Wednesday, January 30, 2008

Soeharto dan ASEAN


Selasa, 29 januari 2008 | 02:39 WIB

CPF Luhulima

Suatu Asia Tenggara yang terintegrasi. Gagasan itu, 39 tahun kemudian, tertuangkan dalam Bali Concord II (2003) dan dilegalisasi dengan ASEAN Charter 2007. Itulah yang dicanangkan Soeharto dalam pidato kenegaraan pertama, 16 Agustus 1966.

Asia Tenggara yang diidam- idamkan Soeharto ialah suatu Asia Tenggara yang integrated, yang ”merupakan benteng dan pangkalan paling kuat” untuk ”menghadapi pengaruh atau intervensi dari luar”.

Soeharto memberi prioritas utama pada hubungan yang ”dekat dan harmonis” pada penggalangan kerja sama yang mantap dengan negara tetangga, sebab di sinilah terletak ”kepentingan nasional paling vital”. Karena itu, ”penciptaan kestabilan dan kerja sama regional di Asia Tenggara akan mendapat prioritas tinggi”.

Ketahanan regional

Corak regionalisme Asia Tenggara ini ialah variabel bergantung, bentuk regionalisme yang mengabdi pada kepentingan negara masing-masing anggota dengan mengembangkan ketahanan nasional dan memuncak pada ketahanan regional.

Corak Asia Tenggara yang integrated, yang bagi Soeharto harus dibangun atas ketahanan nasional dan regional, dituangkan dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara 1976: Perhimpunan ini tidak boleh mengganggu ”kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah, dan kepribadian nasional” tiap bangsa di Asia Tenggara; bahwa tiap negara harus dapat ”melangsungkan kehidupan nasionalnya, bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan dari luar”; bahwa tidak ada campur tangan ”mengenai urusan dalam negeri satu sama lain”; bahwa ”tiap perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara damai”; dan bahwa ”setiap pengancaman dengan kekerasan atau penggunaan kekerasan” tidak dapat dibenarkan.

Corak regionalisme inilah yang dipegang teguh Komunitas Keamanan ASEAN yang diikrarkan di Bali tahun 2003. Corak regionalisme ini juga menciptakan modus pengambilan keputusan tentang masalah-masalah Asia Tenggara, yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari denominator paling rendah yang disetujui bersama untuk melanjutkan proses negosiasi menuju permufakatan.

Proses pencarian denominator berdasar musyawarah-mufakat ini, sejak pembentukan ASEAN mengalami perubahan di tahun 1990an, saat globalisasi melanda dunia. Persetujuan untuk membangun wilayah perdagangan bebas ASEAN berubah bentuk dari pencarian persetujuan atas dasar denominator yang paling rendah tanpa menentukan sasaran waktu pencapaian menjadi bentuk kerja sama dengan penentuan sasaran waktu yang jelas.

Soeharto menyadari, pendekatan pencarian lowest-common- denominator dan maju secara berjenjang mencapai wilayah perdagangan bebas ASEAN tidak dapat dipertahankan dalam bentuk semula. Sejak awal 1990an upaya meraih bentuk-bentuk kerja sama meningkat menjadi penentuan tahun sasaran. Daerah perdagangan bebas ASEAN harus diraih 1 Januari 2008, lalu tahun 1994, dipercepat menjadi 1 Januari 2003.

Visi satu ASEAN

Pada KTT ASEAN Informal II di Kuala Lumpur, Malaysia, para kepala negara/pemerintah ASEAN memutuskan untuk menggariskan visi suatu ASEAN sebagai ”a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies” di tahun 2020.

Inti Concert of Southeast Asian Nations ini dituangkan dalam suatu komunitas ASEAN yang terdiri atas tiga tonggak: tonggak politik dan keamanan; tonggak ekonomi; dan tonggak sosial-budaya yang harus dapat dicapai tahun 2020, tetapi lalu diajukan capaiannya tahun 2015.

Visi ASEAN 2020 dibuahkan Soeharto sebagai Presiden RI, tetapi komunitas ASEAN sudah tidak lagi karena kekuasaannya digantikan Habibie. Meski demikian, warisan Soeharto dalam ikut mencetuskan ASEAN serta cara dan bentuk pengembangan dan peraihannya dari tahun pembentukannya sampai lengser sebagai Presiden Indonesia tahun 1998 amat berbelas dalam inti ASEAN 2020.

Hingga kini tampaknya belum ada pemimpin Indonesia yang dapat memikul beban ”pengintegrasian” Asia Tenggara dengan visi yang jauh ke depan sebagaimana diperlihatkan Soeharto dalam politik luar negeri Indonesia sejak 1966 sampai 1998.

CPF Luhulima Pemerhati Masalah Internasional

No comments: