Pedang Dilawan dengan Pedang
Maruli Tobing
Hati-hati memilih pemimpin yang gemar mistik dan klenik karena cenderung menimbulkan bencana bagi suatu bangsa. Itulah peringatan dari penderitaan rakyat Myanmar yang sejak tahun 1962 dipimpin para jenderal yang lebih percaya kepada alam gaib ketimbang dunia nyata.
Alam gaib tidak mengenal konstitusi ataupun hukum formal. Begitu pula sebaliknya. Akibatnya, baik keputusan maupun tindakan pemimpin Myanmar kerap aneh, tidak terduga, dan sulit dipahami akal sehat.
Proklamasi kemerdekaan Myanmar pada 4 Januari 1948, pukul 04.20, misalnya, ditetapkan berdasarkan ramalan paranormal agar selamat menuju masyarakat adil dan makmur. Hasilnya, kini Myanmar yang berpenduduk 54 juta jiwa merupakan salah satu negara termiskin dan terkorup di dunia.
Atas saran paranormal agar roh-roh jahat berhenti menghasut mahasiswa berunjuk rasa, Jenderal Ne Win yang berkuasa selama 26 tahun (1962-1988) berulang kali meliburkan kampus. Puncaknya akhir tahun 1987, semua lembaga pendidikan di Myanmar ditutup selama lebih kurang dua tahun.
Ne Win berulang kali membatalkan pecahan mata uang kyat. Ia percaya nilai yang tertera pada uang tersebut merupakan angka pembawa sial. Tahun 1987, ia membatalkan pecahan 75 dan mencetak pecahan baru 45 dan 90 kyat. Ia percaya angka 9 akan mengantarnya hingga berusia di atas 90 tahun.
Mengutip The Times, surat kabar The Australian, Sabtu (29/9), menulis, pada malam hari Ne Win kerap berjalan mundur di atas sebuah jembatan. Ritual ini dimaksud agar ia terhindar dari bahaya.
Setelah Ne Win lengser, ihwal alam gaib ini tetap berlanjut. Junta militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe mengganti Burma menjadi Myanmar pada 18 Juni 1989.
Lebih mengejutkan lagi, atas saran paranormal untuk menghindari malapetaka, ibu kota Myanmar dipindahkan ke Naypyidaw, suatu kawasan hutan belantara, sekitar 400 kilometer utara Yangon.
Dalam waktu tiga tahun, lokasi ini disulap menjadi kawasan perkantoran megah berikut fasilitas bandar udara, rumah sakit, apartemen, dan bungalo pejabat, sarana olahraga, restoran, pusat pertokoan, dan lain-lain. Naypyidaw diresmikan sebagai ibu kota Myanmar pada 6 November 2005, pukul 06.37
Bias
Pemerintah negara-negara Barat mengabaikan fakta tersebut, atau menganggapnya tidak relevan dalam hubungan internasional. Akibatnya, cenderung bias, termasuk dalam memahami peristiwa aksi prodemokrasi baru-baru ini.
Pemerintahan Presiden AS George W Bush dan PM Inggris Gordon Brown, misalnya, mengira gelombang unjuk rasa kali ini akan mengakhiri kekuasaan junta militer.
Keduanya melobi PBB dan sejumlah negara untuk menekan Myanmar agar tidak bertindak brutal menghadapi aksi prodemokrasi. Dengan demikian, diharapkan tempo dan stamina aksi prodemokrasi dapat dipertahankan hingga titik demoralisasi di kalangan komandan-komandan militer.
Dengan dukungan media internasional, khususnya jaringan televisi CNN dan BBC, prosesnya akan berlangsung lebih cepat. Kedua media setiap hari secara gencar memberitakan perkembangan aksi prodemokrasi sekaligus mendiskreditkan junta militer.
Namun, semua ini tidak lebih dari sekadar mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dengan sendirinya hasilnya adalah kegagalan. AS dan sekutunya mengabaikan fakta bahwa Myanmar hanya tunduk pada bisikan alam gaib.
Sebaliknya, kekuatan asing selalu dilihat bersifat destruktif sehingga harus ditolak mentah-mentah. Ne Win, misalnya, mengisolasi Myanmar selama lebih dari dua dekade demi menghindari infiltrasi asing, yang dicurigainya sarat elemen subversi. Lantas, bukanlah hal mengejutkan jika di tengah tekanan internasional dan ancaman Presiden Bush serta PM Brown junta militer Myanmar justru menurunkan militer untuk memadamkan aksi prodemokrasi.
Batalyon 101 dan 105/Divisi Infanteri Ke-77 yang didatangkan dari dataran rendah Pegu bertindak sebagai ujung tombak. Pasukan ini langsung menerjang dan menghajar massa pengunjuk rasa, yang berbaris menuju Pagoda Sule di jantung kota Yangon, Rabu (26/9).
Lebih dari 10.000 biksu dan mahasiswa berhamburan menyelamatkan diri. Sejak itu aksi prodemokrasi kandas sebelum mencapai garis finis. Sebaliknya, posisi State Peace and Development Council (SPDC), wadah resmi junta militer beranggotakan 12 jenderal, makin tidak tergoyahkan.
Tidak luar biasa
Laporan resmi menyebut 9 orang tewas dan sekitar 1.000 biksu ditangkap. Kelompok oposisi mengatakan, jumlah korban tewas mencapai ratusan orang. Ribuan lainnya tidak diketahui keberadaannya.
Bagi junta militer Myanmar sendiri, angka tersebut tidak penting sebab pembantaian bukanlah peristiwa luar biasa. Contohnya, beberapa bulan setelah Ne Win berkuasa, tentara menembak mati lebih dari 100 mahasiswa hanya karena memprotes ketidakadilan di lingkungan Universitas Rangoon.
Besoknya, Ne Win berbicara selama lima menit melalui corong radio pemerintah. Ia menegaskan, "Pedang dilawan dengan pedang, tombak dihadapi dengan tombak."
Peristiwa pembantaian berulang kali terjadi pada era kekuasaan Ne Win. Setelah jenderal didikan tentara Jepang ini lengser, penerusnya, Jenderal U Sein Lwin, memerintahkan tentara menumpas aksi unjuk rasa pada Agustus 1988.
Lebih dari 3.000 orang tewas ditembak aparat dalam peristiwa yang berbuntut kerusuhan tersebut. "Pedang dilawan dengan pedang, tombak dihadapi dengan tombak," kata Jenderal Sein Lwin melalui corong radio saat itu.
Jika dalam menghadapi aksi prodemokrasi baru-baru ini jurus "pedang" dan "tombak" tidak muncul, jelas bukan berarti perubahan sikap junta militer. Namun, perlawanan para biksu dan mahasiswa telanjur hancur lebur sebelum jurus maut tersebut diturunkan.
No comments:
Post a Comment