Sunday, October 7, 2007

Aksi Simpati
Seruan dan Kecaman Dialamatkan ke Junta

Jakarta, Kompas - Sejumlah pihak di Indonesia menyuarakan kecaman keras atas tindakan brutal junta Myanmar atas aksi demonstrasi damai yang dilakukan biksu dan warga sipil di negara itu. Mereka mendesak agar tindak kekerasan di Myanmar segera dihentikan.

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat (28/9), mengatakan, Indonesia dan ASEAN sejak lama sudah meminta keterbukaan Pemerintahan Myanmar, agar menjadi negara demokratis.

"Upaya itu dilakukan dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Myanmar dan pengiriman utusan khusus seperti mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, yang kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Namun, hal itu belum juga terwujud hingga kini," ujar Wapres, seraya berharap masalah di Myanmar diselesaikan dengan sebaik-baiknya tanpa kekerasan.

Sementara beberapa aksi solidaritas terhadap rakyat Myanmar digelar di Jakarta, Jumat.

Sekitar 50 diplomat Departemen Luar Negeri RI, di Deplu Pejambon, menunjukkan simpati dengan mengenakan pakaian berwarna merah dan berdoa bersama untuk segera terwujudnya kedamaian di Myanmar.

Aksi lainnya dilakukan sekitar seratus aktivis LSM dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Indonesia untuk Rakyat Burma, yang sebagian besar mengenakan baju berwarna merah. Mereka melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jalan Agus Salim, Jakarta.

"Kami hadir di sini untuk mengimbau Pemerintah Indonesia bersikap tegas dan membantu rakyat Myanmar," kata salah satu koordinator aksi solidaritas itu, Wahyu Susilo.

Sikap abstain

Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengecam keras tindak kekerasan, pembunuhan, pengekangan hak-hak sipil politik, pemberangusan pers, pembunuhan jurnalis, dan bentuk-bentuk lain pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan junta terhadap para biksu.

Pemerintah RI, menurut mereka, hingga detik ini tidak pernah bersikap tegas terhadap penyelesaian politik Myanmar. Indonesia mengambil sikap abstain dalam pengambilan keputusan atas rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB soal Myanmar. Di tingkat ASEAN, Indonesia juga tidak berani mengambil inisiatif yang progresif. Bahkan, dalam kunjungannya ke Myanmar pada bulan Maret 2006, Presiden Yudhoyono menolak bertemu Aung San Suu Kyi yang dianggap "pemberontak".

Solidaritas juga mengecam dukungan membabi buta dari China, Rusia, dan India terhadap junta Myanmar, dengan menolak rancangan resolusi DK PBB yang bertujuan mendorong demokrasi di Myanmar, awal 2007 lalu.

Sebanyak 37 mahasiswa dan mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda Jakarta, kemarin, berkumpul di depan Kedubes Myanmar. "Kami menyampaikan keprihatinan atas aksi kekerasan junta Myanmar atas para biksu dan masyarakat," kata Acep, Ketua STAB Nalanda.

Keprihatinan juga disampaikan PP Pemuda Muhammadiyah dan PP Ikatan Remaja Muhammadiyah, Forum Komunikasi Umat Buddha (FKUB) DKI Jakarta, PP Persatuan Wartawan Indonesia, dan juga Imparsial.

Pada intinya, berbagai elemen masyarakat di Indonesia ini mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan penggunaan kekerasan dalam menghadapi aksi demonstrasi rakyat. Mereka mendesak Pemerintah RI lebih berperan aktif di DK PBB dalam penyelesaian masalah Myanmar. Dunia internasional, khususnya ASEAN, juga didesak agar memberikan sanksi tegas kepada junta Myanmar. (NEL/ONG/OKI/har)

No comments: