Friday, January 4, 2008

Thailand


Masa Depan Thailand yang Tak Menentu

Pemilihan umum Thailand pada 23 Desember 2007 lalu membuat masa depan negara itu menjadi tak menentu. Di luar dugaan, dalam pemilu yang diadakan oleh pemerintahan sementara hasil kudeta militer 19 September 2006, Partai Kekuatan Rakyat yang memiliki hubungan dekat dengan Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang tersingkir, meraih suara terbanyak.

Komisi Pemilihan Umum Thailand mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) meraih 233 kursi dari 480 kursi Majelis Rendah yang diperebutkan. Hanya kurang 8 kursi dari 241 kursi yang diperlukan untuk memerintah mayoritas.

Partai Demokrat, pesaing terkuat PPP, hanya mengumpulkan 165 kursi. Partai-partai sisanya, antara lain Partai Chart Thai dan Puea Pandin, masing-masing 40 kursi dan 24 kursi.

Persoalannya, bersediakah pemerintahan sementara hasil kudeta menerima hasil pemilihan umum itu dengan lapang dada. Mengingat untuk membentuk pemerintahan, PPP perlu berkoalisi untuk mendapatkan tambahan minimal 8 kursi. Akankah pemerintahan sementara hasil kudeta itu, yang sepenuhnya didukung Raja Bhumibol Adulyadej, mengizinkan partai-partai kecil berkoalisi dengan PPP? Ini masih harus ditunggu.

Rumor menyebutkan, kelompok anti-Thaksin di kalangan militer dan istana menekan partai-partai kecil untuk tidak berkoalisi dengan PPP, serta mengupayakan agar Partai Demokrat bersatu dengan partai-partai lain dan membentuk pemerintahan.

Masalah lain adalah bagaimana jika Thaksin kembali ke Thailand? Perdana Menteri (PM) Surayud Chulanont, yang dipilih oleh militer lewat kudeta, mengatakan, "Tidak ada masalah jika Thaksin kembali. Saya hanya menginginkan situasi negara ini secepatnya normal kembali." Sementara Jenderal Sonthi Boonyaratglin yang memimpin kudeta berjanji akan terus mengejar kasus korupsi yang dilakukan Thaksin.

Hasil pemilu Thailand memang mengejutkan. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hasil pemilu Thailand itu merupakan pukulan bagi Raja Bhumibol Adulyadej.

Bagaimana mungkin rakyat, yang mengelu-elukan Raja pada hari ulang tahunnya yang ke-80 pada 5 Desember lalu, dalam pemilihan umum memberikan suara kepada partai yang memiliki hubungan dekat dengan PM yang diturunkan oleh kudeta militer yang didukung oleh Raja Bhumibol.

Thaksin memang tidak mudah ditaklukkan. Taipan telekomunikasi Thailand yang menjadi PM tahun 2001-2006 itu berhasil membangun fondasi yang kokoh pada tingkat akar rumput.

Dengan demikian, walaupun dalam satu tahun terakhir terpaksa hidup di pengasingan dan kampanye negatif terhadap dirinya berlangsung di dalam negeri, pengaruh Thaksin tidak memudar. Program pemerintahannya yang memihak wong cilik di pinggiran kota dan pedesaan padat penduduknya membuat keberadaannya di puncak kekuasaan selalu diimpi-impikan.

Buah simalakama

Keputusan Raja Bhumibol Adulyadej mendukung kudeta militer September 2006, yang didorong oleh Jenderal Prem Tinsulanonda, PM Thailand pada tahun 1980-an, itu ibarat makan buah simalakama. Jika tidak dilakukan, kekuasaan Thaksin akan kian tidak terbatas. Tetapi, jika dilakukan, membuka peluang terjadinya perpecahan di antara rakyat Thailand, yakni yang memihak Thaksin dan yang memihak militer.

Raja Bhumibol Adulyadej akhirnya memilih militer dan Thaksin terusir. Sayangnya waktu 15 bulan ternyata tidak cukup bagi pemerintahan sementara untuk merangkul rakyat yang memihak Thaksin.

Kemenangan PPP tentunya akan mempersulit posisi Raja, mengingat rakyat Thailand akan melihat dan menilai bagaimana Raja menyikapi kemenangan partai yang memiliki hubungan yang dekat Thaksin itu. Bagaimana Raja menyikapi keinginan Thaksin untuk kembali?

Semua itu pasti tidak akan mudah. Apalagi mengingat Ketua PPP Samak Sundaravej adalah sosok kontroversial. Belum tentu kalangan yang memihak Thaksin mau menerima dirinya sebagai pengganti Thaksin.

Tujuan halalkan cara

Persoalan yang dialami Thailand ini sesungguhnya ditanam sewaktu Thaksin, sebagai pengusaha telekomunikasi yang kaya, diizinkan menjadi PM Thailand. Padahal, pada masa itu, jelas-jelas telah disadari bahwa jabatan PM tidak boleh dijabat oleh seorang militer atau seorang pengusaha. Mengingat baik seorang militer maupun seorang pengusaha tidak pernah berbicara mengenai proses, keduanya hanya bicara tentang tujuan yang ingin dicapai. Mereka tidak memedulikan cara, yang penting adalah tujuannya tercapai. Singkatnya, tujuan menghalalkan cara.

Dalam kehidupan berdemokrasi, cara-cara seperti itu tidak dapat diterima. Tujuan yang dicapai itu memang penting, tetapi bagaimana cara mencapainya atau prosesnya itu juga penting. Dengan kata lain, tujuan tidak menghalalkan cara.

Seharusnya, Parlemen Thailand yang terdiri dari Senat dan Majelis Rendah (lower house atau house of representatives) menyadari bahwa sesuatu harus dibuat ketika dalam Pemilihan Umum 2001, Thai Rak Thai yang dipimpin oleh Thaksin meraih suara mayoritas, di atas separuh plus satu. Thai Rak Thai meraih 254 dari 500 kursi yang diperebutkan. Dan, dalam pemilihan umum tahun 2005, 364 kursi dari 500 kursi yang dipilih.

Thailand menganut sistem parlementer yang mendasarkan cara kerjanya kepada multipartai. Jika tak ada pemenang mayoritas dalam pemilu, partai yang memperoleh suara terbanyak harus mengajak partai-partai lain untuk berkoalisi membentuk pemerintahan. Partai-partai sisanya membentuk oposisi.

Partai oposisi mengawasinya, melakukan checks and balances. Jika partai yang berkuasa dianggap tidak becus, partai oposisi menjatuhkan mosi tidak percaya. Maka, partai-partai yang semula berkoalisi memisahkan diri dan bergabung dengan oposisi. Jika itu yang terjadi, pemerintahan yang dijalankan partai yang berkuasa ambruk serta digantikan oleh oposisi.

Atau bisa juga, partai yang berkuasa membubarkan Parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum jika merasa posisinya terancam. Jika menang, dia bisa membentuk pemerintahan baru. Tetapi, jika kalah, dia harus merelakan kekuasaannya kepada partai pemenang pemilu.

Persoalan muncul saat Thai Rak Thai meraih suara mayoritas dan langsung membentuk pemerintahan baru tanpa koalisi. Bukan itu saja, Thai Rak Thai pun tidak perlu khawatir mosi tidak percaya. Total suara oposisi tidak mencukupi untuk menjatuhkan Thai Rak Thai. Apalagi jika Thai Rak Thai yang sudah mayoritas itu mengajak partai-partai lain berkoalisi. (James Luhulima)

No comments: