah kerap terjadi di antara mereka.

Konflik yang keras ini, sebagai akibat dari keragaman etnis dan agama yang ada dalam masyarakat, terjadi karena identitas etnis atau religius ditanamkan begitu dini dan begitu dalam di dalam kepribadian seseorang (Robert A Dahl dalam Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, 2007).

Bagaimana membangun saling percaya antarwarga dan membangun toleransi adalah tugas besar yang harus dilakukan para pemimpin Irak saat ini. Kegagalan mengerjakan "pekerjaan besar" itu bukan tidak mungkin akan berujung pada kegagalan Irak untuk lahir kembali menjadi negara dan bangsa baru. Salah-salah yang terjadi justru sebaliknya: Irak terpecah-belah, paling kurang menjadi tiga negara merdeka dan berdaulat, utara, tengah, dan selatan.

Bila itu yang terjadi, inilah tragedi terbesar atas Irak setelah invasi AS. Dan, kalau tragedi itu menjadi kenyataan, tidak bisa tidak, AS harus ikut bertanggung jawab. Itulah dosa terbesar AS di awal abad ke-21.

Itulah sepotong tragedi kemanusiaan, setelah Vietnam, yang diciptakan AS.

No comments: