Dinasti Politik Clinton
Budiarto Shambazy
Pemilihan pendahuluan Presiden Amerika Serikat dimulai Kamis (3/1) ini melalui kaukus Iowa, indikator untuk memperkirakan siapa yang akan memimpin Gedung Putih. Banyak yang meramalkan Hillary Rodham Clinton (60) akan memenangi konvensi Partai Demokrat di Denver, 25-28 Agustus, lalu terpilih pada pemilihan presiden 4 November 2008.
Hasil jajak pendapat USA Today-Gallup Rabu (2/1) membuktikan Hillary—ia menghindari nama "Clinton" agar orang lupa skandal Bill Clinton dengan Monica Lewinsky—untuk yang ke-12 kali berturut-turut terpilih jadi perempuan yang paling dikagumi rakyat AS tahun 2007 dengan 18 persen suara. Sejak 1981, jajak pendapat ini membuktikan siapa pun yang jadi presiden AS terpilih menjadi orang yang paling dikagumi.
Hasil Jajak Pendapat Harian Presiden versi Rasmussen Reports menguak keunggulan itu. Dalam periode 1 September-31 Desember 2007 ia mencatat angka terendah 33 persen dan tertinggi 49 persen (rata-rata 42 persen), sedangkan Barack Obama (46) membukukan 17 dan 29 persen (rata-rata 23 persen) dan John Edwards (54) mencatat 10 dan 17 persen (rata-rata 16 persen).
Bukti lain ditunjukkan harian Inggris, Financial Times yang tiap 31 Desember menerbitkan edisi khusus prakiraan politik. "Clinton kemungkinan besar memenangi pilpres. Ia menang karena pemerintahan Presiden George W Bush amat tidak populer. Popularitas Obama meningkat, tetapi keunggulan Clinton telah berurat akar," kata harian itu.
Hillary favorit karena rakyat mengharapkan sejarah baru: perempuan presiden pertama di negeri demokratis terbesar itu. Ia Ibu Negara 1992-2000 yang tak cuma repot dengan urusan tetek bengek Gedung Putih, senator yang mewakili New York, pernah jadi pengacara andal, dan aktivis yang ikut memakzulkan Presiden Richard Nixon.
Siklus politiknya dianggap lengkap. Saat mahasiswa ia penganut faham politik radikal dan berguru kepada orang yang didewakan Obama, Saul Alinsky. Lewat profesor dari University of Chicago yang mengajar aliran politik liberal inilah Hillary dan Obama terbentuk jadi "politisi eceran" (retail politician) yang dididik membaca aspirasi rakyat.
Hillary sempat terjebak masuk Republik meski hanya sebentar, tetapi segera menjadi politisi eceran lagi setelah kenal Bill Clinton. Saat jadi ibu negara ia berusaha mengundang-undangkan Rencana Jaminan Kesehatan yang ditolak Kongres.
Hillary difavoritkan karena Obama dan Edwards bukan lawan yang sepadan. Rakyat masih sukar menerima kehadiran presiden "separuh hitam" macam Obama. Apalagi tak semua warga hitam menganggap ia "cukup hitam" berhubung ayahnya hanya warga Kenya yang menikahi perempuan putih asal Kansas City.
Edwards, senator Negara Bagian North Carolina, dianggap representasi "tokoh Selatan" yang mempunyai tradisi melahirkan presiden rakyat jelata seperti Franklin D Roosevelt, Jimmy Carter, dan Bill Clinton. Sebenarnya Edwards-Obama duet yang ideal untuk memimpin Gedung Putih.
Strategi kampanye Edwards sudah tepat ketika memperkenalkan tema "dua Amerika" yang mengontraskan kaum kaya dengan yang miskin. Rakyat bersimpati kepada istrinya, Elizabeth, yang berjuang melawan kanker. Namun, setelah membeli vila mewah seluas 3.000 meter dan membayar 300 dollar AS untuk cukur rambut, simpati rakyat turun drastis.
Dinasti-dinasti politik
Kaukus Iowa ibarat "rapat warga" yang berlangsung serentak di 1.784 precinct (kelurahan). Mereka berkumpul memilih para anggota komite ke tingkat county (kabupaten) yang membawa nama capres pilihan ke konvensi negara bagian dan, akhirnya, konvensi nasional.
Hillary dan Obama sudah mengumpulkan dana yang melewati 100 juta dollar AS, sebuah rekor baru. Dalam sebulan terakhir perhatian tertuju ke Iowa, negara bagian di barat tengah yang secara demografis mewakili perimbangan etnis dan aliran politik nasional.
Selain Hillary, Obama, dan Edwards, ada sejumlah nama calon presiden dari Demokrat, seperti Joseph Biden, Chris Dodd, Dennis Kucinich, Bill Richardson, dan Mike Gravel. Dari Republik ada Rudy Giuliani, Mike Huckabee, Duncan Hunter, John McCain, Mitt Romney, Fred Thompson, dan Ron Paul.
Di kubu Republik pertarungan makin hari makin kurang seru akibat kegagalan kepemimpinan Presiden Bush. Para capres Republik terkungkung isu-isu yang menjenuhkan: Irak, terorisme, dan agama. Padahal, sejumlah jajak pendapat membuktikan isu terpenting bagi mayoritas rakyat adalah ekonomi.
Di Iowa, Hillary membawa putrinya, Chelsea (27) yang disiapkan meneruskan Dinasti Clinton. Partai Rakyat Pakistan menyiapkan Bilawal Bhutto (19) meneruskan Dinasti Bhutto yang dimulai Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) dan dilanjutkan Benazir Bhutto (1953-2007) yang mencatat sejarah jadi perempuan perdana menteri (PM) pertama di negaranya.
Di India ada Dinasti Gandhi yang diawali Jawaharlal Nehru (1889-1964) dan diteruskan Indira Gandhi (1917-1984), perempuan PM pertama di India. Dinasti Gandhi dilanjutkan sebentar oleh putra Indira, Rajiv Gandhi (1944-1991) dan kini oleh putra Rajiv, Rahul Gandhi (37).
Di Myanmar ada tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi (62), putri pejuang nasional Jenderal Aung San (1915-1947) yang sampai kini berjuang melawan militerisme. Cory Aquino (74) perempuan presiden pertama yang memerintah Filipina 1986-1992 setelah suaminya, Benigno Aquino, dibunuh rezim Presiden Ferdinand Marcos. Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo, putri Presiden Diosdago Macapagal (1961-1965).
Singapura dipimpin Dinasti Lee sejak kepemimpinan Lee Kuan Yew (84) dan kini Lee Hsien Loong (55). Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il (1966), putra Kim Il Sung (1912-1994). Dan, Suriah ada Presiden Bashar al-Assad (52), putra Presiden Hafez al-Assad (1930-2000).
Indonesia mengenal Dinasti Soekarno yang di masa depan diteruskan Puan Maharani (34), salah satu ketua DPP PDI-P yang juga putri mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, kini salah satu ketua DPP PKB.
Di Benua Amerika ada dua perempuan presiden, yakni Presiden Argentina Cristina Kirchner (54), istri mantan Presiden Nestor Kirchner, dan Presiden Cile Michelle Bachelet (56).
Suka atau tidak, fenomena dinasti politik dan perempuan presiden tak kenal batas kultur, sistem, maupun wilayah politik.
No comments:
Post a Comment