Friday, August 10, 2007

Visi Satu Asia Tenggara

Ikrar Nusa Bhakti

Seandainya Adam Malik, salah satu pendiri ASEAN, masih hidup, ia pasti terharu dan bangga melihat asosiasi yang didirikan 40 tahun lalu di Bangkok bersama empat menteri luar negeri—Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina—itu masih berdiri kokoh.

Visi "Satu Asia Tenggara" memang belum terwujud pada 8 Agustus 1967. Kini pun, setelah ASEAN beranggotakan 10 negara dan mewakili lebih dari 580 juta jiwa, ASEAN juga belum merupakan "satu komunitas keamanan yang menyatu" (amalgamated security community) seperti Uni Eropa , tetapi masih merupakan suatu "komunitas keamanan yang plural" (pluralistic security community). Alasannya, karena ASEAN bukan organisasi supra nasional, tetapi masih menjaga kedaulatan masing-masing negara-bangsa.

Pada pertemuan ke-40 Menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Manila akhir Juli lalu, Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo berharap jika ASEAN tetap kokoh selama 40 tahun, anak cucu kita akan merasakannya 40 tahun ke depan. Arroyo berharap agar ASEAN mewujudkan komitmen yang dibuat pada ASEAN Summit Ke-12 di Cebu, Filipina, pada 13 Januari 2007, yakni menciptakan One Caring and Sharing Community pada 2015. Komunitas ASEAN akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas, bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk keamanan insani (human security).

Komunitas yang longgar

Meski konsep security communities sudah dilontarkan Karl Deutsch 50 tahun lalu (1957), tampaknya pengamat hubungan internasional masih kurang nyaman untuk menggunakan konsep komunitas dalam memahami politik internasional. Mereka masih terbiasa untuk mendekatinya dari sudut pandang artifisial realis versus idealis, neorealis, neoliberal institutionalism atau meminjam Hedley Bull dalam The Anarchical Society, konsep Hobbessian tradition (tradisi realis), Grotian tradition (pendekatan legal), dan Kantian tradition (pendekatan terhadap society yang lebih humanis).

Dengan kata lain, Deutschian tradition dapat dikatakan masih jarang digunakan guna memahami politik internasional atau sistem internasional. Tengok perdebatan pada setiap seminar yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri RI mengenai ASEAN Security Community, East Asia Community, atau ASEAN Charter.

Teman saya, Rizal Sukma dari CSIS, secara berapi-api pasti membangkitkan peserta dengan pertanyaan, apakah ASEAN sudah menjadi security community?

Konsep komunitas dipinjam ilmu hubungan internasional dari sosiologi. Gagasannya, para aktor dalam suatu komunitas dapat berbagi nilai, norma, dan simbol yang bisa menumbuhkan identitas sosial dan terlibat berbagai interaksi yang merefleksikan kepentingan jangka panjang, resiprositas yang tersebar, dan kepercayaan, serta menanggalkan ketakutan dan ketidakpercayaan dalam hati mereka.

Dalam pandangan Karl Deutsch, pluralistic security community ada saat negara-negara terintegrasi pada satu titik, saat mereka memiliki sense of community, yang pada gilirannya ada jaminan bahwa mereka akan menyelesaikan perbedaan dengan cara di luar perang. Dengan demikian, yang tercipta bukan hanya suatu "tatanan yang stabil", tetapi pada kenyataannya, suatu "perdamaian yang stabil".

Apabila dikawinkan dengan konsep Benedict Anderson, imagined community, yang mengacu bangsa atau nasion, dapat tercipta imagined security community pada tingkat regional dan internasional. Oleh karena itu, warga salah satu negara anggota ASEAN, juga warga negara ASEAN. Di sinilah konsep We feeling akan tercipta.

Salah seorang analis keamanan internasional yang sering membahas ASEAN sebagai security community adalah Amitav Acharya. Namun, Acharya juga masih sering mendekati keamanan di Asia Tenggara dari sudut pandang kaum realis. Apalagi pemikir senior ASEAN yang aktif dalam diplomasi Track-2 hampir semuanya kaum realis yang masih melihat betapa pentingnya payung keamanan AS untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara.

Padahal, seperti kata Prof Dr Juwono Sudarsono, Asia Tenggara adalah medan pertarungan kekuatan yang tanggung pada era Perang Dingin. AS tidak memandang sebelah mata pada Asia Tenggara dibandingkan dengan kepentingannya di mandala Eropa atau Timur Tengah. Tak heran jika pendekatan komunitas keamanan menjadi penting bagi ASEAN.

ASEAN dalam 40 tahun usianya selalu berupaya untuk tidak diintervensi dari luar dalam bidang keamanan, berpegang teguh pada prinsip saling menghormati terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial masing-masing negara, dan selalu berupaya menyelesaikan perselisihan bilateral secara damai atau tanpa perang. Ini adalah nilai hakiki dari suatu komunitas keamanan seperti terkandung dalam Bali Concord I atau TAC 1976.

Berbagai demokrasi liberal

Negara-negara ASEAN hingga kini tidak pernah berbagi nilai-nilai demokrasi liberal sebagai prasyarat terbentuknya security community karena ia juga butuh civil society yang kuat. Di ASEAN kini hanya ada dua negara penganut demokrasi liberal, yaitu Indonesia dan Filipina. Tak heran jika ASEAN People’s Assembly (APA) hanya bisa diadakan di dua negara itu. Pertemuan APA Ke-6 di usia ASEAN ke-40 juga akan diselenggarakan di Manila, 23-26 Oktober 2007. Selebihnya, ada yang di bawah rezim militer semidemokratik (Thailand), junta militer (Myanmar), rezim komunis dengan sosialisme pasar (Vietnam, Laos, Kamboja), monarki absolut (Brunei Darussalam), atau rezim developmentalis sedikit represif (Malaysia dan Singapura). Namun, ada kemajuan, Myanmar berjanji akan bertahap menerapkan demokrasi, ASEAN akan melindungi dan memperjuangkan nasib para buruh migran, dan pembentukan badan HAM ASEAN juga sudah masuk dalam draf pertama ASEAN Charter. Paling tidak, langkah menuju "Berorientasi kepada Rakyat" sudah tampak.

Apakah ASEAN akan menuju integrasi ekonomi? Jalan masih panjang. Perdagangan antarnegara ASEAN juga masih belum beranjak dari angka 20 persen dari nilai perdagangan internasional tiap negara anggota. Namun, coba lihat bagaimana "Arus bebas barang dan orang" di perbatasan antarnegara ASEAN, kecuali di perbatasan Malaysia-Thailand. Cobalah masuk ke segitiga emas Thailand-Myanmar-Laos atau Indonesia-Singapura, tidak ada militer di situ. Namun, justru di perbatasan RI-PNG, RI-Malaysia, RI-Malaysia-Filipina, Malaysia-Thailand tampak militer berjaga-jaga. Di situ pula mengandung titik-titik rawan penyelundupan narkotika, kayu, orang, dan barang.

Visi "Satu Asia Tenggara" memang bukan impian semusim. Ia harus terus diimplementasikan dan disosialisasikan. Dirgahayu ASEAN.

Ikrar Nusa Bhakti Anggota Tim Peneliti ASEAN di Pusat Penelitian Politik-LIPI; Kini Menjadi Research Fellow di Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, Jepang

No comments: