Thursday, August 30, 2007

Thailand

Ketika Kelas Menengah Antidemokrasi

Maruli Tobing

Kelas menengah, itulah perangkat analisa yang dikembangkan pakar ilmu-ilmu sosial Barat bagi konsumsi Dunia Ketiga. Kelas menengah dilihat sebagai lokomotif demokrasi dan perubahan. Jatuh-bangunnya demokrasi terkait dengan tumbuh atau tidaknya lapisan menengah secara memadai.

Masalahnya, hingga saat ini belum ditemukan rumusan baku mengenai besarnya porsi lapisan menengah yang dipersyaratkan bagi tumbuhnya suatu demokrasi yang kuat dan stabil. Maka, dengan sendirinya pendekatan ini menjadi reaksioner, cenderung melestarikan status quo.

Pergolakan politik di Thailand dalam dua tahun terakhir menunjukkan watak reaksioner tersebut. Kelas atas dan menengah yang berbasis di Bangkok menolak kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra. Mereka kemudian bersekutu dengan kekuatan antiperubahan, lingkungan istana raja dan militer.

Februari tahun lalu dibentuk Aliansi Rakyat bagi Demokrasi (PAD), yang mencakup kalangan pengusaha besar, menengah, politisi, akademisi, pengacara, wartawan, mahasiswa, karyawan BUMN, dan sejenisnya.

Sejak itu, PAD secara rutin mengerahkan ribuan massa berunjuk rasa menuntut PM Thaksin mundur. Massa juga sempat berkemah di depan kantor PM. Mereka menuding Thaksin menggelapkan pajak, nepotis, diktator, dan antikerajaan.

Memulihkan ekonomi

Thaksin terpilih sebagai PM tahun 2001 dalam pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Thailand. Partai Thai Rak Thai yang dibentuknya tahun 1998 merebut 248 kursi dari 500 kursi parlemen.

Thaksin, konglomerat terkaya di Thailand dengan bisnis utama telekomunikasi, berkuasa saat perekonomian negeri ini belum pulih dari dampak krisis moneter 1997. Berbeda dengan Pemerintah Indonesia yang berusaha menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM), Thaksin justru meningkatkan subsidi. Dengan demikian, gejolak harga minyak mentah di pasaran internasional tidak berdampak negatif terhadap sektor produksi maupun daya beli masyarakat.

Ia juga mengucurkan fasilitas kredit berbunga rendah dan mudah diperoleh petani, pedagang kecil, maupun lapisan berpendapatan rendah di perkotaan. Moratorium kredit untuk masa tiga tahun berlaku bagi kredit usaha menengah dan kecil.

Berbarengan dengan itu, pemerintah mengalokasikan dana secara besar-besaran membangun infrastruktur di daerah setingkat kabupaten. Membangun puskesmas modern dan sekolah-sekolah dengan kualitas pendidikan setara dengan di kota. Juga beasiswa pendidikan di luar negeri bagi lulusan SLTA dengan nilai terbaik di daerah setingkat kabupaten.

Setahun setelah Thaksin berkuasa, ekonomi Thailand tumbuh 5,2 persen. Angka tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara yang dilanda krisis moneter. Tahun berikutnya naik menjadi 6,9 persen dan 6,1 persen tahun 2005.

Selama masa pemerintahannya, jumlah penduduk miskin secara nasional turun drastis, dari 21,3 persen menjadi 11,3 persen. Pendapatan rakyat miskin di wilayah timur laut meningkat 40 persen.

Pendapatan domestik kotor Thailand yang tadinya 4,9 triliun baht naik menjadi 7,1 triliun baht tahun 2005. Cadangan devisa juga terkatrol dari 30 miliar dollar AS menjadi 64 miliar dollar AS. Utang kepada IMF dilunasi dua tahun sebelum jatuh tempo.

Laporan studi Bank Dunia (2006) menyebut, kualitas dan kemampuan Pemerintah Thailand mengendalikan korupsi selama periode 2002-2005 meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan periode 1996-2002.

Kudeta militer

Kalangan pengamat ekonomi internasional menyebut fenomena ini sebagai Thaksinomic. Sedangkan bagi rakyat Thailand, baru kali inilah pemerintah serius memerhatikan nasib mereka.

Thaksin menjadi sangat populer di kalangan rakyat dan satu-satunya PM Thailand yang dapat menyelesaikan masa jabatannya. Bahkan, ia terpilih kembali dengan suara mayoritas mutlak. Dalam pemilu 2005, Partai Thai Rak Thai merebut 374 kursi dari 500 kursi parlemen. Kemenangan ini merupakan rekor dalam sejarah pemilu Thailand.

Media internasional menyebut, popularitas Thaksin hanya dapat dibandingkan dengan Raja Bhumibol Adulyadej. Namun, justru di sinilah bencana mulai muncul. Klik pengusaha yang selama ini menikmati fasilitas karena kedekatannya dengan keluarga kerajaan mulai gerah dan terusik.

Kelas menengah di Bangkok juga merasakan hal yang sama. Khususnya karena gaya hidup dan kultur politik mereka menolak berdampingan dengan masyarakat desa yang dianggap kotor dan bodoh. Mereka menuding Thaksin mengeksploitasi kebodohan tersebut.

Sondhi Limthongkul, konglomerat media massa yang terkait kredit bermasalah, secara terbuka menyatakan tekadnya menurunkan PM Thaksin. Ia gusar atas pencopotan Viroj Nualkhair, Presdir Krung Thai Bank milik pemerintah, tahun 2005. Viroj menghapus utang Sondhi kepada bank tersebut sebesar 1,6 miliar baht. Rencananya, sisa utang yang macet akan diputihkan.

Sondhi dan beberapa pengusaha membentuk PAD, Februari 2006. Militer dan keluarga raja mendukung gerakan ini secara diam-diam. Namun, aksi unjuk rasa PAD selama berbulan-bulan tidak membuahkan hasil.

Ini mendorong militer melancarkan kudeta 21 September 2006 dan memberlakukan keadaan darurat militer. Raja Bhumibol Adulyadej mendukung kudeta tersebut. Kelas menengah dan atas di Bangkok merayakannya sebagai kemenangan.

Kemenangan kembali dirayakan setelah hasil referendum 21 Agustus lalu menunjukkan, 58 persen pemilih menyetujui rancangan konstitusi baru versi junta militer. Referendum ini dilaksanakan saat 35 provinsi dalam status darurat militer.

Masalahnya, setelah 10 bulan berkuasa dan konflik di Thailand selatan makin mengganas, apakah militer akan kembali ke barak? Kelas menengah mulai cemas. Ini karena jawabannya sama mustahilnya dengan meminta para perwira militer itu mundur dari jabatan puncak di hampir semua BUMN—termasuk perusahaan telekomunikasi, penerbangan, bandara, industri kimia—yang mendadak mereka kuasai pascakudeta 21 September.

No comments: