Wednesday, January 30, 2008

Bisnis Hindari Malaysia



AP photo/Lai Seng Sin / Kompas
Etnis India Malaysia, yang terkenal dengan julukan Keling, mulai melakukan aksi mogok makan di sebuah kuil Hindu di Port Klang, di pinggiran ibu kota Kuala Lumpur, Senin (21/1). Mereka melakukan mogok makan atas tindakan diskriminatif Pemerintah Malaysia.
Jumat, 25 januari 2008 | 03:48 WIB

HongKong, Kamis - Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan, secara ekonomi Malaysia kehilangan daya saing karena masih menjalankan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan warga Melayu. Kebijakan ini dianggap diskriminatif oleh komunitas China dan India di negara itu.

”Kebijakan itu sudah usang.... Kami akan kehilangan daya saing kami. Malaysia sekarang kurang kompetitif dibandingkan (Malaysia) pada tahun 1990-an,” ujar Anwar, Kamis (24/1), kepada wartawan di Hongkong.

”Kita telah kehilangan investasi asing. Kita telah kehilangan pertumbuhan. Kita telah kehilangan daya tarik yang merupakan kunci bagi sebuah pasar yang sedang tumbuh,” kata tokoh oposisi utama Malaysia ini.

Menurut data Japan Bank for Internasional Cooperation, ada enam perusahaan Jepang yang keluar dari Malaysia dan pindah ke China, Thailand, atau Vietnam pada tahun 2007.

Anwar mengatakan, Malaysia kini tidak hanya kalah bersaing dengan China dan India, tetapi juga Vietnam, Thailand, dan Indonesia. Semua itu karena kebijakan-kebijakan Malaysia yang usang.

”Jika Anda tetap mengikuti agenda ini, Anda tidak hanya mengorbankan etnis China dan India, tetapi juga etnis Melayu,” ujar Anwar.

Malaysia berpenduduk sekitar 25 juta jiwa. Sebanyak 60 persen di antara mereka adalah etnis Melayu, 25 persen China, 10 persen India, sisanya etnis lain-lain. Sejak tahun 1972, Pemerintah Malaysia membuat kebijakan pro-Melayu atau biasa disebut bumiputra hampir di semua bidang. Pemerintah beralasan kebijakan tersebut diambil untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara etnis Melayu dan China.

Sejak saat itu orang-orang Melayu mendapat hak khusus untuk menduduki posisi strategis di perusahaan-perusahaan. Etnis Melayu juga diberi peluang memiliki saham 30 persen, terutama di perusahaan yang tercatat di bursa.

Secara ekonomi, kebijakan ini bisa mengangkat posisi etnis Melayu. Namun, secara sosial kebijakan ini menimbulkan ketegangan antaretnis. Saat ini, etnis minoritas, seperti China dan India, mulai secara terbuka menggugat kebijakan tersebut karena dianggap diskriminatif. Mereka juga mengkritik etnis Melayu yang mereka anggap bersikap rasis dan superior.

Dalam beberapa bulan terakhir, Malaysia diguncang unjuk rasa etnis. Puncaknya terjadi akhir November lalu di mana sekitar 10.000 warga Malaysia dari etnis India menuntut persamaan hak dengan etnis lain. Mereka juga menuntut Pemerintah Malaysia segera mengakhiri kebijakan pro-Melayu yang akan diperpanjang hingga tahun 2020.

Polisi berhasil membubarkan massa demonstran dengan pentungan, gas air mata, dan semprotan air bercampur bahan kimia. Menyusul unjuk rasa itu, polisi menangkap sekitar 400 demonstran. Setengah dari jumlah itu kemudian dilepas setelah identitas pribadi mereka dicatat.

Krusial

Anwar menambahkan bahwa pemilu mendatang yang diperkirakan berlangsung bulan Maret akan sangat menentukan masa depan Malaysia. ”Jika pemilu berlangsung bebas dan jujur, pemilu ini akan menjadi sebuah momen menentukan bagi negara,” ujar Anward dalam konferensi pers yang diadakan Komisi HAM Asia yang berbasis di Hongkong.

Dia yakin, jika pemilu jujur, Partai Keadilan yang secara formal dipimpin istrinya, akan mengalahkan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) tempat PM Abdullah Ahmad Badawi bernaung. (REUTERS/BSW)

No comments: