Kubu Presiden Menyapu Semua Kursi Parlemen
ALMATY, Senin - Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev, Senin kemarin, merayakan kemenangan setelah partainya menyapu bersih semua kursi parlemen. Ia mengatakan, kemenangan mutlak kubunya pada pemilu parlemen yang dilakukan, Sabtu (18/8), bukanlah penistaan pada demokrasi.
"Anda tahu, pada setiap pemilu ada yang menang dan kalah, tetapi kali ini pemenang adalah semua warga Kazakhstan," kata Nazarbayev (67) di Astana, ibu kota Kazakhstan, pecahan Uni Soviet.
Kazakhstan adalah negara pemilik minyak terbesar kelima di dunia. Negara ini berpenduduk sekitar 15 juta jiwa dan kini sedang mengalami perkembangan ekonomi. Pendapatan per kapita negara ini sekitar 9.500 dollar per tahun. Namun, negara ini masih dalam suasana politik yang dikuasai satu pihak, mirip dengan era Orde Baru di Indonesia.
Partainya, Nur Otan, menyabet 88,05 persen. Sebanyak enam partai oposisi lain hanya merebut 11,95 persen suara. Tak satu partai oposisi pun yang meraih suara di atas 7 persen, padahal itu adalah syarat utama bagi satu partai untuk meraih kursi di parlemen. Itu artinya kekuasaan mutlak kini ada di tangan Presiden tanpa keberadaan kelompok oposisi.
Meski demikian, muncul juga suara sumbang yang mengatakan bahwa pemilu Kazakhstan tidak memenuhi standar internasional. Namun, Presiden Nazarbayev membantahnya.
"Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia sudah terjadi, di mana semua partai politik turut bertarung. Sayangnya, tak ada satu partai oposisi pun meraih suara lebih dari 7 persen. Meski demikian, kita tidak perlu menyebut hal itu sebagai sebuah tragedi," kata Nazarbayev.
Ia berbicara di hadapan Majelis Rakyat Kazakhstan, sebuah badan yang mewakili berbagai etnis di negara Asia Tengah itu. Negara ini memiliki penduduk dengan berbagai etnis dan juga dengan tampang wajah yang berbeda. Sebagian warga Kazakhstan berwajah Mongoloid, Rusia, dan campuran di antara keduanya.
Curang
Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), sebuah pemantau pemilu bertaraf internasional, menyatakan, pemilu di negara ini tidak memenuhi standar. Bahkan, dikatakan, tidak pernah ada pemilu sebenarnya yang terjadi di Kazakhstan sejak Nazarbayev berkuasa sejak tahun 1991.
Nazarbayev bergeming. Ia mengatakan, rakyat memang memilih partai yang paling mampu mempertahankan kestabilan dan keamanan.
Rusia dan Amerika Serikat juga sama-sama anggota OSCE. Namun, dua negara ini malah menuduh OSCE terlalu keras menilai Presiden Nazarbayev. Rusia maupun AS bersahabat dengan Kazakhstan, yang dianggap sebagai salah satu mitra strategis di Asia Tengah.
Namun, Nazarbayev tidak dihormati dunia dalam konteks demokrasi. Dia selalu mencoba memperbaiki citra dirinya di dunia internasional. Misalnya, ia gigih untuk melobi agar Kazakhstan bisa menjadi ketua OSCE pada 2009.
Parlemen "stempel"
Pemilu hari Sabtu lalu dilakukan setelah rampungnya reformasi undang-undang, di mana otoritas diperintahkan mendukung pluralisme. Hal itu termasuk peningkatan kursi oposisi di parlemen. Reformasi itu diajukan untuk mencegah terjadinya keadaan, di mana anggota parlemen hanya berperan sebagai tukang stempel atas semua program pemerintah.
"Pemerintah tampaknya ingin mempertahankan kekuasaan tunggal dan yakin bahwa dengan dominasi satu partai, semua urusan lebih mudah diatasi ketimbang memiliki parlemen dari beberapa partai," kata Dosym Satpayev, Direktur Kelompok Manajemen Risiko di Almaty, kota terbesar Kazakhstan.
"Keadaan negara kini seperti kembali ke era Uni Soviet dengan kekuasaan satu partai," kata Ketua Partai Demokratik Sosial Amirzhan Kosanov.(REUTERS/AP/AFP/MON)
No comments:
Post a Comment