Sunday, January 6, 2008

Bhutto, Sosialisme, dan Islam



Oleh : Firman Noor

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI


Salah satu hal yang patut disayangkan dalam konteks politik Pakistan pasca-terbunuhnya Benazir Bhutto adalah menguatnya potensi penyeragaman ideologi politik di ''negara Islam'' tersebut. Hal ini terkait dengan jati diri Benazir, Keluarga Bhutto, dan Pakistan People's Party (PPP), sebagai kendaraan politiknya, yang secara konsisten memperjuangkan sebentuk ideologi yang relatif unik, setidaknya untuk ukuran sebuah negara Islam, yakni perpaduan sosialisme dan Islam.

Di sebuah negara yang dibentuk dengan idealisme mendirikan segenap aspek Islam secara menyeluruh dan di mana Islam menjadi sebuah fundamen bernegara yang tidak dapat ditawar lagi serta dengan kenyataan praktis Pakistan merupakan ''rumah'' kelompok ''Islam kanan'', maka keberadaan sebuah partai besar berlandaskan soslialisme merupakan suatu hal yang tidak biasa.

Tidak mengherankan jika keberadaan Keluarga Bhutto dan PPP kerap membuat gerah tidak saja kalangan militer, yang cenderung melihatnya sebagai biang dari segala bentuk instabilitas, melainkan juga kelompok konservatif yang cenderung melihat Keluarga Bhutto sebagai dissident group (kelompok yang menyimpang) yang dapat menjauhkan rakyat Pakistan dari nilai-nilai murni Islam.

Sejarah politik Pakistan telah memperlihatkan bagaimana kelompok militer dan ''kanan'' menjadi motor bagi upaya penggulingan Keluarga Bhutto dari tampuk kekuasaan baik dalam bentuk kudeta, yang dilakukan oleh seorang Zia Ul Haq (seorang ''jenderal religius''), ataupun melalui pemilu dengan bersatu padu menghimpun kekuatan ''Islam'' melawan kelompok ''kiri'', seperti yang terjadi di tahun 1990-an.

Bhuttoisme
Kematian yang terlalu cepat Quaid-I-Azam (Sang Pemimpin) Mohammad Ali Jinnah, membuat persoalan format negara Islam Pakistan, utamanya dalam konteks menjadikan Islam sebuah ideologi praktis (working ideology), menjadi terbengkalai. Implikasinya adalah munculnya beragam varian ideologis yang sulit untuk benar-benar disatukan. Secara umum terdapat tiga besar pemikiran politik di Pakistan yakni Islam Sentralis (yang berorientasi menegakkan syariah Islam secara murni dan total), Islam Populer (berorientasi pada kontekstualisasi nilai-nilai keislaman), dan Islam Sekuler. (Mashad: 1996)

Sosialisme Islam, atau yang kemudian terkenal dengan Bhuttoisme, yang dibawa oleh mendiang PM Zulfikar Ali Bhutto pada dasarnya merupakan ''cabang'' dari pemikiran sekuler di Pakistan. Dan lebih dari itu ide tersebut merupakan cabang dari aliran ''kiri'' yang senantiasa berorientasi pada rakyat kecil dan golongan tertindas seperti buruh kasar dan petani.

Dalam pandangan ayah kandung Benazir ini, Islam dan prinsip-prinsip sosialisme tidaklah saling bertabrakan. Islam mengajarkan persamaan (classless) dan sosialisme adalah cara terbaik untuk mencapai persamaan itu. Baginya Pakistan hanya dapat bertahan sejauh menempatkan ajaran Islam sebagai bimbingan berbangsa dan bernegara. Dan oleh karenanya bentuk pemerintahan sosialis bukanlah saingan bagi Islam. Sebaliknya sosialisme akan menjadikan semua warga negara menjadi pengawal nilai-nilai Islam tersebut.

Pemikiran itu kemudian menjadi landasan perjuangan PPP. Menurut Ali, partainya memiliki tanggung jawab untuk menjalankan nilai-nilai adiluhung Islam. Dan upaya untuk mewujudkannya adalah melalui cara sosialis. Partai ini meyakini bahwa sosialisme merupakan hal yang dituntut dari ajaran Islam karena semangat Islam yang sejati adalah menghancurkan segala bentuk penghisapan antarmanusia, menjunjung tinggi keadilan, dan menegakkan persamaan dan persaudaraan.

Setelah berhasil menduduki jabatan PM, kebijakan Bhutto di awal pemerintahannya kental nuansa sosialisme. Hal ini terlihat misalnya dengan melakukan reformasi dari sistem ekonomi dan sosial peninggalan rezim Ayub Khan yang dipandang Bhutto sebagai wujud mutlak kapitalisme. Hampir seluruh bank, perusahaan-perusahaan asuransi, unit-unit industri besar dan industri transportasi dinasionalisasikan. Di sisi lain kaum buruh diberikan banyak kemudahan dan fasilitas-fasilitas baru yang lebih manusiawi.

Kemudian dengan motto ''Sandang, Pangan, Papan'', Ali Bhutto dan PPP berupaya untuk meningkatkan derajat kehidupan rakyat kecil. Dan berhasil mendapatkan simpati bahkan kemudian identik dengan masyarakat bawah, buruh kasar dan petani. Simpati itu belakangan datang pula dari para kiai di desa-desa dan para pengikutnya. Hal ini karena meski mengadakan land reform, kebijakan Pemerintah Bhutto itu tidak dikenakan pada para kiai. Malah para kiai diberi tambahan jagir (tanah wakaf) dan jaminan perlindungan atas tanah leluhur mereka yang dianggap suci.

Namun demikian pada kenyataannya seindah apapun ide Bhutto, dalam pengimplementasiannya tidaklah demikian. Tampak seperti mengikuti tren pemerintahan sosialis lainnya di negara dunia ketiga, pertumbuhan ekonomi Pakistan anjlok dari rata-rata 6,7 persen setahun pada 1960-an menjadi 3,6 persen, bahkan tahun 1977 tidak sampai 2 persen. Sementara nasionalisasi bank dan industri juga menimbulkan keguncangan hebat dalam bidang ekonomi (Bangun dan Tobing, 1988).

Bukti kerakyatan
Terlepas di atas berbagai kegagalan tersebut, Ali Bhutto menciptakan ideologi yang diyakini para pendukungnya. Rakyat tetap merasa adanya harapan dan dapat menerima kesulitan-kesulitan. Akibatnya tidaklah mengherankan bahwa meskipun perekonomian Pakistan mundur pada masa pemerintahannya, kebanyakan rakyat kecil tetap setia dan percaya kepada Ali Bhutto.

Kesetiaan rakyat dapat dikatakan tetap terpelihara sampai jauh selepas kematian Ali Bhutto. Hal mana tecermin dalam setiap kampanye-kampanye Benazir, yang selain selalu dipadati oleh kelompok kelas menengah bawah dan kaum marginal, namun kerap diidentikan dengan Ali Bhutto. Lengkingan ''Hidup Bhutto, Hidup Bhutto'' selalu membahana dalam setiap kampanye Benazir.

Benazir dengan cerdik mengeksploitasi nama besar dan menyuarakan kembali ide-ide sosialisme Ali Bhutto. Hal ini terlihat dari jargon-jargon politik Benazir yang selalu meyakinkan para pendukungnya tentang masalah pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial. Namun, sejarah Pakistan kembali membuktikan bahwa tidak semua pihak merasa nyaman dengan eksistensi Bhutto dan semangat sosialismenya. Dan, apakah hal ini berarti lonceng kematian bagi kelompok kiri di Pakistan? Hanya sejarah yang dapat membuktikannya.

No comments: