Wednesday, January 9, 2008

Demokrasi ala Rusia


Susanto Pudjomartono

Tahun 2007 mungkin dianggap tahun kemenangan Rusia. Pada 2007 Rusia dianggap lulus ujian dan kembali diakui sebagai negara adidaya lagi.

Terpilihnya Presiden Putin sebagai Person of the Year 2007 oleh majalah Time bisa dikatakan pengakuan internasional bahwa kepemimpinan Putin dinilai mampu mengangkat kembali Rusia sebagai negara kelas satu.

Padahal, bertahun-tahun para pimpinan negara dan pengamat Barat mengecam Putin yang dianggap makin otoriter. Lembaga pengamat demokrasi seperti Freedom House sejak 2006 malah menggolongkan Rusia sebagai negara yang "tidak bebas".

Namun, rakyat Rusia tampaknya tidak peduli. Dalam pemilu Majelis Rendah (Duma) awal Desember 2007, Partai Rusia Bersatu yang didukung Putin menang telak dengan mengantongi 64 persen suara. Dalam pemilu itu untuk pertama kali Putin secara terbuka mendukung Rusia Bersatu dengan menjadi calon urut pertama partai itu.

Dukungan itu menyiratkan, dalam kondisi tertentu masyarakat lebih memilih stabilitas dan kesejahteraan daripada demokrasi. Artinya, perut dianggap lebih penting dibanding kebebasan.

Kondisi masyarakat Rusia mendorong hal itu. Selama ratusan tahun, Rusia diperintah dinasti otoriter Romanov. Tsar Nicholas II lalu dijatuhkan oleh Revolusi Bolshevik dan selama 74 tahun rezim Komunis (yang otoriter) memerintah Rusia. Ambruknya Uni Soviet tahun 1991 membuat Rusia berantakan dan hampir menjadikannya negara yang gagal. Inflasi meroket, ekonomi nyaris ambruk dan dikuasai segelintir oligarch, kriminalitas dan mafia kejahatan merajalela. Sistem sosial berantakan.

Saat Perdana Menteri Vladimir Putin yang mantan letnan kolonel KGB ditunjuk Presiden Boris Yeltsin sebagai calon penggantinya pada 1 Januari 2000, mayoritas rakyat Rusia tidak mengenalnya. Tetapi, Putin ternyata bukan hanya pemimpin yang hebat. Ia juga ahli strategi.

Keberhasilan

Setidaknya ada dua hal yang membuat Putin berhasil. Pertama, kenaikan harga minyak dunia di atas 90 dollar AS per barrel membuat keuntungan Rusia berlimpah, apalagi produksi minyaknya 10 juta barrel per hari.

Kedua, kepemimpinan Putin yang tegas, tidak ragu, dan sikapnya susah ditebak membuat hampir semua kebijakannya berhasil. Ini berbeda dengan Yeltsin yang anak dan menantunya ikut campur dalam politik. Putin dikelilingi orang-orang kepercayaan yang kebanyakan berasal dari St Petersburg seperti dia.

Dalam dua kali masa jabatan (delapan tahun), sekitar 20 juta orang Rusia dientaskan dari kemiskinan, sistem pendidikan dan kesehatan diperbaiki, sejumlah industri strategis dinasionalisasi, pengangguran dikurangi, mata uang rubel menjadi kuat, korupsi berkurang, jumlah pembayar pajak meningkat, cadangan devisa menjadi 450 miliar dollar AS (nomor tiga di dunia). Utang luar negeri lebih dari 200 miliar dollar AS dilunasi lebih cepat.

Namun, yang membahagiakan rakyat Rusia adalah Putin dinilai berhasil membangun kembali Rusia Raya yang disegani dunia internasional, martabatnya dipulihkan lagi. Tingkat kepuasan publik terhadap Putin stabil: 80 persen pada 2000, 84 persen (2001), 86 persen (2002), dan 85 persen (2003). Survei The Wall Street Journal November lalu menunjukkan, dukungan terhadap Putin sekitar 85 persen.

Dukungan itu bisa diartikan, rakyat Rusia yang sudah "terbiasa" dengan pemerintahan otoriter dan takut kacau kembali seperti era 1990-an kurang peduli dengan sistem yang diterapkan Putin apakah demokratis atau tidak. Yang penting rakyat kian sejahtera dan negara Rusia makin terpandang.

Mungkin karena warisan sejarah, partisipasi politik masyarakat Rusia sejak 1991 minimal dan bersifat elitis. Diperkirakan sekitar dua pertiga rakyat Rusia kini tidak pernah langsung berpartisipasi dalam politik. Bisa dimaklumi jika hingga kini belum muncul civil society di Rusia.

Karena itu, reformasi Putin menjadikan Rusia super centralized state, dengan presiden yang mahakuat, yang menjalankan dictatorship of law diterima mayoritas rakyat. Menurut konsep Putin, Rusia memerlukan negara kuat yang bisa menjamin hak individu dan masyarakat.

Hak individu dan humanisme liberal, menurut Putin, tidak berakar kuat di Rusia. Sebaliknya, bentuk kolektivisme dan korporasi selalu di atas hak-hak individu. Maka, paternalisme negara menempatkan masyarakat di atas hak-hak individu.

Putin sering menegaskan, "Dalam sebuah negara tanpa hukum, dengan sendirinya menjadi negara yang lemah, individu tidak bebas dan tak bisa mempertahankan diri. Semakin kuat negara akan kian bebas pula individu."

Demokrasi model Rusia

Putin tampaknya sedang melakukan demokrasi model Rusia, yang berbeda dengan demokrasi liberal Barat. Ada yang menyebut demokrasi model Putin sebagai managed democracy. Tetapi, beberapa pakar Rusia menyebutnya souvereign democracy.

Langkah pertama reformasi Putin dalam melaksanakan demokrasi ala Rusia adalah mempreteli kekuasaan gubernur (yang sebelumnya memerintah bak raja kecil) dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi ditunjuk langsung oleh presiden, yang bisa disetujui atau ditolak DPRD.

Langkah itu dianggap negara-negara Barat sebagai otoriter. Kebijakan Putin menaikkan electoral threshold dari lima menjadi tujuh persen menyebabkan hampir semua partai kecil, termasuk yang proliberal dan didukung negara Barat, tersisih dan dimasukkan "daftar dosa" Putin.

Masih banyak tudingan miring ke arah Putin, termasuk kontrol negara terhadap media dan misteri tewasnya wartawati kritis Anna Politkovskaya pada 2005 yang hingga kini belum terkuak.

Demokrasi mengenal checks and balances. Hal ini belum terwujud di Rusia. Kekuasaan Presiden, menurut Konstitusi, amat dominan, di atas kekuasaan eksekutif (dijalankan perdana menteri dan kabinet), dan kekuasaan legislatif (Duma dan Majelis Tinggi/Dewan Federasi), sedangkan kekuasaan yudikatif yang dulu lebih bebas kini juga dikontrol presiden. Presiden langsung membawahi, antara lain, angkatan bersenjata, kepolisian, kejaksaan agung, dinas rahasia (FSB), dan perang melawan terorisme.

Perlu dicatat, selain kian makmur, kini rakyat Rusia bebas ke luar negeri dan melakukan kegiatan bisnis, yang di zaman Komunis dulu dilarang. Di bawah prinsip dictatorship of law (bukan supremasi hukum seperti di Indonesia) hukum ditegakkan, meski belum sepenuhnya berhasil, dan kriminalitas serta "Mafia Rusia" masih kuat. Tetapi, setidaknya telah tercipta stabilitas di Rusia di bawah Putin.

Pembela Putin mengatakan, jika penunjukan gubernur oleh presiden dianggap tidak demokratis, ternyata banyak negara Barat yang dikenal demokratis melakukan hal sama, seperti Belgia, Finlandia, dan Portugal.

Presiden Putin berkuasa tanpa saingan hingga bulan lalu memastikan calon penggantinya sebagai presiden (meski pemilu kepresidenan baru Maret 2008) adalah Dmitri Medvedev, yang kini menjabat wakil PM. Desember lalu, Medvedev mengatakan, sebagai presiden, ia akan meminta Putin menjadi PM.

Hal ini menimbulkan spekulasi, meski "hanya" sebagai PM, Putin akan tetap menjadi orang paling berkuasa di Rusia. Di antara lawan Putin kini sudah beredar lelucon. Konon Medvedev memiliki lampu Aladin. Saat ia menggosoknya, sang jin keluar dan bertanya; "Apa yang harus saya kerjakan, Tuanku?" Jawab Medvedev, "Jangan tanya saya, tanyakan kepada Putin."

Susanto Pudjomartono Dubes RI untuk Rusia (2004-2007)

No comments: