Saturday, January 26, 2008

AS dan Perdamaian Israel-Palestina


Jumat, 18 januari 2008 | 02:39 WIB

Broto Wardoyo

Untuk perdamaian Israel-Palestina, apa yang bisa dilakukan Bush dalam sisa waktu dua tahun kepemimpinannya?

Pertanyaan ini menjadi tema sentral seiring kunjungan Presiden AS ke Israel dan Palestina, beberapa minggu setelah keberhasilan perundingan di Annapolis, yang menandai kembalinya proses negosiasi Israel-Palestina. Banyak pihak menilai, Annapolis sebagai salah satu cara Bush lari dari kegagalan di Irak. Kekalahan di Irak tidak lepas dari pengaruh Iran di negeri Babel.

Tidak heran jika banyak analis, terutama Arab, mengaitkan perubahan fokus kebijakan AS dalam kebijakan Timur Tengah dari Irak ke Palestina, terkait upaya membangun ulang tata kawasan untuk membendung Iran. Membangun Palestina bisa menarik dukungan dunia Arab mengikuti kehendak AS dalam kampanye anti-Iran.

”Amerika yang lain”

Membangun penataan kawasan ini menjadi tema sentral kebijakan AS di Timur Tengah. Sejak akhir Perang Dunia II, keterlibatan AS kian besar. Keberhasilan membendung Uni Soviet selama Perang Dingin lalu keberhasilan membongkar tabu Dunia Arab untuk berdamai dengan Israel dalam Camp David.

Pelaksanaan konferensi Madrid juga menandai kelanjutan kebijakan AS di kawasan. Bagaimana usaha AS merekatkan Israel dengan negara-negara Arab dipertegas dalam demokratisasi di kawasan yang mulai dilaksanakan pertengahan 1990-an.

Dalam paradigma ini, penekanan lebih muncul pada upaya membangun ”Amerika yang lain” di kawasan. Menerapkan standar baku ala Amerika untuk menggantikan nilai-nilai lokal Timur Tengah dengan asumsi, standar itulah yang akan mampu menciptakan perdamaian dan memberi kemakmuran. Dampaknya, benturan dengan nilai-nilai lokal banyak bermunculan dan menimbulkan beragam persoalan dalam penerapan kebijakan AS sendiri, termasuk dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Salah satu kritik terhadap mediasi AS sepanjang proses perdamaian adalah minimnya komitmen untuk memaksakan perdamaian karena kedekatan AS-Israel. Ini muncul bukan karena kuatnya lobi Israel dalam politik AS, namun juga karena penilaian, Israel sudah bertransformasi menjadi ”Amerika yang lain” di kawasan. Dampaknya, AS terlihat enggan memaksa Israel pada isu-isu sensitif.

Dalam beberapa level, keengganan ini juga dikenakan terhadap Palestina (Arab) dalam kebutuhan membangun ”Amerika yang lain” di dunia Arab. Tidak adanya ketegasan AS terhadap sikap lunak Otoritas Palestina dalam mengatasi aneka gerakan bersenjata yang berpotensi mengganggu perdamaian muncul karena adanya kebutuhan untuk tidak memprovokasi munculnya nilai-nilai lokal yang antistandar baku ala Amerika. Hanya dalam keadaan di mana konflik nilai tidak lagi terelakkan, AS bersikap keras dan tegas seperti mereka tunjukkan dalam penolakan terhadap pemerintahan Hamas.

Selama tidak ada perubahan paradigma kebijakan AS di Timur Tengah—termasuk dalam proses perdamaian Israel-Palestina—dari yang selama ini dijalankan, maka hampir bisa dipastikan tidak akan ada pencapaian maksimal dalam proses perdamaian.

Kebutuhan lokal

AS harus mulai berpikir untuk menyeimbangkan aneka kebijakannya, terutama dalam proses perdamaian Israel-Palestina, dengan kebutuhan lokal. Dengan kata lain, memikirkan pula nilai dan standar lokal dalam memaksakan proses perdamaian.

Proses perdamaian Israel-Palestina hanya akan bisa diupayakan dengan adanya mekanisme pemaksaan. Hal ini karena besarnya gap antara kebutuhan Israel dan Palestina sehingga harus ada cara pandang ketiga yang diusulkan untuk menjembatani gap itu. Pola ini hanya diadopsi AS dalam perundingan di Camp David II tahun 2000, namun kemudian ditarik karena banyaknya penolakan dari Israel dan Palestina (Daniel Kurtzer, The US must get tough in promoting Arab-Israeli peace effors dalam Palestine-Israel Journal of Politics, Economics, and Culture 13(4), 2007: 21). Menjelang akhir masa jabatannya, Clinton kembali mengusulkan parameter penyelesaian (Clinton paramaters) yang secara otomatis gugur pada pemerintahan Bush. Dua upaya itu, meski belum maksimal, merupakan beberapa contoh upaya mencari keseimbangan.

Kemauan untuk tidak hanya memikirkan kebutuhan AS, namun juga melibatkan kebutuhan lokal dalam mediasi, merupakan pekerjaan rumah pertama yang harus diselesaikan Bush. Mendirikan negara Palestina bukan perkara sulit, namun mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan yang damai amat sulit dilakukan. Untuk itu dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan AS dan nilai-nilai lokal.

Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu HI, UI; Manajer Program Center for International Relations Studies (CIReS), UI

No comments: