Wednesday, January 30, 2008

Soeharto, ASEAN, Stabilitas Regional


Salah satu sumbangan mendiang mantan Presiden Soeharto yang dikenang pemimpin Asia Tenggara adalah pemulihan dan pembangunan kestabilan kawasan.

Pak Harto tampil sebagai pemimpin ketika kawasan sedang dililit konfrontasi Indonesia-Malaysia. Pengakhiran konfrontasi dan pemulihan hubungan dengan Malaysia kemudian diikuti dengan pendirian ASEAN, Agustus 1967, yang menjadi pilar kestabilan kawasan.

Ketika Pak Harto berpulang, sumbangan inilah yang banyak diingat oleh para pemimpin tidak saja di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Pasifik.

Sebagai salah seorang pendiri ASEAN, Soeharto dinilai memiliki visi kepeloporan untuk membangun kawasan Asia Tenggara yang lebih damai, maju, dan makmur, dan didasarkan pada saling menghormati dan pengertian. Itulah yang disampaikan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo.

Sementara Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menilai Soeharto punya pengaruh dalam mendorong pembangunan di lingkungan ASEAN, dan selain itu juga forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

Dua catatan di atas kiranya bisa menyegarkan ingatan kita tentang apa yang diakui masyarakat internasional sebagai kontribusi pemimpin Indonesia yang baru saja tutup usia.

Adanya perdamaian dan stabilitas di kawasan ini jelas amat dihargai karena tanpa itu sulit bagi negara-negara di kawasan untuk memusatkan diri menjalankan pembangunan.

Dalam hal politik regional, kita tahu bahwa potensi konflik terus ada bahkan setelah Perang Dingin usai. Konflik yang merebak di Kamboja di paruh kedua 1970-an menjadi contoh nyata, dan di sini pun Indonesia di bawah Pak Harto banyak mengambil inisiatif perdamaian melalui Pertemuan Informal Jakarta (JIM).

Dengan bermodal stabilitas, negara-negara kawasan dapat dengan tenang melakukan pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Vietnam yang dulu terlilit dalam perang panjang kini tampil sebagai salah satu pusat pertumbuhan kawasan.

Persaingan yang makin ketat sekarang ini boleh jadi akan memaksa bangsa-bangsa Asia Tenggara mengubah diri menjadi bangsa unggul. Akan tetapi, tanpa didasari oleh falsafah yang bisa dipercayai bangsa-bangsa lain, bisa jadi persaingan mudah menjadi konflik.

Pendekatan musyawarah yang sering dikedepankan Pak Harto dalam mengelola permasalahan regional, khususnya di dekade sulit 1980-an, terbukti banyak memberi kesejukan, meskipun dewasa ini banyak urusan yang perlu ditangani secara lugas.

***

Gaung Kepergian Pak Harto

Selama 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, sosok Pak Harto, presiden kedua RI, terus-menerus diberitakan dan disiarkan.

Sejak meninggal hari Minggu sampai pemakamannya di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, laporan media mencapai klimaksnya. Berlakukah apa yang oleh sosiolog media Marshall McLuhan ”the extension of men”. Media meluaskan sosok orang yang diliputnya. Semakin besar pribadi subyek peliputan, semakin luas dan lama pula ekstensinya. Masuk akal jika pemberitaan tentang kepergian Soeharto akan lama dan jauh gaungnya. Tidak mengherankan jika gaung itu berusaha menempatkan sosok dan kinerjanya yang masih relevan.

Kebetulan kini kita dihadapkan pada persoalan penyediaan berbagai bahan pokok pangan. Masuk akal jika keberhasilan swasembada pangan dalam masa pemerintahan Pak Harto menarik perhatian. Namun, Pak Harto tidak konsisten dalam mengembangkan pertanian. Ia terbawa jauh godaan mengembangkan teknologi tinggi.

Meski demikian, keberhasilan bisa ditempatkan pada kerangka pendekatan masalah yang berlaku masa itu, yakni adanya perencanaan, dirumuskannya kebijakan yang jelas, serta dilaksanakannya kebijakan itu secara konsisten. Dari masa lalu, kita belajar dari keberhasilan, kita belajar pula dari kegagalannya.

Perencanaan dalam sistem pemerintahan sekarang juga ada, tetapi tidak seeksplisit masa itu, tidak pula berlaku rencana jangka panjang, rencana jangka menengah, dan rencana tahunan.

Bagaimana perihal bekerjanya pemerintahan yang konsisten, efektif, dan efisien? Pemerintahan yang terkoordinasi dengan baik dan karena itu juga efektif? Kita akui juga, kondisi peralihan sistem pemerintahan dalam konteks demokrasi dalam pembangunan—democracy in the making—tidaklah membantu.

Namun, justru kenyataan itu harus kita kenali, perhitungkan dan buat sepositif mungkin. Sepositif mungkin bagi terselenggaranya pemerintahan yang efektif. Lagi pula hal-hal yang mengandung kendali semacam itulah, maka ditegaskan menyelenggarakan pemerintahan bukanlah sekadar keahlian, tetapi sekaligus seni.

Pendekatan apa yang di antaranya meninggalkan kesan dari periode itu? Pemerintah sebagai pemimpin bekerja dan berupaya keras melibatkan masyarakat yang terdiri dari berbagai pekerjaan, kelompok kepentingan. Misalnya secara periodik dan di mana perlu sesuai dengan pekerjaan dan kepentingan masyarakat diberi latar belakang permasalahannya. Tugas yang dihadapi pemerintah dan pemerintahannya dalam banyak hal bukanlah mengambil keputusan yang baik atau buruk, tetapi yang kurang buruk. Pilihannya bukan baik atau buruk, tetapi yang buruk dan yang kurang buruk.

Almarhum Pak Kasimo, tokoh politik sezaman Moh Roem, menggunakan istilah nimus malum yang kurang buruk. Sekali lagi, ulasan ini ikut menumpang pada resonansi kepergian presiden kedua RI, Soeharto.

No comments: