Konflik Antaretnis Ancam Demokrasi Kenya
Nairobi, Rabu - Sengketa terkait hasil pemilihan umum pekan lalu berisiko membawa Kenya yang sebelumnya relatif stabil ke dalam konflik pertumpahan darah antaretnis seperti terjadi di negara-negara tetangga.
Peringatan itu disampaikan surat-surat kabar Kenya, Rabu (2/1), menyusul semakin melebarnya konflik pascapemilihan umum yang diselenggarakan 27 Desember lalu. Lebih dari 300 orang telah tewas terkait sengketa pemilu di negara itu.
"Jika tidak ada langkah segera yang diambil untuk menangkap para pembunuh, Kenya akan jatuh ke dalam jurang yang dalam, dan menjadi bagian dari negara-negara yang terpecah karena perang seperti Pantai Gading, Somalia, Rwanda dan Sierra Leone, dan lainnya yang telah mengalami genosida dalam skala yang tidak terbayangkan," tulis The Daily Nation dalam editorialnya.
Ditambahkan surat kabar itu, keadaan saat ini bukanlah situasi yang akan reda dengan sendirinya. Intervensi segera diperlukan untuk menyelamatkan Kenya, yang dianggap sebagai satu dari negara-negara demokrasi paling stabil di Afrika.
"Tidak akan membantu situasi sama sekali jika presiden terus menganggap seolah-olah tidak ada masalah, atau bagi ODM (Gerakan Demokratik Oranye, partai oposisi) untuk yakin bahwa mereka bisa membangun jalan ke Istana Negara dengan berpawai tanpa lebih lanjut menumpahkan darah," papar The Standard.
Pemerintah Inggris, kemarin, juga menyerukan segera diakhirinya kekerasan antarsuku di Kenya. London juga menegaskan bahwa sebuah solusi damai dan cepat merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan demokrasi di negara Afrika itu.
"Sangat jelas tanggung jawab utama pada para pemimpin politik Kenya, yakni menemukan landasan yang sama bagi semua pihak yang terpecah cukup dalam itu," ujar Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband kepada BBC Radio.
Badan Pemilu Kenya, Minggu, menetapkan Presiden Mwai Kibaki menang dengan meraih 4,584 juta suara dari 14 juta pemilih. Dia unggul 200.000 suara tokoh oposisi Raila Odinga. Kibaki langsung dilantik, namun pendukung Odinga menolak dan melakukan aksi protes dan kerusuhan. Mereka menuduh Kibaki berlaku curang.
Ketua Uni Afrika (UA) saat ini, Presiden Ghana John Kufuor, kemarin, langsung berangkat ke Nairobi untuk membantu menengahi perselisihan antara kubu pemerintah dan kubu oposisi terkait hasil pemilu.
Tuduh genosida
Ribuan warga Kenya dari suku Kikuyu, suku asal Presiden Mwai Kibaki, terpaksa mengungsi untuk menghindari serangan warga suku-suku lain yang marah atas dimenangkannya Kibaki.
Baik kubu Kibaki maupun kubu pemimpin oposisi Raila Odinga, menuduh lawannya melakukan kejahatan genosida atas tewasnya lebih dari 300 warga, menyusul sengketa hasil pemilu.
Dalam editorial yang ditulis di halaman muka, The Daily Nation juga mengkritik para pemimpin Kenya. "Ini mengenai menyelamatkan warga-warga tidak berdosa Kenya yang sekarat dengan cara yang sangat tidak selayaknya, sementara para pemimpin mereka terus menikmati kenyamanan dan kemewahan yang dibiayai para oleh pembayar pajak," tegasnya.
Meski situasi politik dan sosial di Kenya saat ini sangat buruk, Menteri Keuangan Amos Kimunya, kemarin, mengatakan, nilai tukar shilling masih terkontrol.
"Bank Sentral sampai saat ini belum menyampaikan tanda-tanda bahaya. Investor-investor internasional tidak menjual investasinya dan pergi. Orang-orang bersikap melihat dan menunggu, sehingga sedikit sekali terjadi perdagangan," ungkapnya.
Menlu Inggris dan Menlu AS Condoleezza Rice, dalam pernyataan bersama yang disampaikan kemarin, kembali menyerukan agar semua pihak di Kenya bisa menahan diri dan meningkatkan dialog politik.
Keduanya mengingatkan akan adanya pemilu di beberapa negara Afrika dalam 18 bulan ke depan, yaitu Angola, Ghana dan Malawi. "Kenya adalah sangat, sangat penting, baik untuk dirinya sendiri maupun wilayah Afrika lainnya, dan pendekatan atas demokrasi," kata kedua Menlu. (AP/AFP/Reuters/OKI)
No comments:
Post a Comment